BukuReview

Selimut Debu ; Menyingkap Wajah Lain Afghanistan

Buszkashi, olahraga khas Afghanistan (foto by:avgustin.net)

“Berapa harga kepala kambing ini? ” Tanya seorang pembeli

“Lima puluh afghani,” jawab penjual

“Lima puluh? Mahal sekali, dua puluh saja,” si pembeli menawar

“Apa? Dua puluh? Kamu gila? Kamu kira ini kepala manusia?”

**lelucon dari Kandahar, Afghanistan.

Apa yang anda bayangkan tentang Afghanistan? Sebuah negara yang akrab dengan perang? Bom bunuh diri? Roket? Kemiskinan? Perempuan dengan wajah tertutupi burqa? Alam yang ganas? Debu yang selalu menyelimuti? Semua mungkin benar.

Bagi seorang Agustinus Wibowo, Afghanistan adalah sebuah negeri yang penuh misteri. Maret 2001, gerilyawan Taliban merobohkan patung Buddha raksasa di Afghanistan dan ditayangkan ke seluruh dunia. Tak ada yang mengira kalau tayangan itu justru membuat seorang lelaki kewarganegaraan Indonesia jatuh cinta pada alam yang menjadi latar belakang adegan perubuhan patung tersebut.

Agustinus Wibowo secara ajaib merasakan sebuah panggilan dari negeri yang porak-poranda karena perang itu. Sebuah mimpi kemudian makin menguatkan ambisinya untuk mengunjungi negeri di utara Pakistan tersebut.

Agustinus akhirnya masuk ke Afghanistan. Bukan sebagai seorang turis, tapi sebagai seorang pengembara. Merangsek sampai ke jantung Afghanistan, bergaul dengan warga lokal, mencecap budaya setempat, dengan bekal uang a la kadarnya dan hanya berbekal keberanian yang kadang tidak masuk akal.

Afghanistan begitu jauh merasuk ke dalam nadinya, membuat perjalanan berat dengan mobil-mobil tua nan renta dinikmatinya apa adanya. Tidur di kedai teh yang bobrok, berkawan dengan lalat dan nyamuk, bahkan Agustinus sempat berjalan kaki 40 KM hanya karena kalimat “tidak jauh lagi” . Bahkan yang paling parah, Agustinus berkali-kali mengalami pelecehan seksual, ditawar lelaki dan bahkan nyaris diperkosa. Hanya keteguhan luar biasalah yang membuat lelaki asal Lumajang itu tidak mengendurkan langkahnya dan terus berjalan menyusuri Afghanistan.

Cover Selimut Debu

Selimut Debu menyingkap wajah Afghanistan. Negeri yang selama ratusan tahun terus dikuasai negeri asing, mengusir para penjajah, dijajah lagi, mengusir penjajah lagi, perang antar etnis dan kemudian jatuh dalam kemelaratan yang panjang.

Afghanistan adalah sebuah negeri indah ibarat surga yang terlupakan. Tak banyak yang tahu kalau Afghanistan menyimpan lukisan alam yang begitu memukau. Deretan bukit gersang yang tertutupi salju di musim dingin, hamparan padang rumput yang menghijau, atau bahkan hamparan padang pasir yang gersang sejauh mata memandang.

Dalam Selimut Debu, Agustinus juga menuliskan ragam budaya khas Afghanistan. Bagaimana orang Afghan menghargai para tamunya, bahkan rela mati demi tamunya. Bagaimana orang Afghan tak pernah secara frontal mengatakan tidak untuk menunjukkan penolakan. Orang Afghan lebih suka mengutarakan alasan yang berbelit-belit untuk menunjukkan kalau mereka sebenarnya keberatan. Kita yang harus pandai membaca gelagat.

Selimut Debu juga menceritakan tentang tradisi bachabazi. Tradisi yang sudah mengakar ratusan tahun pada suku Pashtun di Afghanistan, tradisi yang memungkinkan para pria dewasa menyodomi lelaki-lelaki muda demi kepuasan seksual mereka. Beragam alasan yang melatarbelakangi tradisi ini, salah satunya karena begitu tertutupnya pergaulan antara pria dan wanita di Afghanistan atau mahalnya harga mahar untuk bisa meminang seorang wanita Afghan.

Selimut Debu adalah sebuah memoar tentang sebuah negeri yang kadang lebih kita kenal sebagai negeri yang asyik masyuk dengan perang. Banyak cerita dan fakta tentang Afghanistan yang diceritakan dengan sangat runut oleh Agustinus Wibowo dalam buku Selimut Debu.

Pengemis di Kabul (foto by:Avgustin.net)

Membaca Selimut Debu, kita akan bersyukur bahwa kita lahir dan besar di Indonesia, negeri yang relatif lebih aman meski masih saja dirundung berbagai kesulitan. Ragam kesulitan yang kita rasakan di Indonesia ternyata tidak ada apa-apanya dibanding dengan kesulitan rakyat Afghan yang sangat akrab dengan kemiskinan dan kemelaratan di negeri yang tak kunjung damai.

Anda yang menyukai laporan perjalanan bernuansa jurnalistik pasti akan menyukai buku ini. Berbagai renungan tentang kehidupan ikut tersaji dalam buku setebal 461 halaman ini. Terima kasih untuk Agustinus Wibowo yang karena kecintaan, keteguhan hati dan rasa penasarannya yang luar biasa besar itu memungkinkan buku Selimut Debu ini hadir di tangan kita para pembacanya.

Tashakor ya Avgustin.

baca buku lain dari Agustinus Wibowo : Garis Batas.

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (24)

  1. wow… reviwenya bikin pengen baca daeng..

  2. oh sampai mengembara ke afghanistan ya, kirain di sana tempat kerjanya juga…
    ini buku pertama atau ketiganya? wah besok salah satu buku yg harus saya beli di jakarta book fair nih 😀

  3. jadi bemana, tertarik mengembara juga ke Afghanistan? saya sih tertarik, cuma apakah itu akan benar2 diwujudkan atau tidak…. soal lain. hehehehehe

    • iPul dg.Gassing

      tertarik si,cuma denan kondisi seperti sekaran banyak al yan musti diperimbankan 😀

  4. Bagi saya judulnya ini lho yang terkesan sederhana namun merangkum semua makna dari Afganistan..
    Andaikan Afgan Syahreza bisa menikmati suasana di negeri itu.. Hehehhee

  5. daengrusle

    Bagus reviewnya, membuat saya pengen baca juga..

    Afghanistan dan alamnya yg eksotik perlu dimasukkan ke list 100places should be visited before died

  6. Blog yang bagus, tulisannya bagus. Seleranya apik sekali, kawan.

  7. jadi pengen baca.. reviewnya singkat, padat dan ok 😉

  8. very good books indeed! nice review too :)) untung aja nonton Kickandy jd tau kalo kedua buku ini hrs dihunting secara serius! wkwkwk

  9. cukup menarik bukunya ya

  10. Sudah baca dari tahun lalu. Saya suka dengan gaya menulisnya yang mengalir indah dan penuturan sejarah yang membuat ceritanya makin hidup. I adore him for his courage to travel alone in a life risking journey and on the most dangerous travel destination, but I adore him more for his ability to capture all of the moments and express them beautifully in a thick yet very interesting book

  11. khoiruddin

    ijin copas om sebagian riviewnya ..
    bukunya keren ,agak telat bacanya.

  12. ella maulyda

    Sangat ingin baca bukunya…… #bangetttttt

  13. bukunya terjual di gramedia kah ?

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.