Di Papua, Ketidakpastian Adalah Sebuah Kepastian

Jangan berharap semua perjalanan akan tepat waktu dan selalu lancar seperti perjalanan yang Anda lakoni di Jawa atau Sulawesi, misalnya. Di Papua, semuanya bisa terjadi setiap saat.


Suasana di bandara Wamena – ilustrasi

BANDARA SENTANI, APRIL 2018. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Matahari seperti tersaput awan di luar sana, sementara di dalam bandara suasana masih riuh. Para calon penumpang mengisi deretan kursi besi di ruang tunggu yang berpendingin ruangan. Sesekali suara perempuan dari pengeras suara menggema, memberitahukan informasi penerbangan. Penerbangan pergi dan datang.

Tapi tidak ada satupun informasi tentang penerbangan kami.

Hari itu saya dan teman-teman serombongan (total ada 6 orang), rencananya akan terbang ke Wamena dan kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Lanny Jaya. Tiket Wings Air sudah di tangan. Kami sudah di ruang tunggu. Jadwalnya, pesawat berangkat pukul 10 pagi dan akan tiba di Wamena sejam kemudian. Tapi, sampai dua jam dari jadwal yang direncanakan kami belum beranjak dari ruang tunggu bandara Sentani.

“Alasan operasional,” begitu kata perempuan di pengeras suara bandara itu, memberi kabar tentang keterlambatan penerbangan.

Beberapa anggota rombongan terkulai layu di kursi penumpang, tidur lelap. Maklum, mereka baru mendarat pagi pukul tujuh setelah menuntaskan perjalanan sekira enam jam dari Jakarta, sejak tengah malam. Mereka pasti sudah capek dan akhirnya tertidur. Tapi tidak dengan saya. Saya masih gelisah, berharap “alasan operasional” itu bisa secepatnya teratasi.

“Pesawatnya rusak pak, sekarang lagi parkir di Wamena. Ini kita lagi kirim teknisi ke sana. Ikut pakai pesawat cargo yang barusan terbang,” kata seorang petugas yang saya tanya di kantornya.

Baiklah, jawaban itu adalah pertanda. Pertanda baik dan buruk sekaligus. Baik karena bisa jadi pesawat berhasil diperbaiki dan beroperasi seperti biasanya, atau buruk karena berarti pesawat tidak akan terbang. Kemungkinan terburuk adalah tidak ada penerbangan hari itu dengan maskapai yang sudah kami pesan. Masalahnya, besok kami sudah harus hadir di acara yang menempatkan sebagian anggota rombongan kami sebagai tokoh utamanya.

Pada akhirnya pengumuman itu keluar juga. Bukan pengumuman untuk naik ke pesawat, tapi pengumuman bahwa penerbangan hari itu dibatalkan. Pesawat tidak bisa beroperasi sebagaimana mestinya, dan itu artinya kami tidak bisa berangkat.

Suasana mendadak ramai, tapi tidak terlalu riuh. Calon penumpang berkumpul di depan konter maskapai, menitipkan data diri untuk menerima kompensasi berupa penginapan selama semalam. Ramai, tapi tidak ada satupun nada tinggi yang terdengar. Semuanya bergerombol dengan tenang, tidak satupun yang marah-marah. Pemandangan yang berbeda dengan pemandangan yang mungkin pernah kita lihat di layar televisi ketika sebuah penerbangan ditunda atau bahkan dibatalkan.

“Itulah, orang di Papua sudah tahu kalau ketidakpastian itu hal yang biasa,” kata Kak Luna, salah satu anggota rombongan yang besar di Papua.

*****

BANDARA EWER, KABUPATEN ASMAT, AGUSTUS 2018. Kami duduk di sebuah warung yang sekaligus menjadi ruang tunggu tidak resmi bandara kecil itu. Saya dan pak Rara -teman seperjalanan- sedang berusaha meredam rasa gundah. Kami sudah memegang tiket Timika-Makassar, tapi untuk keluar dari Asmat belum ada kepastian. Pesawat yang harusnya kami pakai ternyata rusak dan tidak bisa terbang. Harapan terakhir adalah pesawat Dimonim Air yang hari itu kebetulan melayani rute Timika-Agats-Timika. Itupun belum pasti.

“Ibu ke mana?” Tanya saya pada seorang ibu berjilbab yang duduk di samping saya.

“Ke Merauke,” jawabnya. Ternyata dia juga menunggu pesawat, hanya beda tujuan dan beda maskapai. Dia berencana ke Merauke dengan Susi Air.

Kami akhirnya terlibat dalam obrolan ringan. Sama-sama menunggu dalam ketidakpastian, hingga beberapa jam ke depan. Sampai akhirnya saya berhasil mendapat kepastian. Petugas bandara memasukkan nama saya – dan pak Rara – ke daftar penumpang Dimonim Air yang akan datang pukul 13:00 WIT. Setidaknya kami sudah tenang, sudah maju satu langkah lagi. Tinggal berharap pesawatnya benar-benar datang dan bisa berangkat ke Timika.

Baca juga sulitnya masuk dan keluar dari Asmat: Jalan Panjang Menuju Asmat.

“Bu, katanya pesawat ke Merauke batal itu,” kata saya ke ibu berjilbab itu. Meneruskan informasi yang saya dengar dari percakapan petugas bandara.

“Hah? Masak?” Si ibu terlihat kaget. Beberapa penumpang lain yang sama-sama hendak terbang ke Merauke juga menunjukkan muka kaget. Salah seorang dari mereka berinisiatif beranjak ke kantor bandara, kira-kira 50 meter dari warung itu.

Tidak lama kemudian dia kembali dengan wajah murung.

“Iya, Susi Air yang ke Merauke batal,” katanya disambut dengan nada kekecewaan dari beberapa calon penumpang lainnya.

Mereka kemudian beranjak dari warung, menggamit tas bawaan mereka dan berjalan menuju ke kantor bandara. Mereka hendak mengembalikan tiket yang hanya berupa selembar kuitansi itu lalu kembali ke Agats. Entah kapan mereka akan dapat kepastian berangkat, mungkin dua hari kemudian sesuai jadwal reguler Susi Air.

Sekali lagi, tidak ada nada kemarahan yang menyertai helaan napas kecewa mereka. Kecewa, tapi biasa saja. Tidak ada yang meninggikan nada suara, tidak ada yang menggebrak meja, tidak ada yang marah-marah.

“Begitulah. Mereka sudah sadar, ketidakpastian adalah sebuah kepastian di Papua,” kata saya.


Ini pesawat Dimonim Air yang kami tumpangi dari Ewer ke Timika

*****

DENGAN LUAS WILAYAH YANG SANGAT BESAR dan bentang alam yang berat, Papua adalah pusat ketidakpastian bila menyangkut transportasi. Infrastruktur transportasi di sini belum semulus pulau Sulawesi misalnya. Jangan lagi membayangkan jalan tol antar provinsi di Jawa yang mulus. Perjalanan antar kabupaten di Papua masih mengandalkan pesawat dan sebagian jalan darat yang berat. Belum semuanya beraspal mulus.

Kondisi itu yang membuat jadwal transportasi tidak selamanya sesuai rencana. Semua jadwal bisa berubah, tergantung cuaca atau kondisi lain. Pesawat misalnya, meski sudah dijadwalkan tapi bisa saja karena ada gangguan mesin (yang kerap terjadi di Papua) maka jadwal tersebut bisa berubah. Jalan darat apalagi. Bisa saja tiba-tiba di jalan ada longsor yang menutupi jalan. Longsor yang bisa menutupi jalan berjam-jam sampai satu hari lebih dan membuat jadwal berantakan.

Di tempat lain seperti Asmat, meski tiket sudah di tangan dan pesawat sudah datang, bisa saja tiba-tiba kursi kita “diserobot” oleh mereka yang lebih membutuhkan. Warga yang harus dibawa ke kota untuk berobat misalnya, atau pejabat dan keluarga pejabat yang lebih berkuasa. Jangankan memegang tiket, duduk manis di dalam pesawat pun bisa saja tiba-tiba kita diminta dengan sopan untuk turun dan merelakan kursi kita untuk pihak lain yang lebih membutuhkan.

Mau protes? Ini Papua bung! Ha-ha-ha-ha.

Teman-teman yang sering membuat acara pelatihan dengan mengundang peserta dari berbagai kabupaten di Papua sudah tahu betul kondisi ini. Para peserta bisa saja sudah mengonfirmasi kehadiran, tapi karena beragam rintangan itu mereka urung tiba di lokasi acara. Dan itu hal biasa. Ini jadi pelajaran penting. Bila kalian hendak membuat acara di Papua dengan mengundang peserta dari kabupaten lain, maka bersiaplah dengan segala kemungkinan.

Karena sekali lagi, di Papua ketidakpastian adalah sebuah kepastian. [dG]