Mengenang Seorang Guru

Sebuah tulisan yang saya tulis di bandara sambil menunggu pesawat. Tentang sebuah rasa kehilangan.

Saya masih sangat naif waktu itu. Sudah tidak muda, tapi masih naif. Saya baru saja menemukan ruang baru yang seperti membuka sebuah kotak yang lama tersimpan dalam perjalanan hidup saya. Sebuah ruang bernama blog. Ruang yang memancing semua kegemaran saya menulis, yang sudah lama ada, tapi tersimpan rapi dan nyaris tidak tersentuh selama bertahun-tahun.

Tahun 2006, saya akhirnya tahu ada Friendster yang bisa jadi tempat menampung tulisan. Lalu bergeser pada pertemuan saya dengan Blogspot. Dari situ hidup saya bergulir, bertemu komunitas Anging Mammiri dan seorang teman baru bernama Ruslee.

Ruslee yang kemudian memperkenalkan saya pada sebuah situs jurnalisme warga bernama Panyingkul! Situs tempat warga biasa bisa belajar menulis selayaknya jurnalis. Dan saya langsung jatuh cinta.

Saya mengikuti saran Ruslee, bergabung dengan situs itu dan mulai tenggelam dalam aktivitas belajar menulis selayaknya seorang jurnalis. Jurnalis warga, kata kerennya.

Ajaran Seorang Lily

Situs jurnalisme warga itu diasuh sepasang suami-istri, Farid M. Ibrahim dan Lily Yulianti. Dua-duanya jurnalis dan saat itu sedang bermukim di Tokyo, Jepang. Mereka terkesan pada situs jurnalisme warga milik Korea Selatan bernama OhMyNews, dan kemudian bermimpi bisa membuat gerakan yang sama di kampung halaman mereka, Makassar.

Lewat jejaring online mereka mulai merintisnya. Bersama teman-teman Makassar yang sudah lebih dulu bergerak di dunia kepenulisan. Ada Aan Mansyur, Anwar Jimpe Rahman, Dandy Sirimorok, dan banyak lagi.

Saya masuk belakangan dan bertemu nama-nama yang sudah tidak asing itu. Nama-nama yang selalu menerbitkan kekaguman pada saya ketika membaca tuisan-tulisan mereka. Nama-nama yang selalu membuat saya bertanya-tanya, “Kapan saya bisa menulis seperti itu?”

Jadi bisa dibayangkan bagaimana bahagianya saya ketika berada dalam satu ekosistem bersama mereka. Saya merasa menemukan passion lama saya yang selama ini saya biarkan terpendam, tak tersentuh.

Nama-nama itu dan sepasang suami istri Farid M. Ibrahim – Lily Yulianti kemudian saya dapuk menjadi guru. Mungkin tanpa sepengetahuan mereka. Tidak penting juga, karena buat saya yang terpenting adalah bisa belajar dari mereka.

Lily Yulianti – saya menyebutnya kak Lily – menerima saya dengan tangan terbuka. Dia yang jauh di Tokyo sana dengan sabar mengajar saya menulis. Memang tidak seintens sebuah pelajaran di dalam kelas, tapi dampaknya sama saja.

Dia mengajarkan bagaimana cara menulis yang baik. Mencari data, mengolahnya, dan kemudian menyusunnya menjadi sebuah tulisan. Bolak-balik tulisan saya dikoreksi, diberi masukan, dikasih saran. Hingga akhirya dianggap layak tayang di situs Panyingkul!

Saya masih ingat bagaimana bangganya saya ketika akhirnya tulisan saya bisa tayang. Bangga karena saya tahu untuk bisa tayang di situs itu, sebuah tulisan harus melewati proses yang panjang dan ketat. Pasangan Farid M. Ibrahim dan Lily Yulianti tidak main-main. Namanya memang “hanya” jurnalisme warga, tapi hasilnya bisalah diadu dengan tulisan di media daring. Bahkan terang-terangan kak Lily pernah bilang kalau ada “wartawan asli” yang minder melihat hasil tulisan anak-anak Panyingkul!

Sampai saat itu saya merasa saya berada di jalan yang tepat. Saya menemukan guru yang tepat, dan lingkungan yang tepat. Pertemuan-pertemuan itu seperti tikungan dalam sungai kehidupan saya. Saya bertemu mereka, dan akhirnya saya bisa seperti sekarang.

Terakhir kali berfoto bersama saat peresmian Rumata Art Space, 2012

Berita Sedih

Kamis malam, 9 Maret 2023. Saya tersentak ketika sebuah akun Twitter memposting ucapan duka cita atas kepergian Lily Yulianti. Saya kaget, benar-benar kaget. Kekagetan yang kemudian berubah menjadi kesedihan mendalam.

Saya mencari-cari di sumber lain, dan ternyata memang benar. Beliau berpulang, tepat di tanggal 10 Maret 2023, pukul 01:00 waktu Melbourne.

Selama bertahun-tahun kami memang sudah tidak pernah berkontak. Beliau sudah sangat sibuk. Entah sebagai mahasiswa post doctoral atau kegiatan lainnya. Beliau juga salah satu orang yang melahirkan Makassar International Writers Festival yang selama bertahun-tahun terus digulirkan di Makassar, dan berhasil menjadi salah satu ajang literasi yang dianggap penting.

Saya ada ketika embrio ajang itu mulai disusun. Saya juga ada ketika akhirnya embrio itu lahir untuk pertama kalinya. Tapi hanya sebatas pengunjung, bukan pelaku. Tapi tak mengapa, saya bahagia melihat sesuatu yang dulu saya lihat embrionya di rumah kak Lily, akhirnya benar-benar lahir.

Selama bertahun-tahun juga saya tidak pernah benar-benar berinteraksi dengan kak Lily. Pertemuan terakhir saya sekitar 2017, di sebuah kedai kopi di Makassar. Dia sedang di Makassar, mengawal pelaksanaan MIWF. Kami hanya berbincang singkat, tidak sehangat dulu. Tapi buat saya, selalu ada rasa segan kepada beliau. Sama seperti rasa segan – dan hormat – saya pada guru-guru saya.

Kepergian beliau seperti sebuah pukulan keras ke dada saya. Ada rasa sedih yang menggumpal. Rasa yang sepertinya akan selalu ada setiap kali kita kehilangan orang yang kita hormati.

Meski bertahun-tahun belakangan hubungan kami sudah tidak seakrab dulu, tapi saya akan selalu memandang kak Lily sebagai orang yang harus saya hormati. Sebagai guru, sebagai orang yang mengajarkan sebuah hal berharga, yang sampai sekarang masih saya pakai.

Selamat jalan kak. Mohon maaf untuk semua hal yang tidak berkenan yang mungkin pernah saya lakukan. Dan tentu saja, terima kasih sebesar-besarnya untuk semua yang telah engkau ajarkan. Saya berdoa jalanmu dimudahkan, dan tentu saja surga menantimu di sana. Banyak orang yang mendoakanmu, karena banyak orang yang mencintaimu.

Selamat jalan. [dG]