Sam Childers ( Gerald Butler ) bersama seorang anak pengungsi

Tidak selamanya penyebar kebaikan itu berpenampilan lemah lembut dan klimis. Ada kalanya mereka tampil kasar dan keras bahkan mengangkat senjata untuk melawan ketidakadilan.

Afrika adalah benua eksotik. Benua yang dikenal dengan nama benua hitam itu selama ratusan tahun menjadi rebutan para penjajah berkulit putih. Kekayaan alamnya dikuras, warganya dikirim sebagai budak. Sungguh sebuah pemerasan yang keterlaluan. Sisa-sisa penjajahan itupula yang kemudian meninggalkan konflik berkepanjangan, menimbulkan perang saudara tiada akhir, kepedihan dan keperihan tak berujung. Salah satunya adalah Sudan.

Sementara itu di belahan dunia lain, seorang lelaki berkulit putih baru saja keluar dari penjara. Sam Childers, seorang biker, anggota geng dan penjahat kambuhan. Keluar dari penjara tidak lantas membuatnya menjadi lelaki dan suami baik-baik, meski ternyata selama di dalam penjara sang istri telah menemukan jalan kebenaran dan meninggalkan profesinya sebagai penari telanjang. Keputusan yang membuat Sam begitu marah.

Kehidupan Sam berjalan seperti biasa sekeluarnya dari penjara tapi kemudian sebuah kejadian membuatnya menemukan jalan terang menuju Tuhan. Di a tersentuh, mendekat ke gereja dan menemukan kedamaian di sana. Hidupnya berubah, dari seorang anggota geng motor dan penjahat kambuhan menjadi seorang ayah dan suami pekerja keras. Ekonominyapun membaik.

Jalan hidup tidak bisa ditebak, pertemuannya dengan seorang pendeta dari Sudan membuatnya tergerak untuk mencoba melihat langsung benua hitam itu dan memberikan sumbangan tenaganya untuk menolong para pengungsi di tengah konflik perang saudara di sana. Jalan cerita hidupnya bergulir, Sam sangat tersentuh melihat kondisi Sudan dan kisah memilukan para pengungsi dan utamanya anak-anak korban kekerasan perang.

Wajah asli Sam Childers

Mengaku diajak bicara oleh Tuhan, dia membangun gereja di dekat rumahnya dan mengumpulkan para pendosa untuk diajaknya ke jalan kebenaran. Di Sudan sendiri dia membangun sebuah panti asuhan khusus untuk menampung anak-anak korban penculikan dan korban perang. Di sinilah konflik sebenarnya dimulai.

Konflik batin mengantarkannya ke posisi yang sulit dan nyaris membuatnya stress. Apalagi ketika sahabat karibnya meninggal bunuh diri, Sam mulai menggugat Tuhan, menggugat kenapa Dia tidak ada untuk menolong sang sahabat dan menolong anak-anak malang di Sudan. Sam mengangkat senjata, berpikir kalau menolong tidak cukup hanya dengan berdoa dan menyumbang uang. Jadilah dia Machine Gun Preacher, pendeta bersenjata mesin.

Gagal mengaduk emosi

Machine Gun Preacher diangkat dari kisah nyata seorang mantan anggota geng motor dan penjahat kambuhan yang banting setir menjadi relawan di Sudan dan kemudian malah menjadi penceramah. Sebenarnya kisah yang diangkat dalam cerita ini sangat potensial menjadi kisah yang menarik, kisah pergulatan batin seorang lelaki sangar dan pemberang yang jalan hidupnya berubah 180 derajat. Sayang skenario dan plotnya kedodoran.

Alur cerita terlalu datar dengan dialog yang juga datar. Nyaris tidak ada lompatan berarti sepanjang durasi, tidak ada sebuah plot atau cerita yang bisa menguras emosi. Saya membayangkan seandainya saja Marc Foster sang sutradara ?mau berusaha sedikit lebih keras untuk menggali emosi Sam Childers atau menampilkan simbol-simbol yang menunjukkan pergulatan batin Sam, maka film ini bisa jadi sangat menarik.

Situs Rotten Tomatoes sendiri hanya memberi angka 29% dengan komentar :

There’s a complex man at the center of Machine Gun Preacher but the movie is too shapeless and emotionally vacant to bring his story to life.

Hampir sama dengan yang saya pikirkan. Konflik yang terbangun sebenarnya sangat kompleks hanya saja film ini gagal mengangkatnya ke dalam jalinan cerita dan potongan gambar sehingga emosi yang dikandungnya tidak tersampaikan dengan baik.

Bila membandingkannya dengan beberapa film dengan latar belakang serupa – perang saudara di Afrika- maka Machine Gun Preacher memang sangat disayangkan. Punya bahan cerita yang bagus tapi gagal di penggarapan. Bandingkan dengan Hotel Rwanda yang di Rotten Tomatoes mendapat poin 90%.

Begitulah, Machine Gun Preacher punya bahan yang bagus tapi gagal di penggarapan. Tapi untuk sekadar tontonan dan mengambil hikmah dari jalinan ceritanya, bolehlah Machine Gun Preacher masuk ke dalam daftar tontonan di akhir pekan, tapi jangan berharap banyak.

Saya menamainya senjata mesin tanpa peluru yang mematikan.

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (13)

  1. sayang ya Daeng…padahal ada Gerard Butler. biasanya sih kalau dia main, filmnya masuk hitungan lumayan ke atas yach. Tapi tak ayal dan tak dinyana dan tak disangka sangka pula #halah kayaknya review Daeng bisa saya jadikan referensi bagi saya untuk menonton film ini. Terlepas dari ratingnya yang hanya “29%”, namun review dari Daeng saya berikan 84% 😀

  2. hmmm thanks reviewnya. sayangnya saya tidak tertarik menonton. hehe

    • iPul dg.Gassing

      he’eh…kalau mau nonton di bioskop agak sayang duitnya sih..
      mending nonton Pocong Juga Pocong
      #halah

  3. ga terima saya !!!!
    kok keduluan sih postingnya?
    padahal saya udah nonton dari hari Kamis yang lalu hiks …
    sumpe, filmnya keren banget buatku.
    emang dari awal nonton juga ga berharap banyak,
    jadinya ya bisa nikmatin gitu 😀
    eh? itu kan film berdarah2 kok bilang nikmat *istigfar*
    tapi ya gitu deh maksudnya 😀

    • iPul dg.Gassing

      hahahaha..maap ya kalo saya duluan nge-review 😛
      ceritanya sebenarnya keren, cuma ya itu..masih kurang greget di penggarapan..jadinya malah nanggung..

      • hiks jadi tidak bernapsu mereview lagi
        wlo pun sudut pandangnya berbeda
        sudah bisa nebak dong?
        saya liatnya dari sisi perempuan *tsaaahhh*
        soalnya menurutku perjuangan istrinya itu lho
        patut diacungi jempol
        karena dialah maka Sam bisa seperti itu
        tentu tanpa melepaskan peranan sang Pemilik Kehidupan lho ya

  4. Saya elum nonton film ini..
    kalau film mengenai Afrika yang paling keren itu film GODS MUST BE CRAZY …gak bosen nontonnya,sampai 10x lebih tetap aja ngakak 😀 hehehe OOT

    • iPul dg.Gassing

      halah..God Must Be Crazy mah bukan pilem drama..hahaha
      etapi pilemnya emang keren koq..lucuu

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.