Ciao Ben!
Akhirnya, si Vespa tua yang saya beri nama Ben itu kembali bangkit dari tidur panjangnya. Siap untuk mengukur jalanan kembali.
Tahun 2001, sebuah motor Vespa P150X keluaran tahun 1983 diberikan Almarhum Bapak ke saya. Waktu itu beliau dapat mobil dinas dari kantor, jadi Vespa yang biasa dia pakai kemudian diserahkan ke saya.
Vespa putih itu kemudian jadi teman terbaik sampai bertahun-tahun kemudian. Dia membawa saya ke sana ke mari, menyusuri jalan kota Makassar dan kota-kota lain di sekitarnya. Awalnya hubungan saya dengan si tambun ini seperti love and hate relationship. Saya mencintainya, tapi kadang dia membuat saya kesal ketika tiba-tiba ngambek di tengah jalan. Dari yang kadang tiba-tiba mati, susah dihidupkan sampai kadang membuat saya berpeluh kebingungan dan lantas emosi karena dia tak kunjung hidup.
Namun itu hanya berlangsung di awal hubungan kami. Perlahan saya mulai paham apa masalahnya, mulai tahu meredakan setiap kali dia ngambek dan memilih berhenti seenaknya. Itulah saat di mana saya mulai bisa membongkar sedikit mesinnya, mengatur platina, membersihkan busi, menyetel karboratur, pokoknya pertolongan pertama yang bisa membuatnya kembali jalan dengan riang dan suara yang besar.
Saya bahkan memberinya nama Benyamin. Saya ambil dari nama seniman Betawi legendaris; Benyamin Suaeb.
Setelah bertahun-tahun hidup bersama Ben, tahun 2008 dia akhirnya istirahat. Waktu itu ada motor lain yang jadi bagian keluarga dan karena lebih hemat, si motor baru itu jadi pilihan utama. Ben tinggal teronggok di carport, berteman panas dan hujan sampai badannya mulai berkarat.
Tahun lalu ketika pindah rumah, terbersit niatan untuk kembali menghidupkan Ben. Kenangan di dalamnya terlalu besar dan sayang rasanya kalau dia dibiarkan tinggal teronggok tak terpakai. Suatu waktu pernah ada yang menawarnya Rp. 500.000,-, tawaran yang tentu saja saya tolak mentah-mentah.
Enak saja! Ben mungkin teronggok seperti besi tua, tapi kenangan di dalamnya tidak bisa dihitung dengan uang. Apalagi “hanya” Rp. 500.000,-.
*****
Awal Ramadan 1438H Ben akhirnya hidup kembali. Saya membawanya keluar dari bengkel dengan penampilan baru. Kalau dulu kulitnya putih keperakan, sekarang dia berwarna kuning terang. Mulus dan mengkilap, ditambah dengan beberapa pernak-pernik yang membuatnya makin terlihat garang tapi sekaligus manis.
Sejak saat itu saya mulai kembali mengukur jalanan Makassar bersama Ben. Memang tidak seintens bertahun-tahun lalu ketika dia pertama menjadi bagian dari kehidupan saya. Kali ini Ben lebih banyak duduk manis di carport, hanya keluar sesekali. Alasan pertama karena dokumennya belum dimutakhirkan setelah masa berlakunya habis sejak 2009. Alasan kedua, Ben terlalu boros. Dengan kapasitas mesin 150cc dan 2 tak, rasanya tidak bijak kalau dia pakai terlalu sering. Harga bensin mahal bok! Alasan lainnya, ya saya memang jarang keluar rumah.
Hanya sesekali Ben saya ajak jalan, itupun biasanya di malam hari atau di akhir pekan ketika saya yakin polisi lalu lintas tidak sedang bertugas.
“Ndak usah mi, ndak ditahan ji itu kalau Vespa,” kata seorang kawan polisi ketika saya utarakan niat mengurus dokumen si Ben.
Memang sih, setahu saya Vespa memang termasuk motor yang paling aman setiap kali ada sweeping. Jarang ada polisi yang mengentikannya. Tapi bagaimanapun saya tetap berniat untuk mengurus dokumennya, saya warga negara yang baik loh #uhuk
Sambil menunggu dokumennya selesai, Ben tetap saya ajak jalan-jalan. Sosoknya yang kuning terang mengkilap sungguh menarik perhatian. Sering saya menangkap lirikan pengguna jalan yang lain, atau bahkan yang terang-terangan menoleh dan tatapannya tak lepas dari Ben. Sungguh sebuah kesenangan tersendiri.
Sesekali juga saya berpapasan atau bersisian dengan pengendara Vespa yang lain. Kalau itu terjadi, kami saling bertukar sapa. Entah sekadar membunyikan klakson, bertukar senyum sampai saling mengangkat tangan.
Ini semacam common rule sesama pengguna Vespa. Saling menyapa dan saling membantu kalau salah satu dari pengendara punya masalah di jalan. Dulu saya sering mendapat pertolongan seperti itu, dan pernah juga membantu pengendara yang sedang kesulitan. Ini salah satu keasyikan naik Vespa. Kata orang; satu Vespa sejuta saudara.
Begitulah, meski bukan jadi tunggangan utama tapi kehadiran Ben kembali menghangatkan memori masa lalu ketika Bapak masih hidup. Kenangan bersamanya tentu tidak akan bisa hilang, bahkan kembali segar dengan hadirnya Ben.
Ogni Vespa ha una storia propria, setiap Vespa punya ceritanya sendiri.
Ciao Ben! [dG]