Pasang-Surut COVID-19 di Indonesia

Mengingat kembali bagaimana perasaan saya ketika pertama mendengar virus ini muncul, dan apa yang terjadi dalam rentang setahun terakhir.

Menjelang akhir tahun 2019 lalu, berita tentang munculnya COVID-19 dari Wuhan, China merebak ke seluruh dunia. Pertama kali mendengar berita itu, pikiran yang muncul di kepala saya adalah, “Ah mungkin cuma seperti flu burung. Tidak akan menyebar luas.” Terdengar naif ya, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Mungkin bukan cuma saya yang berpikir begitu, sebagian besar orang di dunia mungkin berpikiran yang sama dengan saya. Ini bukan pertama kalinya ada virus yang menyerang bumi dalam rentang beberapa tahun belakangan ini, dan selama ini semua terlihat biasa-biasa saja.

Sampai awal tahun 2020 saya belum terlalu tertarik mendengar beragam kabar tentang COVID-19. Saya tahu virus itu sudah mulai menyebar ke beberapa negara, tapi dengan naifnya saya masih merasa kalau itu tidak akan benar-benar mengganggu kehidupan kita.

Sampai kemudian beredar kabar kalau beberapa negara sudah mulai menetapkan yang namanya lockdown. Mengunci negara mereka, membatasi ruang gerak warganya demi membatasi penyebaran virus. “Wah, ternyata serius nih,” pikir saya waktu itu. Terbayang bahwa negara dengan kemampuan teknologi sekelas China saja ternyata kelimpungan dan tidak bisa membendung virus ini.

Masuk ke bulan Februari 2020, orang-orang di luar sana mulai resah. Virus ini terbukti menyebar dengan cepat. Di Indonesia, pemerintah kita masih terlihat santai. Dari berita-berita di media massa, pemerintah lewat mantan Menteri Kesehatan, dr. Terawan terlihat santai menanggapi berita tentang virus COVID-19 ini. Bahkan, beberapa media memelintir ucapan dr. Terawan dan pejabat lainnya seolah-olah mereka menanggapi kehadiran virus ini dengan bercanda. Entah benar-benar bercanda, atau ucapan mereka yang dipelintir media. Intinya, warga Indonesia masih santai menanggapi kehadiran virus COVID-19 ini.

Akhirnya Masuk ke Indonesia

Setelah sempat beredar meme yang menggambarkan betapa virus COVID-19 tidak diterima di Indonesia karena kalah oleh virus lain yang sudah lebih dulu ada, akhirnya COVID-19 resmi tiba di Indonesia.

Awal Maret 2020, dua orang Indonesia dikonfirmasi mengidap virus COVID-19. Negeri kita langsung heboh, apalagi karena dengan cepat virus ini menyebar. Saat itu saya masih sempat berpikir kalau, “Ah, virusnya masih jauh di Jakarta sana.” Kebetulan saat itu saya sedang berada di Jayapura, ujung timur Indonesia. Masih ada kenaifan dalam pikiran saya yang mengira virus ini akan sulit menyebar dan bisa cepat ditanggulangi oleh pemerintah kita.

Tapi, saya salah. Virus ini ternyata membuat banyak orang panik, termasuk pemerintah kita. Pejabat tinggi di Jakarta sana mulai bingung membuat keputusan. Belum lagi pertentangan antara pemerintah pusat dan daerah menanggapi rencana untuk lockdown atau tidak. Dari awal sudah terlihat kalau pemerintah kita tidak benar-benar siap. Iya sih, tidak ada pemerintah negara yang benar-benar siap, tapi Indonesia mungkin salah satu yang paling tidak siap.

Mulai bulan Maret 2020, aktivitas sebagian besar orang Indonesia mulai berubah. Sekolah dan kantor memutuskan untuk melanjutkan aktivitas dari rumah. Tatap muka diminimalkan. Beberapa daerah memutuskan untuk menetapkan pembatasan aktivitas luar ruang. Tidak sampai lockdown, tapi hanya sekadar pembatasan sosial berskala besar.


Bekerja dari kamar kos

Papua termasuk salah satu provinsi yang paling berani mengambil keputusan. Gubernur Papua, Lukas Enembe langsung mengambil keputusan menutup akses masuk-keluar Papua. Bandara dan pelabuhan ditutup, pergerakan manusia antar daerah dibatasi, bahkan beberapa kota di dalam provinsi Papua mengambil keputusan membatasi kegiatan luar ruang. Jayapura pernah memberlakukan pembatasan di atas pukul 14:00 WIT. Warga sama sekali dilarang beraktivitas di luar rumah di atas jam tersebut. Semua dilakukan demi menekan penyebaran virus COVID-19.

Baca juga: Cara Papua Melawan COVID-19.

Ini bisa mengerti mengingat terbatasnya fasilitas kesehatan di Papua dan beratnya medan. Kalau virus ini dibiarkan menyebar, bisa habis warga Papua. Jadi meskipun ditentang oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, gubernur Papua tetap jalan dengan keputusannya membatasi wilayahnya.

Virus Ini Ada Atau Tidak Sih?

Bulan Agustus 2020, atau lima bulan setelah masuknya COVID-19 ke Indonesia, seorang teman di seberang pulau bertanya ke saya lewat aplikasi WhatsApp. Kira-kira pertanyaannya begini, “Abang punya teman atau kenalan yang kena Covid?” Saya tahu kenapa dia bertanya begitu. Intinya ada keraguan dari dia melihat pemberitaan tentang COVID-19 ini yang katanya ganas, menyebar dengan cepat, tapi yang kena masih orang-orang yang jauh. Bukan orang di dekatnya.

Di masa itu, keraguan tentang COVID-19 ini beneran ada atau tidak memang masih luas merebak. Orang-orang banyak yang hanya mendengar tentang keganasan virus ini, tapi tidak melihat langsung siapa yang kena. Semua masih terlihat jauh di seberang sana. Makanya wajar bila ada keraguan.

Apalagi, di masa itu ramai beredar kabar kalau COVID-19 ini adalah konspirasi elit global. Hanya rekaan sekelompok orang sana yang bertujuan untuk membuat tatanan dunia yang baru dan beragam teori konspirasi lainnya. Salah satu penyebarnya yang paling terkenal adalah Jerinx, drummer band Superman is Dead.

Ketika saya balik ke Makassar di bulan September 2020 pun, masih ada teman yang bertanya langsung ke saya. “Kamu percaya Covid ini betulan ada?” Tanya sang teman. Ketika saya jawab saya percaya, dia membalas, “Bagaimana ya, saya agak ragu karena kayaknya banyak sekali keganjilan.”

Kami tidak memperpanjang diskusi tentang COVID-19 hari itu, tapi saya mengakui kalau memang ada banyak keganjilan dari merebaknya virus ini. Ganjil karena ini bukan virus biasa, ganjil karena kehadirannya membuat pemerintah dan pengambil keputusan kalang kabut. Ganjil karena virus ini membuat munculnya kebiasaan-kebiasaan baru.

Baca juga:  Yang Berubah Karena COVID-19

Sampai hari ini pun kepercayaan bahwa COVID-19 hanya bagian dari konspirasi elit global dan tidak benar-benar ada masih merebak di kalangan warga. Banyak juga yang masih percaya kalau COVID-19 ini hanya alasan dari rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk mengambil keuntungan.

Tapi sekarang pun jumlah yang terkena COVID-19 semakin banyak dan semakin mendekati kita. Dulu COVID-19 masih terasa sebagai “kabarnya” atau “katanya”, tapi sekarang sudah bisa dilihat langsung di dekat kita, atau bahkan beberapa dari kita merasakannya sendiri. Sudah semakin nyata.

*****

Lewat satu tahun setelah pertama kalinya merebak, virus COVID-19 masih sulit dilunakkan. Bahkan, kabarnya varian-varian baru dari virus ini mulai bermunculan. Vaksin sudah ditemukan dan mulai didistribusikan, tapi masih butuh waktu yang sangat lama sebelum semua warga di dunia atau katakanlah warga Indonesia bisa menikmati vaksin COVID-19.

Semakin hari jumlah penderitanya pun semakin banyak. Korban yang meninggal pun terus bertambah. Kehidupan kita pun sudah benar-benar berubah, sudah memasuki normal yang baru. Entah kapan kita bisa kembali ke pola kehidupan yang lama, yang membiarkan kita beraktivitas tanpa rasa kuatir.

Buat saya tidak penting kamu percaya atau tidak akan adanya COVID-19, tapi yang penting adalah bagaimana kamu dan kita semua menjaga kesehatan. Tidak percaya bukan berarti bebas berkeliaran tanpa mematuhi protokol kesehatan. Kalau memang mau sakit, ya sakit sendirilah jangan menyebarkan ke orang lain.

Semoga kita semua diberi kesehatan dan kekuatan melewati masa-masa berat ini. Salam sehat! [dG]