Mereka Merusak Sungai Kami
Mereka menjadikan sungai sebagai urat nadi kehidupan. Tapi sekarang, sungai itu perlahan dirusak nafsu serakah.
“DULU KAMI TINGGAL DI BAWAH SANA, DI TEPIAN SUNGAI. Tapi karena banjir besar tahun 2009 kami pindah ke sini yang lebih tinggi.” Kata seorang warga Gong Solok kepada kami.
Desa Gong Solok adalah salah satu desa yang kami datangi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Desa ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat kota Malinau, bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam. Hanya saja jalanannya sangat tidak nyaman, licin di musim hujan dan berdebu di musim kemarau. Jalanan yang aslinya milik tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit itu hanya tanah merah yang diperkeras dengan batu kerikil.
Tak ada sinyal seluler di desa itu, pun dengan listrik dari PLN. Warga hidup tenang dengan listrik dari genset yang mereka hidupi beramai-ramai. Untuk keperluan komunikasi seluler mereka harus turun ke kota Malinau, atau mencoba naik ke bukit dan memanjat pohon hanya untuk sekadar menelepon atau mengirim SMS. Itupun tak selamanya beruntung. “Kecuali kalau pas ada sinyal bocor.” Kata seorang ibu.
Sebagai orang Dayak Kalimantan, hidup warga desa Gong Solok memang tidak bisa lepas dari sungai. Sejak tahun 1950an leluhur mereka mulai mendiami pesisir sungai Malinau dan membangun kampung di sana. Selama puluhan tahun mereka hidup damai di sana, menjadikan sungai sebagai pusat kehidupan mereka. Sumber makanan, sumber air minum, keperluan sehari-hari, semua disediakan oleh sungai.
Tapi keadaan mulai berubah ketika di akhir tahun 1990an perusahaan tambang batu bara yang disusul kemudian oleh perkebunan kelapa sawit mulai masuk ke sekitar daerah mereka.
Sungai yang dulu masih sangat layak untuk ditimba dan dimasak kini tak lagi sama. Perusahaan tambang itu dengan pongahnya membuang limbah mereka ke sungai Malinau. Perlahan sungai yang jadi urat nadi kehidupan warga Gong Solok mulai tercemar, tak bisa lagi dijadikan pegangan untuk menopang kehidupan sehari-hari mereka.
“Jangankan untuk diminum, untuk mandi saja airnya sudah bikin gatal.” Kata warga Gong Solok.
Masalah makin rumit ketika perlahan-lahan sungai semakin tidak ramah. Di musim hujan airnya naik sampai ke perkampungan, merendam rumah-rumah penduduk. Warga menuding perusahaan tambanglah sebagai pelakunya. Di musim hujan perusahaan tambang batu bara itu ikut melepas limbah yang mereka tampung di bak-bak penampungan, membuat sungai kelebihan muatan dan airnya naik ke daratan.
Tak ada pilihan lain, pindah ke dataran yang lebih tinggi adalah satu-satunya cara bertahan hidup.
*****
DI PUNAN ADIU KONDISINYA JUGA SAMA. Pak Markus yang memenami kami berkeliling kampung memperlihatkan beberapa rumah yang ditinggalkan begitu saja di tepi sungai. Kayunya sudah mulai lapuk tak terurus. Ada bercak kecoklatan di dinding kayu rumah-rumah itu, bercak penanda kalau dulu air pernah merendamnya.
“Rumah saya bahkan hanyut dibawa air.” Kata pak Markus.
Desa Punan Adiu juga dulunya berada di tepi sungai, sama seperti kebanyakan desa di Malinau. Tapi air bah memaksa mereka bergeser ke tempat yang lebih tinggi. Merekapun mencurigai penyebabnya sama dengan banjir yang melanda desa Gong Solok, keserakahan tambang batu bara.
Sungai yang dulu menopang hidup merekapun perlahan mulai terenggut, tak lagi bisa menjadi andalan untuk minum, mandi dan mencuci. Tak ada lagi ikan yang bisa ditangkap dan dipakai mengganjal perut. Memasang perangkap ikan hanya menghasilkan kehampaan, tak seperti dulu ketika tambang-tambang itu belum masuk ke sekitar kampung mereka.
Kalimantan Utara sebenarnya masih termasuk beruntung. Provinsi paling bungsu di Indonesia ini masih punya 70% kawasan hutan yang diperkirakan luasnya mencapai 4.500.000 Ha dengan 1.260.000 Ha yang dilindungi. Sejauh ini memang baru ada 4 perusahaan tambang batu bara yang masuk ke Kalimantan Utara, masih bisa dibilang jumlah yang sedikit. Yansen Tipa Padan, Bupati Malinau yang sekarangpun kabarnya menarik 10 ijin tambang yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh bupati terdahulu.
“Hutan di sini masih lumayan terjaga, beda banget sama hutan di Kalimantan Tengah.” Kata mbak DJ, kawan satu tim yang memang sudah pernah melakukan penelitian di Kalimantan Tengah.
Sepanjang perjalanan di Malinau memang masih terasa kalau hutan-hutan di sini lumayan masih terjaga dengan baik. Pohon-pohon besar dan tinggi masih rapat berdiri, bersanding dengan semak belukar dan pohon yang lebih pendek yang juga sama rapatnya. Sejauh mata memandang hanya ada warna hijau dan hijau.
Tapi, dengan hutan yang masih terjaga dan jumlah tambang yang masih sedikit itu saja beberapa desa sudah mengeluh dan merasakan sesaknya penderitaan. Bagaimana kalau jumlah tambang bertambah ya? Bisa-bisa akan makin banyak desa yang tenggelam dan makin banyak sungai yang tak mampu lagi menghidupi warga karena sudah tercemar. Kalau sudah begitu, siapa yang bisa disalahkan?
“Tambang sudah merusak sungai kami.” Kata pak Markus lirih. [dG]