Hampir Tiga Tahun Selepas Karhutla 2015

Sisa kebakaran lahan gambut 2015 di Jambi
(Foto: Daeng Ipul/Yayasan BaKTI)

Hampir tiga tahun setelah bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2015. Bagaimana langkah pemerintah mencegah terjadinya bencana yang sama, dan bagaimana progressnya?

HAMPIR DUA PEKAN LALU, saya menerima sebuah notifikasi dari YouTube. Akun Sudut Istana baru saja mengunggah sebuah video. Judulnya: GERAK CEPAT ERA JOKOWI: Penanggulangan Karhutla. Karena akun Sudut Istana memang dibuat oleh Tim Komunikasi Presiden maka tentu saja isinya adalah informasi beberapa kegiatan di jaman pemerintahan pak Jokowi. Salah satunya adalah penanganan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Ini video yang saya maksud:

Video itu mengingatkan saya pada sebuah kunjungan ke Jambi di awal tahun 2017 lalu. Tepatnya di bulan Februari 2017. Waktu itu saya ditugaskan untuk mendokumentasikan kegiatan kerjasama antara Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA-Indonesia). Kerjasama itu adalah usaha restorasi lahan gambut yang memang banyak terdapat di Jambi. Selain untuk menghindari terjadinya kembali kebakaran hutan, juga agar lahan gambut bisa kembali fungsinya.

Waktu itu saya masih bisa melihat sendiri sisa-sisa kebakaran lahan yang terjadi di tahun 2015. Sejauh mata memandang hanya ada tanah lapang yang begitu luas hingga sulit saya perkirakan luasannya. Tanah lapang itu sebagian besar masih berwarna hitam, menandakan bekas kebakaran. Hampir dua tahun berlalu, tapi sisanya masih terlihat jelas.

Karthutla tahun 2015 memang jadi salah satu bencana terbesar yang pernah menimpa Indonesia. Di tahun 1997 kebakaran yang sama juga terjadi dan secara luasan lebih besar dari Karhutla tahun 2015. Namun, dari sisi kerugian Karhutla 2015 jauh lebih besar.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan, kerugian akibat bencana Karhutla tahun 2015 lalu mencapai angka Rp.220 triliun. Sekali lagi: Rp.220 triliun! Jumlah ini bisa dipakai membangun ratusan sekolah kualitas terbaik, membangun ratusan kilometer jalan dengan kualitas paling unggul atau membangun ratusan jembatan yang paling kokoh. Kalau dipakai membeli kerupuk, mungkin kerupuknya bisa dipakai untuk menutupi satu provinsi DKI Jakarta.

Oh bicara soal provinsi DKI Jakarta, luas hutan dan lahan yang terbakar dalam bencana Karhutla 2015 itu diperkirakan 2.000.000 hektare, 32 kali lebih luas dari provinsi DKI Jakarta!

Grafis Karhutla 2015
(Daeng Ipul)

52% dari lahan yang terbakar adalah lahan gambut. BNPB mencatat pulau Kalimantan sebagai pulau yang paling banyak menjadi korban akibat kebakaran di lahan gambut, menyusul Sumatra dan sedikit wilayah Papua. Ketiga pulau itu memang tercatat sebagai pulau pemilik lahan gambut di Indonesia. Sulawesi juga sebenarnya punya, tapi jumlahnya sangat kecil.

Kenapa lahan gambut bisa jadi korban kebakaran yang begitu besar?

Kunjungan ke lahan gambut di Jambi di awal tahun 2017 itu memberi saya pengetahuan baru. Dari penjelasan yang saya terima, lahan gambut di Jambi memang sudah mengalami penurunan kualitas. Lahan gambut aslinya adalah lapisan tanah yang terbentuk dari penumpukan bahan organik sejak jutaan tahun lalu. Sifatnya basah sehingga sebenarnya ketika ada kebakaran, apinya bisa padam dengan cepat.

Namun, kualitas lahan gambut terus menurun dengan tingkat air yang makin menipis. Jadi ketika di bagian atas terbakar, maka akan sangat sulit memadamkannya. Apalagi karena gambut terbentuk dari bahan organik tadi, akibatnya bara akan tertinggal di bagian bawah. Dipadamkan di bagian atas juga percuma karena bara itu masih ada di lapisan bawah. Sewaktu-waktu bisa memicu kembali kebakaran dahsyat.

Baca juga: Agar Gambut Tak Bikin Kalut

Pola pembukaan lahan secara tradisional dengan cara membakar lahan masih dilakukan, sayangnya karena penurunan kualitas itu tidak disadari oleh warga. Kalau dulu api bisa padam dengan sendirinya, sekarang tidak bisa lagi semudah itu. Api akan terus menyala dan bahkan melebar. Sialnya lagi, pembakaran lahan itu bukan cuma dilakukan oleh warga tapi juga oleh korporasi yang malah lebih ganas dan tidak bertanggung jawab.

Akibatnya ya kita tahu semua, api membesar dan jadi musibah besar di tahun 2015.

*****

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI TAHUN 2015 itu direspon cepat oleh pemerintah di bawah presiden Joko Widodo. Lewat Peraturan Presiden No. 01/2016, dibentuklah badan setingkat menteri yang diberinama Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG diserahi tugas dan tanggung jawab merestorasi gambut di tujuh provinsi. Targetnya sampai tahun 2020, BRG akan bisa merestorasi lahan gambut seluas 2 juta hektar.

BRG tentu sadar, dengan target sebesar itu mereka tidak mungkin bekerja sendirian. BRG kemudian merangkul semua pemangku kepentingan, dari pemerintah daerah, swasta, lembaga swadaya masyarakat hingga tentu saja masyarakat itu sendiri. Usaha-usaha restorasi lahan gambut dikerjakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan itu.

Di Jambi saya banyak berinteraksi dengan WWF, salah satu lembaga yang kegiatannya termasuk merestorasi lahan gambut. Oleh pak Zainuddin Khalid – yang kerap kami sapa Bang Zain – kami diajak untuk melihat langsung usaha restorasi lahan gambut di kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Waktu itu usaha restorasi lahan gambut yang dilakukan oleh WWF memang baru akan dimulai. Progress terbesar baru pada tahap perencanaan dan sosialisasi ke warga. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menyertakan warga dalam proses restorasi tersebut. Mustahil meminta warga ikut merasa memiliki dan menjaga lahan gambut itu bila mereka tidak diikutsertakan dalam prosesnya.

Secara umum, usaha merestorasi lahan gambut itu dilakukan dengan tiga tahap, yaitu: pembasahan kembali lahan gambut (re-wetting),  penanaman kembali (re-vegetasi) dan terakhir yaitu penguatan kesejahteraan masyarakat lokal (revitalization of local livehood).

Tahapan restorasi gambut (Grafis: Daeng Ipul)

Ketiga tahap ini saling berkaitan dan tentu saja berakhir pada usaha meningkatkan kesejahteraan warga yang hidup di atas lahan gambut tersebut. Kalau mereka sejahtera dan sadar pentingnya lahan gambut, tentu mereka akan mau ikut menjaga lahan gambut tanpa disuruh. Akan sulit meminta masyarakat menjaga lahan gambut kalau mereka tidak merasa lahan gambut itu memberi manfaat bagi mereka. Betul, tidak?

Awal bulan Desember 2017 kemarin, saya bertemu lagi dengan Bang Zain di Jakarta dalam sebuah acara. Beliau juga sekaligus tampil di panggung, mempresentasikan apa yang sudah dilakukan lembaganya di Jambi. Tentu saja fokus utamanya adalah restorasi lahan gambut tersebut.

Dalam presentasinya, Bang Zain menceritakan bagaimana proses restorasi yang mereka lakukan di Londerang, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Restorasi tersebut berupa pembuatan sekat kanal yang bertujuan untuk membasahi kembali lahan gambut, dilanjutkan dengan penanaman kembali dengan memilih tanaman yang bernilai ekonomis bagi warga, serta satu lagi yang sangat penting: deteksi dini keadaan lahan gambut.

Deteksi dini ini menggunakan sebuah alat yang bisa mengontrol keadaan lahan gambut secara real time. Satu alat bisa menjangkau area seluas 10.000 km2, dan secara terus menerus melaporkan keadaan lahan gambut tersebut, termasuk suhu dan kelembaban. Kita bisa tahu ada yang salah hanya dengan mengamati laporan dari pantauan alat tersebut. Kebakaran bisa ditanggulangi secara dini.

Semua usaha tersebut, menurut Bang Zain dilakukan bersama dengan warga yang terhimpun dalam Masyarakat Peduli Api. Organisasi ini terbentuk karena warga sudah trauma dengan kejadian Karhutla tahun 2015 lalu, dan tentu saja mereka tidak mau kejadian yang sama terulang kembali.

*****

Masyarakat di sekitar lahan gambut
(Foto: Daeng Ipul/Yayasan BaKTI)

GERAK CEPAT PEMERINTAH menangani Karhutla dengan membentuk BRG dan menggandeng banyak pihak sudah terasa di tahun 2016. Kebakaran hutan dan lahan menurun hingga 82%, di tahun berikutnya prosentase penurunannya menjadi 92%. Dua bukti ini tentu membawa harapan besar bahwa kasus Karhutla seperti tahun 2015 tidak akan terjadi lagi.

Tak akan ada satu orang pun yang berharap Karhutla akan kembali terjadi. Semua bisa membayangkan bagaimana tidak nyamannya berada di tengah situasi Karhutla. Sejauh ini, penanganan atas Karhutla sudah ada di jalur yang benar. Setidaknya kita sudah bisa merasakan hasilnya.

Tantangan terbesarnya ada di soal konsistensi. Bisakah kita semua menjaga proses yang sudah berjalan ini? Mampukah kita terus mengingat kesusahan dan kerugian akibat Karhutla? Atau jangan-jangan kita terbuai lagi dan lupa untuk menjaga apa yang sudah dimulai?

Ah, mudah-mudahan saja tidak. [dG]