LSM dan Wartawan Tidak Bisa Dihalangi!
Saya baru tahu kalau ternyata di beberapa daerah, profesi LSM dan wartawan justru dianggap menakutkan. Kondisi yang dimanfaatkan oleh beberapa oknum.
Suatu hari saya datang ke sebuah pertemuan halal bi halal bersama teman-teman SMP. Kami berasal dari latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda. Seorang teman yang bekerja di sebuah kantor pemeritahan di kabupaten di Sulawesi Selatan nampak antusias ketika tahu kalau saya bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bukan hanya saya, tapi seorang teman yang lain juga bekerja di LSM. Si teman (perempuan) mendatangi saya dan teman yang kebetulan sedang duduk di meja yang sama.
“Eh, sebenarnya apa kerjanya itu LSM? Di kantor itu suka sekali ada yang datang, mengaku-mengaku LSM terus ancam ini-itu. Biasa dikasi pi uang baru dia mau pulang,” tanya si teman.
Saya dan teman yang sama-sama kerja di LSM langsung bereaksi. Terus terang saya agak sedikit merasa tersinggung dengan pertanyaan teman ini. Tapi saya tahu konteksnya apa, jadi rasa tersinggung itu tidak saya lontarkan.
“LSM itu lembaga swadaya masyarakat. Kita itu biasanya bantu pemerintah,” kata saya mencoba menjelaskan sesederhana mungkin tentang apa itu LSM. Teman yang sama-sama bekerja di LSM juga ikut membantu memberi penjelasan.
LSM Bodong Itu Nyata
Cerita si teman tentang LSM yang datang dan mengancam di kantornya sebenarnya bukan hal baru. Saya sudah kerap mendengar cerita tentang LSM yang tidak jelas kerjanya apa, tapi kerap mendatangi dinas-dinas untuk meminta uang. Biasanya dinas yang dianggap “lahan basah” dan adanya di daerah atau kabupaten.
Biasanya, modus yang digunakan LSM tidak jelas itu adalah mempertanyakan beberapa kebijakan, utamanya yang berkaitan dengan penggunaan dana. Mereka seperti tahu celah yang sangat pas untuk dijadikan sasaran tembak. Memainkan emosi dengan memberikan tekanan, kadang disertai dengan ancaman. Kalau si orang dinas memang punya salah, maka jelas saja dia akan gelagapan dan langsung ketakutan. Justru posisi itulah yang dimanfaatkan oleh LSM tidak jelas itu.
Ancaman yang paling sering muncul adalah ancaman untuk memblow up kasus tersebut yang bisa berujung pada pemenjaraan pelaku. Namanya ada kesalahan, orang dinas yang jadi target pasti ketakutan dan mau tidak mau memutar akal untuk menyelamatkan diri. Salah satu caranya adalah dengan memberi uang pelicin kepada si anggota LSM supaya kasus mereka tidak diperpanjang.
Dan memang itulah tujuan si LSM bodong.
Wartawan Bodong Juga Ada
Suatu hari, seorang teman yang adalah wartawan lepas menumpang kendaraan umum antar kabupaten di sebuah daerah di Sulawesi Selatan. Di atas angkutan umum itu sebuah perbincangan ringan terjadi antara si teman dan seorang ibu penumpang.
“Oh wartawan ya dek? Pasti uangnya banyak,” kata si ibu setelah tahu kalau si teman itu kerja sebagai wartawan.
Rupanya, ”tuduhan” si ibu itu berdasarkan pada kisah keponakannya yang bekerja sebagai wartawan media lokal di daerah tersebut. Kata si ibu, setiap kali mengunjungi kantor dinas-dinas di daerah kerjanya dia pasti pulang dengan amplop berisi lembaran uang ratusan ribu. Lumayan sekali, hanya bersilaturahmi tahu-tahu sudah pulang dengan amplop berisi uang.
Si teman yang adalah seorang wartawan idealis tentu saja menahan rasa kesal mendengar cerita si ibu.
Ini juga bukan cerita baru di beberapa daerah. Profesi wartawan kerap kali dipandang sebagai profesi yang “menakutkan” bagi banyak orang. Wartawan sebagai whistle blower bisa merusak reputasi seseorang apabila mengangkat sebuah kisah yang tidak seharusnya diketahui orang banyak. Karena itu, banyak orang yang memilih untuk tidak berurusan dengan wartawan atau memilih upaya membungkam sang wartawan, tentu saja dengan lembaran-lembaran rupiah.
Ketakutan sebagian orang ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk mengaku sebagai wartawan. Beberapa memang berasal dari sebuah media yang terdaftar di Dewan Pers, tapi ada juga yang medianya tidak jelas. Apalagi di zaman digital sekarang ini. Semua orang bisa membuat website lalu menamakannya blablablanews atau suarablablabla, atau apapun yang penting terdengar seperti sebuah website berita. Pekerja media tersebut bisa saja mengaku sebagai wartawan, tentu dengan memperlihatkan website mereka yang memang mirip seperti website berita.
Di zaman sebelum marak media daring pun, sudah ada orang yang dengan niatnya membuat tabloid sendiri. Dicetak dalam jumlah terbatas lalu dibawa ketika akan melakukan aksinya. Salah satu target paling empuk adalah kepala sekolah atau kepala desa. Sang wartawan akan mendatangi mereka, lalu memperkenalkan diri sebagai wartawan yang ingin melakukan liputan tentang penggunaan dana BOS atau Dana Desa. Biasanya mereka akan menggunakan kemeja yang dilengkapi logo media mereka, lengkap dengan tabloid yang sudah dicetak dalam jumlah terbatas itu. Pokoknya penampilan yang meyakinkan.
Dengan nada bertanya yang bisa saja dicampur dengan nada ancaman, mereka jelas terlihat sangat intimidatif. Apalagi bagi kepala sekolah atau kepala desa yang memang melakukan kesalahan administrasi atau bahkan penyalahgunaan dana.
“Saya bisa mengangkat kasus ini pak di tabloid saya,” sebuah ucapan yang pasti bisa membuat pias wajah kepala sekolah atau kepala desa yang tidak jujur. Lalu, kita tahu sendirilah akhirnya bagaimana.
“Minta tolong pak, jangan sampai ini ditulis. Kita ada sedikit oleh-oleh untuk bapak,” dan semua akan tersenyum. Persoalan selesai.
Merusak Nama LSM dan Wartawan
Kehadiran LSM dan wartawan bodong seperti itu jelas merusak nama pekerja LSM dan wartawan yang sebenarnya. LSM yang seharusnya menjadi pendamping warga dan bekerja untuk meningkatkan kapasitas warga malah bekerja sebagai pemeras. Begitu juga dengan wartawan yang seharusnya jadi salah satu pilar keadilan, malah jadi pemeras.
Hadirnya oknum LSM dan wartawan bodong ini memang bagian dari supply and demand. Ada aturan, ada uang, dan ada trik nakal untuk mengakalinya maka ada pula orang yang mengambil kesempatan. Alih-alih melaporkan kesalahan itu ke aparat penegak hukum, mereka malah mencari cara untuk mengambil keuntungan pribadi buat mereka. Jadi sebenarnya sama saja, sama-sama mengakali peraturan. Sebelas-dua belas lah.
Di sisi lain, kehadiran oknum-oknum pemeras ini ikut menyumbang citra lain yang sama buruknya untuk profesi pekerja LSM dan wartawan. Kedua profesi ini tiba-tiba dipandang oleh sebagian orang sebagai profesi manusia super. Punya kuasa menembus apa saja tanpa perlu mengikuti aturan. Citra yang membuat beberapa oknum LSM dan wartawan jadi sangat arogan. Tidak percaya? Coba lihat rekaman kelakuan beberapa anggota LSM di Makassar yang mencoba menembus penjagaan sebuah bank yang sudah melarang mereka masuk karena tidak memakai masker sesuai aturan.
“Itu suatu pelanggaran itu saudaraku. LSM dan wartawan di instansi manapun tidak ada yang bisa menghalangi wartawan atau LSM,” kata salah seorang di video tersebut.
Luar biasa! Saya rasa kuasa mereka menyamai Thanos yang tidak bisa dihalangi oleh instansi manapun.
*****
Dalam kehidupan memang selalu akan ada hitam-putih, ada baik-buruk, ada dua sisi koin. Begitu juga dengan profesi LSM dan wartawan. Ada yang bekerja dengan niat baik dan nyaris tidak peduli pada kesenangan diri sendiri, tapi ada yang menggunakan label yang sama tapi dengan niat yang berbeda dan justru hanya menyenangkan diri sendiri. Begitulah kehidupan. [dG]
di profesi pun, pasti ada orang brengsek.. bedanya si brengsek ini lebih sering muncul dan akhirnya jadi stigma..
Heheheh, banyak juga dulu di tempatku yang ngaku-ngaku seperti itu. Pas lagi ada kegiatan lumayan gede di kampung, dia datang dengan gayanya. Terus ya bisa ditebak, sementara aku ketawa aja dengar omongan dia hahahahh