Sepakbola

Kenapa Zidane Mundur?

Zidane dengan gelar Champion ketiganya sebagai pelatih

“Sepakbola itu bukan hanya soal taktik. Tapi bagaimana membangun suasana kondusif dalam tim.”

SEPANJANG PERTANDINGAN FINAL LIGA CHAMPION EROPA, pria plontos itu nyaris tidak pernah duduk. Dia terus saja berdiri di sisi lapangan. Dua tangannya kadang dimasukkan ke saku celana, kadang bergerak-gerak di udara. Wajahnya tegang, kecuali ketika anak-anak asuhnya mencetak gol. Bahkan ketika Christian Bale mencetak gol dengan gaya bicycle kick yang fantastis itu, dia spontan mengelus kepala gundulnya seakan tidak percaya. Lalu dia tersenyum lebar.

Namanya Zinedine Yazid Zidane, atau orang lebih mengenalnya dengan nama Zidane atau Zizou sewaktu dia masih aktif sebagai pemain. Sepertinya hampir semua penggemar sepakbola yang usianya di atas 15 tahun kenal dengan Zidane. Seorang pemain fenomenal yang meraih hampir semua gelar yang didambakan pemain profesional.

Sebut saja, dari juara liga, piala liga, champion Eropa, piala Eropa sampai piala dunia. Dia bahkan pernah menyandang gelar pemain terbaik dunia versi FIFA tiga kali.

“Kalau kamu bisa memainkan bola tenis dengan baik memakai tanganmu, maka Zidane bisa memainkannya lebih baik dengan kakinya,” kata Lilian Thuram, mantan kompatriotnya di timnas Perancis.

Tidak usah membantah pernyataan yang mungkin berlebihan itu. Lihat saja rekaman aksi-aksi Zidane di YouTube, maka mungkin kamu akan sedikit mengiyakannya. Zidane adalah fenomena di dunia sepakbola internasional sebelum alien bernama Messi datang, atau Ronaldo dari Portugal menjadi pembicaraan.

Zidane meliuk di lapangan, berputar, memindahkan bola dari kaki kanan ke kiri, berputar lagi, meliuk lagi, lalu menendang bola. Entah ke arah gawang, entah ke arah teman setimnya. Kadang dia memberi umpan, kadang juga melesakkan bola dengan gaya yang kadang tidak terpikir sebelumnya.

Macam-macam pemain kelas dunia pun pernah merasakan bagaimana susahnya menghadapi Zidane. Ronaldinho pernah dikerjainya, Casillas pernah dibuatnya tidak berkutik, bahkan Buffon ditipunya dengan tendangan penalti a la Panenka di final piala dunia.

Hanya satu yang berhasil membuatnya tunduk dan menandukkan kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Marco Materazzi. Materazzi bukan orang pertama yang berhasil memancing emosi Zidane, tapi karena kejadiannya di final piala dunia dan di akhir karir Zidane, maka namanya tidak bisa dipisahkan dari Zidane. Bicara Zidane berarti harus menyebut Materazzi juga, meski porsinya mungkin tidak besar.

Kalau dia emas, maka Zidane adalah salah satu emas terbaik yang pernah ada. Tapi tetap tidak sempurna. Ketidakmampuannya mengontrol emosi di partai paling penting dalam sebuah turnamen adalah cacat yang tidak dihapus. Bahkan dia adalah penerima kartu terbanyak di tiga piala dunia yang diikutinya. Total dia menerima enam kartu kuning dan dua kartu merah di tiga gelaran piala dunia yang diikutinya.

*****

DI TENGAH MUSIM 2015-2016 ZIDANE naik pangkat jadi pelatih tim senior Real Madrid menggantikan Rafa Benitez yang dipecat di tengah jalan. Waktu itu saya berpikir dia mungkin hanya akan jadi pelatih pengganti sampai musim berakhir. Real Madrid sedang malas mencari pelatih mahal nan berpengalaman untuk musim yang sementara berjalan.

Eh tapi saya salah.

Di akhir musim meski Real Madrid terseok-seok di liga domestik, Zidane berhasil mempersembahkan piala Champion Eropa. Piala kesebelas untuk klub ibukota Spanyol itu. Hasil yang lumayan buat seorang pelatih pemula seperti Zidane. Hasil yang tahun berikutnya dia sempurnakan dengan gelar ganda; juara liga dan juara Champion Eropa sekaligus.

Dan itu belum cukup juga.

Setahun kemudian dia kembali membawa piala Champion itu ke Madrid meski di dalam negeri Madrid hanya finis di urutan ketiga. Tiga tahun berturut-turut menjadi raja Eropa. Prestasi yang sudah lama tidak ditorehkan klub manapun di Eropa. Klub terakhir yang melakukannya adalah Bayern Muenchen tahun 1973 sampai 1976.

Infografis Zidane

Apa rahasia Zidane sampai bisa melakukan itu semua bersama Real Madrid?

Kata para pakar, rahasianya hanya satu; Zidane berhasil menciptakan atmosfir penuh ketenangan di sekitar para pemainnya. Tahu sendiri kan bagaimana suasana tim seperti Real Madrid yang dihuni pemain dengan ego tinggi? Ada dua mantan pemain termahal di sana, plus ada beberapa pemain kelas kakap langganan tim nasional. Mereka pasti seperti berebut untuk menunjukkan ego mereka. Hal yang mereka butuhkan adalah sosok pelatih yang punya karisma dan punya nama besar di atas mereka. Zidane adalah sosok yang pas.

“Ia memiliki semua kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang manajer fantastis. Ia punya karisma, kepribadian, dan pengalaman,” kata Ancelotti, mantan pelatih Real Madrid yang pernah menempatkan Zidane sebagai asistennya.

Dengan bekal itu pula Zidane berhasil membangun kembali Real Madrid selepas runtuh di tangan Rafa Benitez. Tidak ada lagi pertikaian antar pemain atau antar pemain dan pelatih. Tidak ada lagi ego yang terlalu besar melebihi tim. Bahkan pemain sekelas Ronaldo pun berhasil dibujuk Zidane untuk beristirahat sejenak dan turun ketika dibutuhkan.

Soal taktik, Zidane mungkin masih kalah dengan pelatih seperti Wenger, Mourinho atau bahkan Rafe Benitez sekalipun. Tapi soal karisma, mereka jelas kalah dari seorang Zidane. Usia yang tidak terlalu berjarak dan raihan prestasi yang nyaris sempurna jadi tambahan untuk merebut perhatian dan rasa hormat para pemain.

Plus, rasanya tidak ada yang mau mencoba merasakan tandukan Zidane di dada mereka.

Lalu tibalah berita yang mengagetkan itu. Zidane mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pelatih Real Madrid beberapa hari setelah timnya berhasil meraih juara ketigabelas. Walaupun sudah diperkirakan sejak pertengahan musim 2017/2018 ketika prestasi Real Madrid seperti menukik, tapi keberhasilan Real Madrid meraih gelar Liga Champion Eropa setidaknya membuat orang melupakan ide itu. Tapi ternyata Zidane memang benar-benar mundur.

Tidak ada yang tahu pasti apa alasan Zidane mundur dari klub yang pernah dibelanya itu. Prestasinya tidak buruk-buruk amat, bahkan bisa dibilang cukup mentereng. Bahkan pelatih sekelas Pep Guardiola pun tidak berhasil melakukannya. Atau pelatih lain yang lebih senior seperti Arsene Wenger pun tidak bisa.

“Saya pikir tim ini butuh perubahan dan cara kerja baru. Itulah alasan mengapa saya mengambil keputusan mundur dari Real Madrid,” kata Zidane soal keputusan mundurnya.

Tapi, benarkah hanya itu alasannya? Apakah tidak ada alasan lain? Soal gaji mungkin? Atau soal kenyamanan? Kan kasihan Real Madrid, merasa diputuskan pas lagi sayang-sayangnya.

Tapi mari kita coba memahami apa yang ada dalam pikiran seorang Zidane. Real Madrid itu tim yang kejam. Mereka gampang sekali mengganti pelatih atau mendepak pemain hanya karena tampil jelek setelah sekian lama tampil bagus. Standar mereka tinggi. Sangat tinggi malah. Karenanya benar juga kalau Zidane memutuskan untuk pensiun ketika dia sedang di puncak. Toh dia akan dikenang fans Real Madrid sebagai pahlawan. Baik ketika masih bermain, ataupun ketika sudah jadi pelatih.

Mundur ketika prestasi sudah mulai menurun hanya akan menyisakan kenangan yang tidak mengenakkan. Belum lagi cercaan para netizen, utamanya netizen Indonesia. Pedas sekali!

Jadi mungkin memang sebaiknya Zidane mundur sekarang. Mumpung namanya masih harum. Soal dia mau ke mana, biarlah rumput yang bergoyang yang akan menjawabnya. Adios Zizou! [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. Kirain tadi dapat nama Zainuddin Zidane. Kali ini oppa perez dapat karmanya, kalau dulu hobi banget gonta-ganti pelatih, sekarang oppa malah yang ditinggal sama pelatihnya. Kalau memang alasan Zidane mundur untuk butuh penyegaran dalam tim, maka sebagai fans bola kita harus menerima itu. Siapa tahu musim berikutnya Real Madrid akan membuat gebrakan, juara liga misalnya. Dan saya setuju, lebih baik mundur ketika di puncak karir daripada berhenti karena tidak dihargai.

  2. WoW, sepertinya pilihan terbaik untuk kehidupan yang mudah2an imbang, manusia terlalu cepat melupakan dan hanya mengingat saat-saat terakhir, Bravo Zidane!

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.