Cari Tahu 5 Hal Unik Dari Papua

Seperti halnya tempat lain di Indonesia, Papua juga punya keunikan. Ada hal-hal yang tidak atau sudah tidak ditemukan lagi di tempat lain, ada juga yang berbeda dengan kebiasaan di tempat lain


Papua
Salah satu keindahan alam Papua, jalur Dogiyai – Paniai

PAPUA, mungkin kalian sudah tahu kalau pulau ini adalah pulau terbesar di Indonesia. Terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Luasnya empat kali pulau Jawa, itupun setelah negara Papua New Guinea dikeluarkan. Sudah bisa membayangkan bukan betapa luasnya Papua itu? Bahkan ketika dimekarkan menjadi dua provinsi (Papua dan Papua Barat), tetap saja luasnya ampun-ampunan.

Luasnya wilayah itu membuat Papua dan penghuni aslinya memiliki keunikan budaya yang sangat menarik. Menarik karena bisa saja sulit ditemukan di tempat lain di Indonesia, atau ditemukan dalam bentuk yang berbeda dengan suku lain di Indonesia.

Ada beberapa hal unik yang bisa dengan mudah kita temukan di Papua. Saya coba ceritakan lima hal dulu ya. Mungkin saja ini akan bertambah di hari lain.

Kita mulai

Papua
Mama-mama menjual sirih pinang

1. Kebiasaan Menyirih di Papua.

Waktu masih kecil saya ingat pernah melihat almarhumah nenek menyirih, tapi tidak sering. Mungkin hanya sesekali. Begitu juga dengan nenek seorang teman. Belakangan saya tahu kalau menyirih itu adalah kebiasaan orang-orang Melayu, bisa dengan mudah ditemukan di Sumatra dan Sulawesi jaman dahulu. Pernah nonton film Nagabonar? Ibunda Nagabonar digambarkan sebagai orang Melayu Deli yang rajin menyirih.

Hari ini kita mungkin sudah sulit menemukan orang menyirih. Kalaupun ada, kemungkinan hanya orang tua saja, itupun di kampung-kampung, bukan?

Nah di Papua (dan Papua Barat), kebiasaan ini dengan mudah kita temukan. Orang-orang Papua masih rajin menyirih, bukan hanya mereka yang tua saja. Kebiasaan ini dilakukan hampir semua kalangan, dari tua, muda bahkan sampai anak-anak.

Hanya saja kebiasaan menyirih orang Papua ini berbeda dengan kebiasaan menyirih orang Melayu. Kalau orang Melayu menggunakan daun sirih yang ditambahi kapur, maka orang Papua menggunakan batang buah sirih yang dinikmati bersama buah pinang yang masih mentah. Di beberapa tempat ada juga yang menikmatinya dengan buah pinang yang sudah kering. Mungkin agar lebih praktis saja.

Caranya, buah pinang yang masih mentah itu dikupas dulu kulitnya dengan gigi. Setelah itu buah pinang digigit sampai hancur. Batang buah sirih yang bentuknya seperti batang pensil lalu dicocol di biak atau kapur yang dibuat dari kerang. Setelahnya, sirih ini digigit bersama buah pinang yang tadi. Buah sirih inilah yang membuat mulut jadi merah dan produksi liur meningkat tajam. Ujung-ujungnya ketika kita meludah, maka ludah kental berwarna merahlah yang akan meloncat dari mulut.

Pertama kali mendarat di bandara Sentani, Jayapura dulu saya sempat kaget melihat aspal yang penuh bercak merah. Tadinya saya mengira itu bekas darah yang mengering. Mungkin habis ada pembunuhan, kata saya dalam hati.

Baca juga: Mencoba Sirih Pinang A la Papua

Saya pernah mencobanya, dan sensasi terbesarnya memang adalah ketika kita meludah itu. Jadi kalau kamu pertama kalinya ke Papua, jangan heran kalau kamu bisa dengan mudah menemukan bercak-bercak warna merah di tanah. Itu bukan darah, tapi sisa sirih pinang yang diludahkan.

Papua
Pedagang noken di Nabire

2. Noken

Noken adalah tas khas Papua. Dibuat dari benang dan dirajut menjadi tas. Ada benang moderen hasil pabrikan, tapi ada juga benang yang dibuat dari serat kayu. Besarnya beragam. Kaum pria biasanya memakai noken ukuran kira-kira A4 dan diselempangkan di bahu. Sementara kaum perempuan biasanya menggunakan noken yang lebih besar yang diletakkan di bagian belakang dengan tali yang dikaitkan di kepala.

Kalau noken kecil isinya biasanya hanya keperluan sehari-hari termasuk sirih pinang, maka noken besar isinya bisa sangat beragam. Dari sayuran, anak babi, bahkan sampai anak yang masih bayi. Bayangkan betapa kuatnya leher dan kepala mama-mama itu. Membawa beban seberat itu sampai berkilo-kilo meter dengan jalan kaki.

Harga noken ini beragam. Noken kecil yang dibuat dari benang moderen harganya antara Rp.100 ribu sampai Rp.150 ribu. Sedang noken yang lebih besar, paling murah Rp.300rb. Itu noken dari bahan benang pabrikan, kalau noken dari bahan serat kayu harganya jauh lebih mahal. Apalagi dari bahan batang anggrek. Harganya paling murah Rp.1juta untuk ukuran kecil, atau Rp.3jt untuk ukuran besar.

Mahal toh? Ko tra usah kaget.

Dari sebuah tayangan dokumenter, saya mendapat cerita kalau keahlian membuat noken ini didapatkan mama-mama Papua dari para misionaris jaman Belanda. Kebiasaan yang terus mereka jaga hingga hari ini. Sekarang pun kita dengan mudah menemukan mama-mama yang sedang bersantai, bercengkerama sambil menganyam noken.

Koteka Papua
Beginilah penampakan para prajurit berkoteka
Foto: Rahmat Takbir

3. Koteka

Waktu masih SD, saya membaca kalau koteka adalah pakaian khas orang Papua. Walaupun itu tidak salah, tapi saya baru tahu kalau tidak semua suku di Papua menggunakan koteka. Koteka hanya dipakai oleh orang di gunung, sementara orang pesisir tidak menggunakan koteka.

Kata koteka sendiri berasal dari sebuah suku di Paniai yang berarti pakaian. Orang Dani di Wamena sendiri menyebutnya sebagai holim. Koteka ini dibuat dari sejenis labu yang dikosongkan bagian dalamnya. Pemasangannya sendiri sangat rumit, kata seorang kawan yang pernah menggunakannya. Bagian skrotum sampai ditarik-tarik dengan tali untuk membuat posisinya pas. Sakitnya luar biasa, katanya.

Ukuran koteka beragam, disesuaikan dengan fungsinya. Koteka yang pendek dipakai sehari-hari, utamanya ketika berkebun. Sedang koteka yang panjang atau besar, dipakai untuk upacara. Koteka untuk upacara ini biasanya ditambahi hiasan berupa ukiran atau pernak-pernik.

Di jaman sekarang memang sudah sulit menemukan pria yang berkoteka, utamanya di kota besar di Papua. Pria berkoteka biasanya hanya muncul ketika ada upacara atau festival. Namun, di daerah yang agak tinggi dan jauh dari kota kita masih bisa menemukan pria berkoteka. Untuk pertama kalinya saya melihat langsung pria berkoteka di jalan raya ketika melintas dari Nabire ke Enatorali.

Buat saya ini luar biasa. Mereka masih dengan percaya diri menggunakan pakaian khas mereka, berjalan di tepi jalan raya tanpa harus merasa aneh. Padahal, koteka sering dianggap sebagai lambang keterbelakangan. Pemerintah Papua sendiri pernah melancarkan Operasi Koteka di awal tahun 70an. Berton-ton pakaian dijatuhkan di pegunungan, sebagai cara untuk memaksa orang Papua meninggalkan koteka mereka dan beralih ke pakaian moderen. Sayangnya mereka diberi pakaian, tapi tidak diajarkan tentang kebersihan atau mengganti pakaian. Akibatnya, satu baju bisa dipakai berbulan-bulan sampai sobek, tanpa pernah dicuci. Inilah yang membuat banyak orang Papua di pedalaman menderita penyakit kulit.

Asmat
Ukiran Asmat,
Foto: IndonesiaKaya.com

4. Pahat dan Ukir

Kalian mungkin sudah pernah mendengar, atau melihat langsung ukiran orang Asmat. Kalau belum, coba gugling deh.  Kalian akan lihat bagaimana luar biasanya kebiasaan mengukir orang Asmat, salah satu suku di Papua yang berada di pesisir selatan pulau Papua.

Tidak terlalu banyak suku di Papua yang bisa memahat dan mengukir, tapi setidaknya ada dua yang paling terkenal; orang Asmat dan Kamoro. Kalau Asmat berada di wilayah Kabupaten Asmat, maka orang Kamoro berada di wilayah Kabupaten Mimika. Kedua suku ini selain dikenal sebagai pemburu dan nelayan, juga sangat terampil memahat dan mengukir.

Mereka mengukir di perisai, mangkuk sagu, dinding kayu. Mereka memahat totem dan patung dari kayu. Totem atau patung ini biasanya menggambarkan sebuah cerita khusus, atau ada pula yang menggambarkan silsilah keluarga mereka. Patung ini biasanya ditaruh di depan rumah adat yang kalau di Asmat namanya jew.

Memang ada pergeseran dari kebiasaan memahat dan mengukir ini. Kalau dulu mereka memahat karena keperluan adat, maka sekarang mereka banyak yang memahat sekadar untuk membuat barang yang bisa dijual. Hasil pahatan atau ukiran mereka tidak lagi sesakral dulu, bahkan banyak yang sudah diproduksi sekadar untuk cinderamata bagi para turis.

Meski begitu, keindahan pahatan mereka tetap mampu memukau. Kalau ada uang lebih, bolehlah membawa pulang hasil kerajinan tangan mereka yang indah itu.

Papua
Sebuah pengumuman dengan bahasa Indonesia dan dua bahasa daerah di Enarotali

5. Bahasa.

Dulu saya hanya tahu setidaknya dua suku di Papua; Asmat dan Dani. Dari TVRI tahun 80an dan awal 90an, dua suku ini yang sering muncul. Asmat karena kemampuan mereka memahat, dan Dani dengan keunikan budaya mereka (termasuk mengawetkan jenazah tetua).

Ketika akhirnya saya ke Papua, saya langsung terkaget-kaget begitu tahu betapa banyaknya suku di Papua. Konon ada 256 suku di Papua yang punya bahasa berbeda. Kampung yang dibatasi sungai saja bahasanya bisa beda. Luar biasa! Misalnya saja orang Dani dan orang Lanni yang tinggal di Lanny Jaya. Mereka bisa berasal dari akar suku yang sama, tapi bahasa mereka berbeda.

Keragaman ini bisa terjadi karena alam Papua yang begitu ganas. Bukit, sungai lebar, hutan lebat, semua menjadi penghalang suku-suku itu untuk bertemu dan berasimilasi. Jadinya, mereka hidup dengan bahasa mereka sendiri-sendiri.

Jadi, bagaimana mereka kemudian bisa berkomunikasi? Belanda punya peran di sini. Belanda yang pusing dengan beragamnya bahasa di Papua kemudian berusaha menyatukan mereka dalam satu bahasa, dan bahasa Melayu yang dipilih. Orang Belanda mengirimkan orang-orang Maluku untuk mengajar orang Papua berbahasa Melayu. Jadi tidak heran kalau ada beberapa kesamaan antara Melayu Maluku dengan Melayu Papua.

Tapi meski mengguakan bahasa Melayu Papua, tetap saja ada perbedaan antara Melayu Papua di pesisir dengan Melayu Papua di pegunungan. Orang gunung misalnya tidak semua menggunakan istilah kitorang (kita), dorang (mereka), tra (tidak) atau ko (kamu). Perbedaan ini bisa saja terjadi karena beragamnya pengaruh dari luar. Orang pesisir bagaimanapun lebih mudah terdampak pada pengaruh dari luar, apalagi di jaman dulu ketika transportasi belum selancar sekarang.

Oke deh, setidaknya itu dulu lima keunikan tanah Papua yang bisa saya cerita saat ini. Pastinya masih banyak keunikan lain dari Papua yang mugkin tidak ditemukan, atau berbeda dari yang ada di tempat lain. Papua itu unik dan menarik. Ko ke sini saja e, datang dan lihat sendiri. Tapi ingat, ko jang rusak Papua pung alam. [dG]