Akhirnya Beli Handphone Juga
Setelah sekian lama hanya jadi penerima hadiah atau pemberian, akhirnya saya beli handphone juga. Kali ini prosesnya dimulai dari memilih, menimbang, mengingat sebelum memutuskan.
SEJAK JAMAN SMARTPHONE SAYA BELUM PERNAH BELI HANDPHONE. Lima kali ganti smartphone, empat di antaranya adalah hadiah dan satu lagi adalah pemberian. Tuhan tahu saya tidak mampu beli, jadi semua smartphone datang ke saya lewat tangan orang lain, atau lewat usaha selain membeli.
Smartphone terakhir yang saya pakai adalah hadiah lomba. Tipenya Samsung Galaxy Note 5. Bayangkan, orang seperti saya pakai smartphone yang waktu diluncurkan harganya hampir menyentuh 11 juta! Saya sendiri bahkan susah membayangkan. Bukan tidak mampu tapi lebih kepada tidak mau. Saya mampu membeli sendiri smartphone seharga 11 juta, tapi konsekuensinya selama dua bulan saya harus rela tidak makan, tidak bayar listrik, tidak bayar internet, tidak memberi makan anak-anak, tidak beli bensin dan tidak-tidak lainnya.
Oke, itu sebenarnya bentuk lain dari kata “tidak mampu”.
Baca juga: Di Balik Kedai Kopi dan Obrolan Tentang Galaxy Note 5
Karena tahu harganya yang fantastis itu, saya jadi sayang sekali sama si Samsung Galaxy Note 5 ini. Dia bahkan saya beri nama Accung. Walaupun terus terang tidak semua fungsinya saya pakai, bahkan saya baru tahu kalau dia punya fungsi NFC. Saya cuma menikmati kemampuan kameranya yang memang maknyus. Sisanya ya saya kurang paham karena saya memang bukan termasuk orang geek yang punya ketertarikan besar pada teknologi.
Intinya saya pakai Samsung Galaxy Note 5 ya hanya karena saya dapat hadiah. Itu saja.
Saya mulai menjalin hubungan dengan Accung sejak November 2015 dan sejak itu kami jadi kawan akrab. Dia menemani saya ke banyak tempat. Dari Jambi, Sumbar, Jakarta, Semarang, Jogja, Bali, Lombok, Sumba, Kupang, Mamuju, Masamba, Samarinda dan bahkan awal-awal saya di Papua tahun ini.
Tapi, namanya barang tentu punya masa pakai. Masa pakai yang tidak sepanjang masa pakai manusia. Dua tahun lebih beberapa bulan, si Accung tiba-tiba ngadat. Tanda-tandanya dimulai dengan tiba-tiba mati sesaat sebelum dipakai memotret. Dia ngambek dan minta dinyalakan ulang. Tanda-tanda lainnya, dia semakin susah di-charge. Butuh waktu lama sebelum dayanya penuh 100% tapi kemudian butuh waktu cepat sebelum minta di-charge ulang lagi.
Sampai kemudian suatu hari dia sama sekali ngambek dan tidak mau hidup lagi. Dia hanya mau beraktivitas seperti biasa kalau kabel ditancapkan di bagian bokongnya dan disambung ke pengisi daya. Begitu kabel dilepas, dia langsung minta pamit untuk tidur. Tidak bisa beraktivitas sama sekali.
Dengan perasaan kalut campur sedih, saya bawa dia ke Samsung Service Center di Abepura, tidak terlalu jauh dari kosan. Saya ingat, pagi itu mendung menggantung di langit Abepura, hujan seperti enggan turun tapi tetap kukuh menutupi matahari. Angin basah bertiup tapi tidak mampu mengusir rasa gerah. Halah!
“Biayanya 3,8jt pak. Karena harus ganti mesin, ganti konektor dan ganti LCD.” Terang seorang pria yang duduk di belakang meja konter Samsung Service Center.
Saya menelan ludah. Glek! Harga servisnya saja segitu? Itu sama dengan harga handphone baru dengan kemampuan yang sudah lumayan. Akhirnya, dengan berat hati Accung saya bawa pulang, gagal rawat inap karena faktor biaya. Rasanya ingin membuka donasi di Kitabisa, supaya dia juga bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Tapi, dengan pertimbangan rasa ke-handphone-an rencana itu saya batalkan. Tidak enak sama handphone lain yang mungkin saja mengalami nasib yang sama.
Saya ambil hikmahnya saja, seperti anak kecil yang disuruh ambil sepeda sama pak Jokowi selepas menjawab pertanyaan dengan benar. Hikmahnya adalah, Accung sudah minta istirahat. Masa tugasnya sudah lumayan berat selama hampir tiga tahun ini dan sekarang dia minta haknya untuk istirahat. Suatu saat nanti mungkin saya akan tetap memperbaikinya, asal harganya jangan 3,8jt dong ah. Siapa tahu ada servis center lain di Makassar yang lebih murah, kata saya dalam hati.
*****
LALU, APAKAH SAYA AKAN HIDUP TANPA HANDPHONE? Oh rasanya sungguh berat. Sebenarnya masih ada satu handphone Xiao Mi yang juga hasil menang lomba setahun lalu. Handphone ini tadinya dipegang Mamie karena kebetulan dia sedang butuh handphone waktu itu. Sekarang dia kembali ke saya karena sebulan kemarin saya kembali dapat hadiah handphone LG Q6+ dari Tim Komunikasi Presiden. Jadi, LG itu diambil Mamie dan Xiao Mi itu dikembalikan ke saya. Lumayan buat jadi modem, kata saya. Eh ternyata dia jadi penyelamat ketika Accung sedang sakit parah.
Tapi, karena beberapa alasan (salah satunya adalah layar yang cuma 5” dan buat saya kurang besar), maka timbul niat di hati saya untuk membeli handphone baru. Syarat utama layar harus minimal 5,5”. Kalau bisa 24” ya syukur tapi sepertinya akan sulit dikantongi, jadi ya sudah.. pilih yang 5,5” saja.
Setelah menimbang dan mengingat, akhirnya saya memutuskan akan membeli merek Samsung saja. Alasannya sejak 2013 saya sudah sangat terbiasa dengan Samsung. Dari Galaxy S4 ke Galaxy Note 5. Fitur dan tampilannya sudah sangat saya hapal, dan saya pikir untuk saat ini saya masih nyaman dengan keluaran Samsung. Jadi akhirnya kembali saya merasa akan memilih Samsung. Kali ini saya memang memilih karena rencananya akan beli sendiri, bukan lagi seperti yang sebelumnya yang terima beres saja karena menang hadiah.
Ada dua tipe yang jadi incaran saya, yaitu: Samsung Galaxy J7+ dan Samsung Galaxy A 2017. Pertimbangan utama saya hanya di kapasitas RAM dan kemampuan kamera. J7+ punya kelebihan di RAM yang 4GB dan kamera belakang yang ada dua. A 2017 kalah di RAM yang hanya dibekali dengan RAM 3GB tapi dia punya kelebihan di casing. Galaxy A 2017 bisa direndam air tawar dan tetap bisa berfungsi (termasuk memotret), sehingga bisa dipakai sebagai under water camera.
Soal harga, selisihnya lumayan: Rp.1 juta. A 2017 lebih mahal dari J7+. Sebenarnya soal harga tidak pernah jadi masalah buat saya. Kalau mahal ya nda usah beli, simpel! Harga baru jadi masalah kalau mahal tapi tetap dipaksakan untuk dibeli.
Awalnya saya sempat galau juga, antara A 2017 atau J7+. Saya sempat mencoba memegang A 2017 punya teman kantor dan memang bodinya terasa sangat kokoh, nyaman di tangan. Tapi, dengan harga yang lebih mahal tapi RAM yang lebih kecil, apakah memang dia pantas untuk saya pinang?
Ini sesuatu yang harus saya pikir sepertinya. Berhari-hari saya susah tidur karena gerah,bukan karena memikirkan soal pilihan itu. Hingga akhirnya saya memutuskan, pilih Samsung Galaxy J7+ saja! Tak apa dia tidak bisa dibawa berenang, toh saya juga tidak selalu punya niat berenang sambil bawa handphone.
Hingga akhirnya setelah melewati tahap assessment yang cukup panjang, saya akhirnya menebus satu Samsung Galaxy J7+ di Mall Jayapura. Harganya tidak beda jauh dengan harga di beberapa marketplace, jadi saya pikir masih masuk akallah untuk membelinya di Jayapura.
Hampir seminggu bersama handphone baru yang belum saya beri nama ini, dan saya merasa sudah cukup. Kemampuan kameranya lumayan, hanya kalah tipis dari Galaxy Note 5. Saya tidak paham kemampuan-kemampuan lainnya karena toh kebutuhan dasar saya cuma kamera, layar dan RAM. Itu sudah.
Sebenarnya saya masih menyimpan harapan bisa jalan bareng Samsung Galaxy S8+ seperti yang pernah saya temukan di bandara dulu, tapi itu hanya harapan karena untuk beli sendiri rasanya koq ya sayang. Mending saya menikmati saja kebersamaan dengan handphone baru yang sudah bikin nyaman ini. Handphone yang harganya tidak sampai setengah harga Accung dulu, tapi kemampuannya sudah wow buat saya.
Setidaknya ini jadi pengalaman baru buat saya: beli smartphone! Hahahaha. [dG]
Hasil kamera Galaxy J7+
Asek yg dpt hp dr TKP ?
HPnya langsung diambil maitua hahaha
Saya juga nda bisa move on dari merk Samsung.. Berkali-kali mau beli iphone, ujung2nya beli Samsung. Sayang duitnya alias mending ditabung buat jalan2
hahaha nda jadi beli iPhone tapi belinya Samsung S8?
Saya dulu pakai Galaxy Note 3, suka banget sama galnot, membantu kerja, sayangnya belum 4G jadi ganti deh, sekarang ngincer galnot 8, dana belum cukup hehe
hahaha sama kita, sama-sama menyimpan hasrat pada Samsung GalNot 8
Ada bakat melawak kayaknya ini daeng? lucu-lucu juga artikel ta.
Yang foto sama kucing kayaknya si kucing malu tuh haha
Tantangan berikutnya : mencoba hidup tanpa smartphone, Kak