Tantangan Data Kependudukan di Papua



Tanpa data kependudukan yang akurat, warga kesulitan mengakses layanan dasar. Perencanaan dan penganggaran pun jadi tidak tepat sasaran. Inilah yang terjadi di Papua.


Puluhan mama-mama Papua berkumpul di halaman Bank Papua di kota Enarotali, ibukota Kabupaten Paniai. Sebagian besar dari mereka membawa anak balita, ada yang di gendongan, ada pula yang dibiarkan berlari-lari di sekitar tempat mereka berkumpul. Halaman luas milik Bank Papua itu penuh oleh manusia. Beruntung karena Paniai adalah daerah dengan udara yang sejuk di ketinggian 1.700 mdpl. Matahari yang bersinar terang pun tidak terlalu terasa membakar kulit.

Mama-mama itu adalah para penerima manfaat dari program BANGGA Papua, sebuah program dari pemerintah Provinsi Papua. Tujuan utama dari program ini adalah memberikan bantuan dana dan pengetahuan kepada mama-mama asli Papua agar mereka bisa menjaga dan meningkatkan gizi anak mereka. Utamanya anak usia empat tahun ke bawah.

Salah satu syarat agar bisa menikmati program ini, mereka harus memiliki data kependudukan. Minimal punya Nomor Induk Kependudukan (NIK). Di sinilah tantangan bermula. Disebut tantangan karena ternyata masih banyak sekali warga Papua yang belum memiliki NIK. Jangankan e-KTP, NIK saja mereka belum punya. Akta kelahiran untuk anak pun sama, jumlahnya masih rendah.

Papua (dan Papua Barat) menjadi dua provinsi dengan tingkat kepemilikan data kependudukan paling rendah di Indonesia. Papua menjadi yang terendah. Menurut survey sosial dan ekonomi nasional (Susenas) 2017, hanya 45% anak Papua berusia di bawah 18 tahun yang punya akta kelahiran. Bandingkan dengan anak di DKI Jakarta yang 97,4% sudah memiliki akta kelahiran atau tertinggi di Indonesia. Sementara untuk kepemilikan NIK, Papua hanya mencatat angka 68%. Masih jauh di bawah rata-rata angka nasional yang mencapai angka 90% (data Susenas, BPS RI, 2017). Dua data ini menunjukkan betapa tertinggalnya Papua di soal data dan administrasi kependudukan.

Pentingnya Data dan Administrasi Kependudukan.

Sebenarnya, kenapa sih data dan administrasi kependudukan itu jadi penting? Mungkin ada yang bertanya-tanya soal itu. Tapi, sebenarnya pertanyaan itu sangat mudah dijawab.

Sederhananya, tanpa data kependudukan yang sah maka akan sulit bagi kita mengakses berbagai layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran pasti kesulitan mendaftar sekolah. Ini artinya mereka tidak bisa mengakses layanan pendidikan.

Buat orang tua, tidak punya NIK atau KTP artinya akan bertemu banyak kesulitan. Tidak bisa membuat rekening di bank, tidak bisa mengakses kredit, tidak bisa mengurus BPJS dan banyak lagi tidak bisa lainnya. Bahkan diakui sebagai warga negara pun tidak. Kan tidak ada NIK? Bagaimana bisa diakui sebagai warga negara?

Itu dari sisi warga, di sisi pemerintah beda lagi. Pemerintah yang tidak punya data kependudukan yang rapi dari warganya pasti akan kesulitan ketika membuat perencanaan dan penganggaran. Pemerintah tidak tahu, berapa pastinya jumlah warga di wilayahnya. Berapa yang sudah menikah? Berapa yang usia anak-anak? Berapa yang butuh rumah sakit? Berapa yang butuh sekolah?

Kalau data kependudukan kabur, maka data yang dibutuhkan untuk perencanaan pasti juga ikut-ikutan kabur.

Bagaimana mungkin penganggaran bisa tetap sasaran kalau perencanaannya tidak jelas? Pemerintah tidak tahu berapa dana yang harus disiapkan untuk membangun pusat layanan kesehatan? Atau berapa sekolah yang harus dibangun? Karena datanya tidak ada, jadi pelaksanaan pun tidak ada.

Sampai di sini kita bisa paham kan betapa pentingnya data dan administrasi kependudukan itu, bukan? Sayangnya, hal itu belum dirasakan oleh banyak orang di Papua karena berbagai faktor.

Pengetahuan Sampai Faktor X.

Tantangan terbesar untuk perbaikan data dan administrasi kependudukan di Papua adalah soal pengetahuan. Masih banyak warga yang belum paham pentingnya data kependudukan. Utamanya mereka yang tinggal di daerah terpencil.

Bagi mereka, yang penting bisa makan tiap hari sudah cukup. Tidak perlu berpikir soal NIK, Kartu Keluarga, KTP, surat nikah atau akta kelahiran. Tidak merasa perlu atau tidak tahu kalau itu penting. Akibatnya masih banyak yang sama sekali belum berniat untuk mengurus semua data kependudukan itu.

Faktor geografis juga jadi tantangan tersendiri. Papua adalah salah satu wilayah yang didominasi alam yang berat. Ratusan kampung masih masuk dalam kategori terpencil yang sulit diakses. Ini membuat banyak warga kesulitan mendapatkan informasi perihal pentingnya data kependudukan, dan pihak dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) juga kesulitan menjangkau mereka.

“Kita biasanya bikin layanan sampai ke hutan-hutan,” kata John, salah satu pegawai Dukcapil Kab. Asmat yang saya temani ke Koroway.

John bercerita bagaimana dia dan teman-temannya di Dukcapil Kab. Asmat sampai menyusuri sungai berjam-jam dan masuk ke kampung yang jauh di pelosok. Beberapa di antaranya masih di tengah hutan. Mereka bahkan pernah melakukan perekaman e-KTP untuk warga kampung Koroway yang sebagian masih tinggal di pohon.


Mama-mama berkumpul di Koroway, menanti pembagian KTP

Perjalanan mereka tentu tidak ringan dan butuh biaya besar. Belasan juta Rupiah harus dikeluarkan untuk satu perjalanan pelayanan. Belum lagi tenaga yang terkuras dan bahkan kata John terkadang mereka harus menginap di tepi hutan. Sungguh perjuangan yang tidak mudah demi memenuhi hak warga untuk mendapatkan data kependudukan mereka.

Faktor lain yang juga menjadi tantangan adalah soal budaya. Sebagian orang Papua masih memegang budaya asli mereka, termasuk soal pernikahan. Pernikahan hanya dilakukan dengan cara adat tanpa pengesahan di catatan sipil. Padahal pernikahan itu harusnya tercatat dan menjadi bagian dari data kependudukan seorang warga negara. Beberapa daerah memang sudah mengakomodir pernikahan adat ini, tapi sebagian lagi belum. Akibatnya, pernikahan adat masih dianggap ilegal dan belum seperti pernikahan resmi atau pernikahan lewat gereja.

Dampak buruk dari belum diakuinya pernikahan adat ini paling terasa pada anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Mereka tidak bisa mengurus akta kelahiran karena orang tuanya tidak punya surat nikah. Akhirnya, anak-anak tersebut tercatat sebagai anak ibu di Kartu Keluarga. Sepintas tidak masalah, tapi akibatnya buruk karena si anak kehilangan hak sebagai anak dari bapaknya.

Di beberapa daerah lain di Papua, ada juga faktor tantangan lain yang kita sebut saja sebagai faktor X. Faktor X itu salah satunya adalah soal ideologi yang berbeda. Ini terjadi di beberapa “daerah merah” seperti Lanny Jaya atau Paniai. Di sana, banyak warga yang tidak mau mengurus data kependudukan mereka karena itu artinya mereka harus mengakui keberadaan Indonesia. Padahal, mereka punya ideologi yang berbeda dengan Indonesia.

Baca juga: Bertemu “tiga huruf” di Lanny Jaya.

Beberapa warga sebenarnya tidak masalah dengan data kependudukan Indonesia, tapi karena tinggal di lingkungan ideologi berbeda maka mau tidak mau mereka juga segan mengurus data kependudukan. Takut distigma oleh kerabat dan tetangga yang berbeda ideologi.

Di Paniai juga ada kasus penolakan lain. Ada sekelompok warga yang menolak perekaman e-KTP karena alasan yang ada hubungannya dengan kepercayaan. Mereka menganggap perekaman e-KTP itu sebagai tindakan anti krist, melawan Tuhan. Dalam ajaran Nasrani ada yang percaya bahwa suatu saat nanti manusia akan dinilai sebagai angka, diberi tanda di tangan dan dahinya. Tindakan ini dianggap sebagai anti Tuhan sebagaimana dijelaskan di kitab Wahyu 13: 16-18.

Kepercayaan ini menyebabkan banyak dari mereka yang menolak perekaman e-KTP, dan ini berarti mereka tidak bisa memiliki data kependudukan. Mereka pun tidak bisa mengakses berbagai layanan yang sudah disiapkan oleh pemerintah.

*****

Tantangan-tantangan yang disebut di atas membuat masih banyak warga Papua yang tidak memiliki data kependudukan yang sah. Ini tentu berpengaruh pada perencanaan dan penganggaran pembangunan di tanah Papua. Perencanaan dan penganggaran tidak tepat sasaran dan tidak bisa dinikmati hasilnya oleh warga. Semua berawal dari data kependudukan yang tidak akurat. Warga pun kesulitan mengakses berbagai layanan yang sudah disiapkan untuk mereka. Tidak bisa menjadi peserta BPJS, tidak bisa menyekolahkan anak, tidak bisa mengakses perbankan, dan banyak lagi.

Sepintas, data kependudukan ini memang terlihat sepele. Kadang malah dianggap tidak penting karena tidak berpengaruh langsung pada kehidupan kita sehari-hari. Tapi, bila dikaji lebih lanjut ternyata perannya besar sekali untuk menentukan kesejahteraan sebuah daerah.

Tanpa data kependudukan yang rapi dan akurat, banyak kerugian yang siap menimpa. [dG]