Catatan Seminggu #2
Sebuah catatan pendek tentang beberapa kejadian di beberapa minggu terakhir.
Postingan kali ini berisi catatan beberapa hal yang saya alami atau saya lihat dalam seminggu. Tidak benar-benar seminggu, karena beberapa di antaranya sudah lewat dari seminggu. Jadi mungkin lebih tepatnya seminggu-dua minggu ke belakang.
Mengunjungi Negeri Laskar Pelangi
Di tahun 2008 lalu, sebuah film muncul di layar bioskop Indonesia dan menjadi salah satu film terlaris dalam sejarah perfilman Indonesia. Judulnya Laskar Pelangi. Diadaptasi dari novel laris karya Andrea Hirata dengan judul yang sama.
Film ini saya tonton di bioskop bersama kawan-kawan, dan jadi salah satu film yang saat itu cukup saya sukai. Karya salah satu sutradara terbaik Indonesia, Riri Riza. Waktu itu sempat terbersit juga pikiran kapan ya bisa ke Belitung, latar dari film ini? Alamnya yang indah dan ironi kehidupan warganya sepertinya sangat menarik.
Melesat 18 tahun ke depan, saya menginjakkan kaki di tanah Belitung. Pulau kecil yang dulu pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia karena cadangan emasnya. Pulau tempat kisah Ikal dan sahabat-sahabat Laskar Pelangi-nya berkelindan.
Meski judul besarnya adalah bekerja, tapi saya dan kawan-kawan masih menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa tempat yang sangat erat kaitannya dengan cerita Laskar Pelangi. Ada replika sekolah SD Muhammadiyah Gantong, ada juga pantai Tanjung Tinggi yang juga jadi salah satu latar dari film tersebut.
Perjalanan ke tempat-tempat itu seperti memanggil kembali ingatan-ingatan tentang cerita Laskar Pelangi. Tentang Ikal, Lintang, Mahar, dan sahabat-sahabatnya. Sebenarnya banyak hal menarik lain dari perjalanan ke Belitung ini, mungkin akan saya ceritakan dalam cerita tersendiri.
Perubahan Kebijakan Meta
Efektif sejak 1 Januari 2025, Meta mengubah kebijakannya. Ada satu kondisi yang paling berubah dari sebelumnya, yaitu kondisi bahwa Meta lebih melonggarkan ujaran kebencian kepada kelompok LGBTQ.
Di dalam kebijakan terbaru, Meta mentoleransi predikat “sakit mental” kepada kelompok LGBTQ. Lebih lengkapnya, perubahan itu berbunyi sebagai berikut:
“Kami mengizinkan tuduhan penyakit mental atau kelainan ketika didasarkan pada jenis kelamin atau orientasi seksual, mengingat wacana politik dan agama tentang transgender dan homoseksualitas dan penggunaan kata-kata yang tidak serius seperti ‘aneh’.”
Ini jadi pembahasan luas di dunia internet, khususnya di luar sana. Selama ini Meta kerap dianggap sebagai perusahaan teknologi yang mendukung kampanye LGBTQ dan perubahan kebijakan ini tentu seperti melawan arus dukungan mereka selama ini. Sebenarnya tidak terlalu mengagetkan juga karena selama ini Meta sudah mulai dikritik karena dianggap membiarkan serangan atau ujaran kebencian kepada kelompok rentan seperti komunitas LGBTQ, imigran, minoritas agama, dan kelompok lainnya.
Ada dugaan kalau perubahan kebijakan Meta ini ada kaitannya dengan sikap politik presiden terpilih AS Donald Trump. Ada kesan kalau Meta mengambil posisi aman dalam peta politik AS setelah Donald Trump terpilih lagi menjadi presiden.
Trump vs LGBTQ
Seminggu setelah resmi diangkat kembali jadi presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya hanya akan mengakui dua gender: laki-laki dan perempuan. Ini menegaskan bahwa mereka tidak akan lagi mengakui gender lain atau kelompok LGBTQ. Bahkan dengan alasan “melindungi perempuan” pemerintahan Trump akan mengeluarkan kelompok transgender sebagai definisi gender yang diakui.
Keputusan Trump ini mengundang reaksi dari berbagai kelompok masyarakat di Amerika Serikat, apalagi selama ini AS termasuk negara yang sangat bebas dan bisa dibilang cukup terdepan dalam membela hak-hak kelompok LGBTQ dalam kerangka kebebasan berekspresi.
Muncul kehawatiran kalau keputusan Trump ini akan menjadikan kelompok LGBTQ dan kelompok rentan lainnya menjadi target dari serangan-serangan, baik serangan fisik maupun psikologis kepada mereka.
Dalam skala lebih besar ini tentu akan membawa dampak pada kelompok-kelompok minoritas lainnya, baik yang bersinggungan langsung dengan AS maupun tidak. Menarik untuk melihat bagaimana perkembangannya nanti.
Si Botak Memarahi Anak Kecil
Kita ke dalam negeri dulu. Ini berkaitan dengan program pemerintah baru Indonesia, tentang Makan Bergizi Gratis (MBG). Ini jadi program andalan pemerintah yang baru, yang saat kampanye berhasil mengalahkan program dari kandidat lain. Minimal membuktikan bahwa rakyat Indonesia memang lebih butuh makan gratis daripada pendidikan gratis.
Program MBG sudah berlangsung di sekolah-sekolah, dan reaksinya beragam. Salah satu reaksi yang cukup ramai adalah keluhan anak-anak sekolah tentang makanan yang mereka anggap tidak enak. Beberapa bahkan terang-terangan mengkritik makan siang bergizi gratis yang disajikan untuk mereka.
Seorang tentara tituler berbadan besar bernama Deddy Corbuzier lalu mengunggah sebuah video tanpa baju, memamerkan ototnya yang memang besar. Di video itu dia dengan keras memaki anak-anak kecil yang mengkritik makanan gratis yang disediakan oleh pemerintah itu. Bagi Deddy itu adalah sebuah kelakuan yang tidak sopan, mengolok-olok makanan. Bahkan kata dia, kalau dia dilakukan oleh anaknya, dia sendiri yang akan menghukum si anak.
Video tanpa busana Deddy ini mendapat banyak reaksi. Banyak yang menyayangkan kesalahan logika Deddy yang membandingkan anaknya dengan anak-anak kecil di sekolah negeri, termasuk tentu saja soal previlege yang berbeda. Belum lagi anggapan kalau Deddy menutup mata terhadap realita kalau ada anak-anak yang keracunan makanan gratis itu. Intinya pernyataan Deddy dianggap cacat logika dan tidak tepat sasaran.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berkomentar kalau video Deddy itu (saya kutip dari Metronews): dapat berdampak pada psikologis anak. Ketua KPAI Maryati menganggap Deddy terlalu berlebihan dalam merespons keluhan anak. Menurut dia, anak berpotensi mengalami tekanan psikologis dan ketakutan untuk mengutarakan pendapatnya jika melihat pernyataan Deddy.
Begitulah.
Septia Bebas
Tanggal 23 Januari kemarin, sebuah berita menggembirakan menghampiri. Septia Dwi Pertiwi akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebuah perjalanan panjang selama berbulan-bulan akhirnya berbuah manis. Sudah tidak terhitung berapa energi, air mata, dan keringat yang tercurah dalam proses yang pastinya sangat melelahkan itu.
Buat yang belum tahu tentang kasus ini, Septia sebelumnya adalah karyawan di perusahaan Hifive punya John LBF. John ini cukup terkenal di media sosial, dianggap sebagai bos yang unik, nyentrik, dan ringan tangan. Pokoknya brandingnya sangat okelah di media sosial.
Nah, Septia yang sudah keluar dari kantornya itu kemudian men-spill kelakuan mantan bosnya itu bahwa sebenarnya realita di lapangan berbeda jauh dari yang ditampilkan di media sosial. Sistem pengupahan yang tidak jelas, lingkungan kerja yang toxic, keharusan membalas WhatsApp saat itu juga, dan banyak lagi.
Spill itu yang kemudian membuat John LBF naik pitam. Dia tidak terima brandingnya dirusak, lalu dengan penuh keangkuhan dia melaporkan Septia dengan menggunakan UU ITE yang memang kerap jadi UU yang dipakai mereka yang tidak suka namanya diutak-atik. Dan persidangan pun bergulir. Septia melawan John LBF yang ketika datang bersaksi selalu dikawan pasukan jeruk oranye alias Pemuda Pancasila.
Syukurnya karena majelis hakim yang memimpin persidangan ini bisa melihat semua fakta dengan jernih dan menganggap Septia tidak bersalah. Septia tidak merusak nama baik seseorang, semua yang diutarakannya adalah fakta apa adanya.
*****
Itulah beberapa catatan hal menarik dalam beberapa minggu terakhir ini yang bisa saya ingat. Menjadi pengamat memang menyenangkan, mengamati apa yang terjadi di sekitar kita, atau hal-hal yang terkait dengan kehidupan kita, lalu memberikan opini meski tidak harus selalu dilemparkan ke publik. Tapi yang paling penting adalah melihat bagaimana dunia terus berputar dan selalu ada hal baru yang menarik dibahas. [dG]