Random Post

Menggugat Makassar yang Modern tapi Tak Manusiawi

petepeteBENARKAH MAKASSAR SUDAH LEBIH MAJU, MODERN, NYAMAN DAN MANUSIAWI ?

Judul Buku     :    Makassar dari jendela pete-pete : catatan seorang pengguna jalan
Penulis    :    Winarni K.S
Penerbit    :    Panyingkul, 2009.

Sebelum mulai menulis catatan tentang buku ini, saya sebelumnya ingin bertanya dulu kepada anda yang tinggal di Makassar minimal dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini, atau anda orang Makassar yang lama tinggal di luar Makassar dan baru saja berkunjung kembali ke kota Anging Mammiri ini.

Pertanyaan pertama saya, benarkah Makassar sekarang sudah lebih maju dan modern ?
Pertanyaan kedua saya, Apakah Makassar sudah lebih manusiawi dan lebih nyaman untuk warganya ?

Untuk pertanyaan pertama saya yakin hampir semua dari anda akan menjawab : Iya. Setidaknya bila melihat secara kasat mata betapa dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini Makassar telah benar-benar berubah makin maju dan modern. Tidak percaya ? mari kita hitung jumlah gedung monumental yang megah dan menggambarkan kemajuan Makassar. Kita mulai menghitung dari jumlah mall yang sudah berdiri di berbagai sudut kota kita ini, mulai dari selatan kota di daerah Tanjung Bunga hingga di utara kota di daerah Tamalanrea. Jumlahnya terus bertambah. Nah, contoh lainnya mari kita lihat betapa megahnya bandara Sultan Hasanuddin yang baru, kemudian masukkan juga proyek revitalisasi Karebosi yang mengkilap, proyek anjungan Losari yang megah dan tentu jangan lupakan proyek jalan layang yang sebentar lagi akan beroperasi. Bukti-bukti di atas tentu belum termasuk beberapa bangunan jangkung yang lantainya terdiri dari bilangan dua digit. Kurang bukti apalagi coba kalau kita katakan bahwa Makassar memang telah jauh lebih maju dan modern dibandingkan dengan – misalnya – 10 tahun yang lalu ?.

Nah, sekarang untuk pertanyaan kedua. Benarkah Makassar sudah lebih manusiawi dan lebih nyaman untuk warganya ? Jawaban untuk pertanyaan ini mungkin beragam, saya yakin itu. Makassar memang makin maju dan modern, tapi untuk dibilang makin manusiawi dan nyaman rasanya masih bisa diperdebatkan. Titik kemacetan makin bertambah, genangan air di jalan raya saat musim hujan tiba terus saja bertambah, masalah transportasi massal yang masih saja bagai benang kusut hingga masalah parkir yang belum terpecahkan. Oh, maaf saya lupa memasukkan panasnya cuaca kota yang makin menguras keringat. Jadi, benarkah Makassar lebih manusiawi dan nyaman setelah kita yakin Makassar makin maju dan modern ?

Bila kita mau merenung sejenak saja dan mulai membandingkan Makassar tahun 2009 dengan Makassar 10 tahun yang lalu saya yakin banyak dari kita yang mengeluh dan mungkin menyadari kalau ada yang salah atau mungkin kurang tepat dari perkembangan kota ini. Salah seorang yang merasakannya adalah Winarni.

Winarni adalah seorang mahasiswa (sebentar lagi mantan mahasiswa) jurusan tata kota. Berbekal ilmu yang didapatnya di bangku kuliah, dia membandingkan antara teori tata kota serta berderet-deret bacaan dan artikel tentang tata kota yang dilahapnya selama kuliah dengan kenyataan yang dilihat dan dirasakannya di kota tempat dia lahir dan hidup sehari-hari. Winarni menyadari ada beberapa hal yang sesuai dengan apa yang dipelajari atau dibacanya. Winarni kemudian memilih untuk menuliskan keresahannya, menumpahkan sederet pertanyaan dan mungkin saja kekesalannya pada kebijakan-kebijakan penataan kota yang dianggapnya tak benar.

Lewat buku yang dominan bersampul biru ini, Winarni banyak menulis tentang berbagai aspek tata kota yang dirasakannya selama ini. Winarni mencatat tentang perubahan yang terjadi pada daerah Panakkukang, daerah yang dulunya hanya berupa rawa dan lahan tak produktif yang kini telah berubah menjadi primadona kawasan bisnis. Winarnipun mencatat tentang berbagai perubahan mendasar yang terjadi pada kota Makassar. Tentang mall yang terus bertambah, tentang ruko yang tumbuh tak terkendali, tentang jumlah pete-pete yang terus membengkak dan tidak seimbang dengan jumlah penumpang dan tentang apa saja, bahkan tentang nasib para pejalan kaki yang makin terpinggirkan dan trotoarnya hilang direnggut pihak lain. Winarni dengan rajinnya mencatat dan mencurahkan perasaannya, mirip seorang remaja yang mengisi buku harian.

Namun, ada satu hal yang membedakan Winarni dengan remaja biasa yang rajin mengisi buku harian. Winarni bicara dengan fakta dan dasar yang kuat. Dalam setiap bab tulisannya, Winarni selalu mengikutsertakan data-data baik yang berupa angka-angka maupun yang berupa analisa dan teori yang dirangkumnya dari berbagai sumber, sehingga “curhatannya” kemudian terasa berbau ilmiah, membuat tulisannya menjadi sebuah rujukan yang pas untuk para akademisi ataupun orang-orang yang sekedar ingin tahu banyak tentang tata kota.

Bukan hanya masalah-masalah berat yang jadi pokok tulisan Inart (begitu gadis ini biasa disapa), beberapa hal yang bersifat ringan dan personalpun dibahasnya. Simak tulisan tentang makin sempitnya lahan untuk bermain layangan yang memaksa anak-anak bergeser ke jalan raya hanya untuk sekedar menerbangkan layang-layangnya. Inartpun tak lupa menuliskan keresahannya tentang jati diri para remaja yang mungkin makin  terkikis karena ramainya ikon-ikon produk modern yang sepenuhnya adalah produk import, juga tentang bagaimana pandangan para remaja di pasar tradisional tentang mall yang hari ini sudah bertebaran di berbagai sudut kota Makassar. Tak lupa Inartpun bercerita tentang sebuah pusat perbelanjaan baru yang tumbuh di tengah kawasan yang dulunya diperuntukkan sebagai kawasan pendidikan. Meski tak langsung namun dalam tulisan itu Inart terlihat kuatir akan dampak yang mungkin terjadi pada para pelajar dan mahasiswa di sekitar pusat perbelanjaan tersebut. Ah, Inart juga rupanya mempertanyakan proyek Center Point Of Indonesia (CPI) yang dirasakannya tak lebih dari sebuah proyek ambisius milik para pejabat.

Dalam setiap tulisannya Inart seakan membuka sebuah ruang dialog yang luas dengan kita para pembacanya. Inart mengajak kita merenungi arah perkembangan kota Makassar, mempertanyakan banyak hal terkait perubahan dan perkembangan tersebut dan mungkin sebagian orang akan tertantang untuk mendebat atau minimal mendiskusikan isi catatan Inart.

Bagi saya Inart adalah seorang mahasiswa yang cerdas, dia berhasil membuka sebuah ruang baru untuk sebuah diskusi dan perenungan tentang nasib kota Makassar, kota yang diakrabinya setiap hari. Namun di sisi yang lain Inart juga memancing para pembacanya yang bukan warga kota Makassar untuk ikut merenungi arah perkembangan kota mereka, membandingkan perkembangan kota mereka dengan kota Makassar yang dicatat oleh Inart.

Karenanya tanpa ragu-ragu saya bisa mengatakan kalau buku ini adalah sebuah buku yang pantas menjadi rujukan untuk para warga kota di mana saja berada, bukan hanya mereka yang tinggal dan akrab dengan Makassar.

Satu hal lagi yang membuat Inart sang penulis menjadi istimewa adalah karena melalui buku ini Inart ingin menunjukkan sebuah perlawanan terhadap sebuah tradisi turun temurun yang entah sudah berapa jauh mengakar. Inart mempersembahkan buku ini sebagai hadiah bagi dosen dan almamaternya, Inart keluar dari pakem selama ini bahwa mahasiswa yang baru lulus akan menyetor parsel berisi buah atau jenis makanan dan minuman lainnya kepada dosen mereka. Inart mempersembahkan sebuah parsel yang isinya berbeda, parsel yang isinya lebih ilmiah dan tentu lebih mencerdaskan, atau meminjam istilah Habudi di Republik Mimpi maka parsel Inart adalah parsel yang high tech.

Inart memanfaatkan haknya sebagai warga kota yang taat membayar pajak, inart memanfaatkan haknya itu dengan cara membukukan buah pikiran, hasil analisa dan mungkin sekedar curhatan tentang kotanya. Saat menutup buku ini kita pasti akan kesulitan menjawab pertanyaan, benarkah Makassar sudah lebih maju, lebih modern dan sekaligus lebih nyaman dan manusiawi ? Sebuah pertanyaan yang jawabannya masih bisa kita perdebatkan.

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (6)

  1. spertinya mereka yg duduk pada posisi strategis disana cuma memikirkan sisi bisnis dgn membangun mall dimana2 tanpa memperhatikan dukungan infrastruktur yg mendukung, jalan hancur lubangnya gede-2 dan macet gak karuan dimana-mana… a view from my last year home coming
    .-= davro´s last blog ..weeken batch =-.

  2. Dav..mari kita liat bagaimana komentarmu tentang Makassar setahun kemudian…:)

  3. Depan PLN Hertasning..? arrghh..itu salah satu daerah yg saya hindari di jam2 sibuk..pagi dan sore..macetnya minta amppyuunn..

    soal mati lampu..ya lumayanlah, 3x sehari dengan durasi rata2 2 jam sekali mati. sekarang sudah agak baikan, cuman mati 2x sehari..tapi sekali mati bisa sampe 3 jam..jadi, samaji..6 jam..!!!

    🙂

  4. soal macet, titik macet di sini makin nambah, yaa kira2 2-3 tahun lagi kalo tidak ada perhatian serius dari pemerintah maka jalan rayanya akan sama dengan Jakarta (dalam hal macet)

    soal mati lampu, itu gara2 bendungan di Bakaru kering, trus PLTG di Sengkang juga rusak..kalo Bili2 sama Sungai Tello ndak ada hubungannya, mereka berdua tidak menyuplai listrik untuk Makassar, Tello sih iya, tapi kecil sekaliji..

  5. hehehehe mudah2an nda macet mi itu depan ktr PLN 🙂 sekarang disana selain musim duren katanya ada musim mati lampu juga yah?
    .-= davro´s last blog .. =-.

  6. aihk apa ji niat pulang kampung menghindari macetx jakarta ternyata sama ji disana heheh…kalo mati lampu katanya gara2 sungai yg di tello sama bendungan bili2 kering? betul tidak itu?
    .-= davro´s last blog .. =-.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.