Random Post

Tiga Buku Favoritku

Tiga buku favoritku
Tiga buku favoritku

Berat memilihnya, tapi demi buku Natisha saya harus tega!

Memilih tiga di antara tidak seberapa buku yang saya miliki masih jadi masalah yang berat. Sebagian besar buku yang saya miliki entah dengan cara halal maupun setengah halal adalah buku-buku yang saya sayangi. Berat rasanya kalau harus disuruh memilih sedikit dari mereka untuk dilabeli: buku favorit.

Tapi baiklah, demi mendapatkan sebuah buku baru berjudul Natisha karangan seorang penulis favorit Daeng Marewa alias Khrisna Pabichara, maka dengan sangat terpaksa saya memilih tiga buku terfavorit. Mudah-mudahan buku yang lain yang tak terpilih tidak lantas cemburu dan kemudian memilih hengkang dari rak buku.

Bismillah, inilah tiga buku favorit saya:

Seandainya Saya Wartawan Tempo

Ini buku tua, saya dapatkan sekira sembilan tahun lalu. Waktu itu saya baru belajar menulis di sebuah situs jurnalisme warga bernama Panyingkul! dan buku ini menjadi salah satu “kitab suci” kami. Di buku ini diajarkan dengan detail bagaimana membuat sebuah tulisan feature.

Sampai sekarang buku ini masih tetap jadi pengangan saya. Ketika ingin menulis sebua tulisan feature maka buku inilah yang pertama saya jadikan rujukan. Masih menjadi “kitab suci” bagi saya meski saya tetap tidak merasa menguasainya.

Apa yang bisa saya tulis sekarang sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh buku ini. Makanya, buku ini saya jadikan buku terfavorit sampai sekarang.

Saat bertemu Andy Noya di Makassar
Saat bertemu Andy Noya di Makassar

Andy Noya; Kisah Hidupku

Buku ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang Andy Flores Noya, mantan jurnalis yang sekarang lebih banyak menjadi pemandu acara televisi dan aktif di yayasan kemanusiaan. Kisah hidupnya ternyata sangat tidak lurus. Andy terlahir dari keluarga campuran beragam etnis, Belanda, Maluku dan Jawa.

Semasa kecil dia menjadi korban risak karena kulitnya yang mirip orang Eropa. Kehidupannya bertambah berat ketika ayah dan ibunya terpaksa berpisah dan kehidupan nyamannya berangsur berputar 180 derajat. Kehidupan remaja seorang Andy Noya menjadi tambah berat karena lingkungan, sang kakak bahkan menyangka dia akan berakhir sebagai seorang penjahat kelas teri atau mati membusuk di penjara.

Kehidupannya baru berputar membaik ketika dia mulai kuliah di Jakarta dan memasuki dunia kewartawanan. Jalan yang membawanya ke puncak karier seorang wartawan, pemimpin redaksi. Dari wartawan koran, majalah hingga televisi semua sudah dilakoninya.

Saya suka buku ini, tentu karena cerita hidupnya yang justru tidak lurus-lurus saja. Sebuah kisah bagaimana sebuah kehidupan selalu punya misteri yang kadang tidak bisa kita tebak. Tikungan hidup hanya Tuhan yang tahu.

Berawal dari kehidupan nyaman di masa kecil yang sekejap berubah menjadi kehidupan yang susah dan tidak menyenangkan, lalu perlahan membaik di usia remaja hingga akhirnya mencecap manisnya kehidupan di masa tua. Pun kisah kedekatan yang canggung dengan sang ayah menjadi bumbu tersendiri yang menyenangkan dari buku ini.

Bersama Agustinus Wibowo
Wefie bersama Agustinus Wibowo di MIWF 2016

Selimut Debu

Buku ini saya cari dengan susah payah sekira tahun 2010. Saya sampai harus keluar-masuk beberapa toko buku, dari Semarang sampai Jakarta. Hingga kemudian saya menemukannya di Gramedia Blok M.

Saya jatuh cinta pada buku ini setelah sebelumnya membaca Garis Batas dari penulis yang sama; Agustinus Wibowo. Saya suka caranya bertutur, tentang perjalanan yang tidak sekadar dimaknai sebagai perjalanan menikmati alam atau mencari objek dramatis dan eksotis buat difoto, tapi perjalanan yang dimaknai sebagai perjalanan hidup.

Buku ini saya baca secepat kilat, nyaris tanpa henti. Tentu karena ketertarikan yang teramat sangat pada isinya. Setelahnya masih ada berkali-kali saya menengok setiap halamannya, memindahkan isinya ke dalam ingatan dan merenungkan maksudnya. Sebuah buku yang benar-benar membuat saya ikut mencari refleksi dari sebuah kata perjalanan.

Gara-gara buku ini juga sampai detik ini saya masih terus bermimpi bisa melihat Afghanistan. Buku ini mempertebal rasa penasaran saya pada negeri di Asia Tengah yang hanya kita dengar namanya ketika ada peperangan atau bom bunuh diri. Buku ini (dan sang penulis) berhasil membawa dimensi berbeda Afghanistan yang misterius di balik selimut debu.

Dan itulah tiga buku favorit saya di antara sedikit koleksi buku yang saya miliki. Sekarang, berikan buku Natisha itu wahai Lelaki Bugis! Akan saya masukkan ke dalam koleksi buku saya, semoga bisa menjadi salah satu buku favorit saya juga! [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (6)

  1. Buku Andy F Noya sudah saya baca, selebihnya belum pernah baca 😀

  2. Aku penasaran “Selimut Debu”.
    Oke aku akan cari, beli, lali baca

  3. Jika Daeng Ipul punya kitab suci berupa buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo” setiap kali mau menulis. Maka saya mencoba mencuri ilmu yang Daeng Ipul turunkan lewat tulisan di blog ini.

    Kebetulan juga dari beberapa orang yang saya suka gaya bahasanya dalam menulis di blog, salah satu di antaranya adalah Daeng Ipul. Dari blog inilah saya sesekali mencoba mencari inspirasi. Sayang sampai sekarang belum sempat saya tuliskan 3 orang yang menginspirasi saya untuk menulis di blog.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.