Guru di pedalaman Papua (dokumen FotoMedia)

” Oemar Bakri, Oemar Bakri..40 tahun mengabdi, jadi guru jujur berbakti memang makan hati”

Itu adalah potongan syair lagu Oemar Bakri yang dipopulerkan oleh Iwan Fals pada dasawarsa 80an. Lagu ini sudah melewati banyak jaman, tapi kenyataan yang diceritakannya seperti abadi. Guru, dari dulu hingga sekarang masih tetap jadi sosok yang kadang terabaikan.

Dalam tatanan masyarakat posisi guru sebenarnya terpandang. Setidaknya yang tercatat dalam buku sejarah. Dalam budaya suku Makassar, guru adalah salah satu profesi yang dihormati. Dalam sebuah kumpulan masyarakat, guru selalu dianggap sosok yang tepat untuk dimintai pendapat. Tentu karena keluasan wawasan dan kebijaksanaannya.

Nenek saya seorang guru. Almarhumah sudah memegang kapur tulis sejak jaman tentara Jepang menjajah negeri ini. Sepanjang hidupnya dia mengabdikan sebagian besar waktunya untuk mengajar, utamanya anak-anak kelas 1 SD. Beliau pernah bercerita bagaimana guru jaman dulu sangat sarat dengan penghormatan. Mereka bukan bangsawan, bukan pula orang berada. Tapi keluasan wawasan dan keteguhan hatinya memberi pelajaran di tengah situasi yang sulit membuat mereka selalu mendapat tempat.

Jaman kemudian berubah. Perlahan-lahan kesejahteraan negeri kita makin membaik. Sayangnya, para guru di negeri kita seperti orang yang ketinggalan gerbong. Sebagian dari mereka terlupakan ketika kereta negeri ini bergerak ke arah yang lebih sejahtera.

Tidak semua guru bisa ikut dalam gerbong yang bergerak itu. Sebagian dari mereka tertinggal, mungkin karena terlupakan. Apalagi karena mereka memang tinggal jauh dari hiruk-pikuk kota. Padahal mereka tetaplah seorang guru yang berdedikasi, berjuang demi pendidikan anak-anak yang bukan keluarga mereka.

Di desa Lubaga, kepulauan Mentawai ada pak Barto dan pak Sudirman. Mereka berdua adalah lulusan sebuah sekolah menengah di Padang tahun 1994. Selepas sekolah mereka ditawari oleh seorang pastor di Muara Sikalabalun untuk menjadi guru di kepulauan Mentawai. Tepatnya di pulau Sibereut.

Masyarakat di pulau Sibereut selalu dianggap sebagai suku terasing karena letaknya yang memang susah dijangkau, jauh dari keramaian kota. Dulu ada SD negeri di sana, tapi guru-guru negeri tidak tahan. Mereka terlalu susah untuk beradaptasi dengan alam yang sulit hingga akhirnya mereka lari dan meninggalkan desa. Tak lama SD itupun mulai dimakan rayap, bahkan hingga nyaris rubuh.

Potret murid SD di pedalaman (dokumen FotoMedia)

Prihatin dengan keadaan? tersebut, pastor-pastor Katolik di kecamatan mulai turun tangan. Mereka kemudian mengerahkan tenaga-tenaga muda didikan mereka untuk menjadi guru di sana. Termasuk pak Barto dan pak Sudirman. Selain menjadi guru mereka juga menjadi wakil pastor.

Kehidupan mereka berat. Mereka harus bertahan hidup di tengah alam yang masih perawan dengan penduduk yang belum seluruhnya paham arti pendidikan. Tak jarang orang tua “menyembunyikan” anaknya di tempat yang jauh hanya karena mereka merasa sang anak lebih berguna bila membantu mereka daripada menghabiskan waktu di sekolah.

Setiap 4 bulan sekali, pak Barto dan pak Sudirman harus menempuh perjalanan selama 3 hari 3 malam ke ibukota kecamatan untuk mengambil gaji mereka. Gaji yang besarnya tak seberapa, mungkin hanya sebesar jatah pulsa sebulan untuk seorang anak sekolah di kota besar. Pak Barto dan pak Sudirman mengabdi nyaris tanpa pamrih, melewati semua beratnya rintangan hingga tiba pada satu titik di mana mereka begitu dihargai oleh warga desa. Dihargai karena ketulusan dan pengabdian mereka.

Cerita pak Barto dan pak Sudirman hanya satu dari mungkin ribuan kisah guru yang sama di negeri ini. Indonesia terlalu luas, bukan hanya Jakarta atau Jawa saja. Di pedalaman Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan apalagi Papua ada banyak sekolah yang jadi ladang pengabdian para guru. Mereka adalah orang-orang yang berdedikasi penuh pada sebuah misi mencerdaskan anak bangsa.

Data terakhir menunjukkan kalau 66% sekolah di daerah terpencil masih kekurangan guru. 37% di pedesaan dan bahkan di perkotaan masih ada 21% yang masih kekurangan guru.

Rasio distribusi guru 2012
Grafik perkembangn guru SD hingga 1999

Usaha pemerintah untuk mensejahterakan guru memang ada dan terus diperbaiki. Mungkin memang terkesan lambat, dan kadang malah tidak terasa menyentuh daerah-daerah yang jauh dari kota. Banyak orang yang menaruh simpati berawal dari kegelisahan akan pendidikan yang tidak berjalan paralel di semua daerah di Indonesia. Merekalah yang kemudian mengusahakan pendidikan alternatif untuk saudara-saudara kita yang tak terjangkau pendidikan formil.

Guru memang bukan hanya tugas pemerintah untuk menciptakannya. Jejak panjang peradaban kita mengajarkan bahwa guru boleh datang dari siapa saja. Jabatan guru boleh disandang oleh siapa saja, sepanjang dia punya kemauan, punya dedikasi dan punya niat mengabdi.

Tantangan memang makin berat. Guru tak lagi hanya sekadar mengajar, kadang dengan penggaris kayu panjang yang membuat muridnya takut. Guru harus pandai mencari celah untuk berkembang, agar bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman yang dinamis dan berubah demikian cepat. Guru harus paham bagaimana mendekati murid, bagaimana mengakali kurikulum yang tak selamanya pas dan harus kreatif mencari model pendekatan yang paling pas.

Tapi guru tetaplah guru. Sekreatif apapun mereka, lampu sorot tak selamanya mengarah kepada mereka. Ketika berhasil, orang mungkin akan berucap, ? Itu mungkin sudah tugas mereka?. Ketika gagal, orang akan mencomooh. Berat memang.

Terdengar aneh karena sesungguhnya di balik orang-orang sukses di negeri ini ada peran para guru yang luar biasa. Tapi, mereka banyak yang terabaikan utamanya yang mengabdi jauh dari hingar-bingar kota besar. Nasib mereka tak lebih baik dari para buruh. Terlupakan, terabaikan dan dibiarkan mengabdi. Hanya predikat “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang melekat pada mereka, mungkin dianggap cukup untuk membalas kepahlawanan mereka.

Saya belum pernah bertemu langsung dengan guru seperti pak Barto dan pak Sudirman, yang berjuang mengajar di tanah yang jauh dan susah dijangkau. Sayapun belum pernah punya guru seperti ibu Muslimah di cerita Laskar Pelangi, yang berjuang mengajar meski sekolahnya sudah hampir rubuh. Tapi bagi saya, semua guru adalah pahlawan. Semua guru adalah orang-orang luar biasa yang meluangkan waktu, tenaga dan semua yang dia punyai untuk satu hal: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bagi saya, mereka semua pahlawan. Meski kadang diabaikan.

[dG]

Catatan: kisah pak Barto dan pak Sudirman dimuat dalam majalah FotoMedia tahun 1995.

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (9)

  1. Sedih memang kalau melihat ketertinggalan pendidikan di daerah terpencil. Dari kualitas pendidikan, maupun kesejahteraan pengajar. 🙁

  2. Selamat Daeng, dapet juara dua di lombanya @IDBerkibar, postingnya juga komplit sih 😀

  3. Selamat daeng, juara 2 🙂
    Sukses ki’

  4. pokoke makan2!! 😀

  5. Selamat, Daeng. Menyentuh sekali. 🙂

  6. Postingan yang mantap dan inspiratif…

    Salam kenal

  7. Kisah yang inspiratif. Pantas menjadi salah satu pemenang Indonesia Berkibar…

  8. Salam.
    Selamat buat kak Ipul, setelah menjadi salah satu pemenang di lomba yang di selenggarakan oleh indonesia berkibar..!!
    Wah mantap memang postingannya kak Ipul, terharu saya membacanya, Seperti itulah mungkin yang di rasakan oleh juri waktu membacanya.
    Salam

  9. 🙂 smga generasi kt bs lbh baik lg utk menyongsong perubahan

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.