Maaf, barang yang ini sudah habis
Maaf, barang yang ini sudah habis

Kalau misalnya Anda berniat membeli barang, harganya pas dan tiba-tiba si penjual bilang: barangnya habis, maka ketahuilah kalau ada sesuatu yang salah.

Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu saya mampir ke Mall Ambassador, salah satu mall di Jakarta Selatan yang terkenal sebagai pusat penjualan komputer dan kamera. Niat saya untuk membeli batere cadangan buat Canon 650D. Mumpung ada uang lebih, pikir saya.

Tujuan pertama adalah toko kamera tempat saya dulu membeli lensa 10-18. Karena toko ini dulu memberi harga lensa yang paling murah dari toko lainnya maka saya beranggapan kalau harga barang lainnya juga sama murahnya.

Seorang pria pribumi dan seorang pria keturunan Tionghoa menerima saya. Setelah saya utarakan maksud kedatangan saya dengan baik-baik, mereka mengecek sebuah map yang berisi banyak kertas. Hanya sebentar sebelum salah satu dari mereka menyebut angka Rp. 620.000,-

Wow! Angka yang sangat mahal, seingat saya dulu saya pernah ditawari batere yang sama di sebuah toko komputer di Makassar dengan harga yang hampir setengahnya. Kata salah seorang dari mereka, itu bukan barang ori makanya harganya murah.

Yah sudahlah, kata saya dalam hati. Angka itu masih terlalu tinggi, masih banyak kebutuhan lain yang perlu dianggarkan. Sebelum keluar toko mata saya tertuju pada sebuah microphone buat DSLR. Iseng saya tanya harganya dan dengan cepat dijawab: Rp. 320.000,-

Nah, kalau harga ini menurut saya murah karena seingat saya microphone untuk DSLR biasanya berkisar antara 500an ribu ke atas. Tapi saya belum berminat, fokus saya masih pada batere cadangan buat si Canon.

Saya berkeliling ke beberapa toko di Mall Ambassador mencari batere yang saya maksud, ternyata harganya memang sekisar itu. Ada yang lebih murah, tapi hanya beda 25 ribu rupiah saja. Di sebuah toko kamera saya melihat ada microphone yang sama seperti yang saya liat di toko sebelumnya. Iseng saya tanya harganya dan dijawab Rp. 520.000.

Wah, beda Rp. 200.000? Saya mulai mengalihkan fokus. Kayaknya saya memang butuh microphone seperti itu untuk mengambil video. Belakangan ini saya memang sedang gandrung membuat video menggunakan kamera DSLR. Karena batere tidak dapat sepertinya anggaran bisa dialihkan ke microphone, kata saya dalam hati.

Tapi saya tetap curiga, masak sih perbedaan harganya sampai Rp. 200.000.-? Biasanya perbedaan harga antar toko paling sekisar 25rb atau paling jauh 50rb. Tapi kalau 200rb sepertinya ada yang salah.

Dengan terburu-buru saya menuju toko pertama tadi, berharap mereka tidak salah memberi harga.

“Mas, tadi mic ini harganya berapa?” Tanya saya ketika sudah sampai di toko itu sambil menunjuk mic BOYA yang saya maksud.

“Rp. 320rb mas.” Pria yang tadi menjawab dengan tangkas.

“Tidak kurang lagi?” Saya mencoba menawar.

“Wah itu sudah harga pas.” Jawab si penjaga toko.

“Barangnya ada?”

“Ada koq.”

“Oke deh, saya ambil ya.” Kata saya. Jujur, saat itu saya masih belum yakin kalau harga yang dia berikan benar. Ini berdasarkan pengalaman beberapa waktu yang lalu saat membeli lensa 10-18.

Si pelayan toko yang orang keturunan mengambil satu dus mic BOYA dari lemarinya, belum sempat dia menyerahkannya ke saya tiba-tiba seorang lelaki keturunan yang sedari tadi duduk di belakang komputer di belakang meja kasir berteriak.

“Xi huan yao tseng mi?”Tanyanya dalam bahasa Mandarin. Sepertinya dia bos di situ.

“Kao lao ming tseng che pao.” Jawab lelaki penjaga toko yang memegang dus mic BOYA. Sebagai catatan, saya sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Kalimat di atas hanya sekadar ilustrasi saja.

Mereka kemudian terlibat dalam percakapan berbahasa Mandarin yang sama sekali tidak saya mengerti. Tapi, insting saya bilang kalau si penjaga toko memberikan harga yang salah dan dia kena marah dari si bos.

Insting saya benar, si penjaga toko memasukkan kembali dus mic BOYA yang tadi sudah dia keluarkan dari lemari. Dia berbalik ke arah saya dan berucap, ?Wah maaf mas, barangnya habis.?

Loh? Itu apa?” Tanya saya sambil menunjuk dus yang tadi sudah sempat dia keluarkan.

“Itu barang lama mas, sudah kebuka.” Jawabnya sambil membuang muka seperti menghindari kontak mata.

Saya tak hendak berdebat, dalam hati saya malah geli sendiri membayangkan tingkah mereka yang terpaksa mencari alasan lain untuk menutupi kesalahannya memberi harga. Akhirnya dengan raut muka (pura-pura) kecewa saya meninggalkan toko itu meski sebenarnya dalam hati saya senang juga karena berhasil menghindari transaksi yang mungkin saja masih belum terlalu saya butuhkan saat ini.

Moral dari cerita ini adalah: kalau Anda ditawari harga murah untuk sebuah barang lalu tiba-tiba si penjual menggunakan alasan: barangnya habis maka bisa jadi dia salah memberi harga di awal. Daripada kena marah bos mending berbohong kepada kostumer kan? [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (3)

  1. sama seperti penjual donat kentang di sepanjang jalan makassar. selalu tertulis “Harga Mulai 2000” . sekalinya minta donat yang harganya 2ribu, ehhh malah penjualnya bilang, “Habismi”

  2. Apapun alasannya..harga yg sudah disepakati antara penjual dan pembeli tidak bisa dibatalkan begitu saja…. itu bisa dilaporkan sebagai tindakan yg tdk menyenangkan…apalagi bila barangnya sempat terlihat…. urusan rugi atau tidak sudah menjadi resiko bagi pemilik toko

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.