Random Post

Kita butuh banyak hal..

p01.jpg

Belakangan ini ada beberapa berita yang cukup mengganggu saya. Berita-berita seputar profesi guru dan dunia pendidikan kita. Berita tentang seorang guru yang kedapatan berduaan dengan muridnya di sebuah kamar hotel mesum serta berita tentang aksi beberapa oknum guru yang tega berbuat curang dengan merubah hasil test ujian nasional murid-muridnya hanya demi mendongkrak angka kelulusan di sekolah bersangkutan.

Khusus untuk berita yang terakhir, kegalauan saya makin bertambah dengan kisah lanjutannya saat puluhan murid sekolah yang bersangkutan berunjuk rasa meminta guru-guru mereka dibebaskan. Alasan para murid tersebut adalah bahwa sang guru hanya melakukan apa yang selayaknya dilakukan oleh orang tua untuk membantu anaknya. Kata mereka, “ orang tua pasti akan melakukan apapun untuk membantu anaknya”. Ah, tapi masa iya seorang orang tua yang seharusnya jadi sosok yang patut dicontoh dan jadi pengayom itu sampai harus melakukan sebuah tindakan curang untuk membantu anak-anaknya ?.

Semakin dewasa, saya semakin menyadari kalau pendidikan kita memang lebih berorientasi kepada hasil. Tak peduli prosesnya seperti apa, yang penting hasilnya bagus. Hal ini juga diperparah dengan model pendidikan kita yang seringkali hanya berlaku satu arah. Murid tak pernah diberi kesempatan untuk ikut berinteraksi dengan materi yang diajarkan.

Saya teringat pada pengalaman saya saat masih bersekolah dulu. Salah seorang guru saya punya metode pengajaran yang menggelikan. Saya sudah lupa nama beliau, yang saya ingat hanyalah bahwa beliau mengajarkan mata pelajaran Sejarah;jaman dulu disebut Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB),entah apa namanya sekarang.

Sang guru yang saya maksud setiap minggunya hanya mengharuskan kami murid-muridnya untuk mencatat beberapa intisari pelajaran sejarah. Metodenya seperti ini, seorang murid (paling sering adalah perempuan) yang punya tulisan paling bagus akan diberi tugas menyalin materi pelajaran tersebut di papan tulis, sisanya diharuskan menyali ke buku catatan.

Sementara kami murid-muridnya mencatat, sang guru akan berada entah di mana. Beliau akan kembali ke kelas menjelang jam pelajarannya berakhir. Selalu begitu setiap minggunya. Pada minggu-minggu tertentu beliau akan memeriksa catatan kami dan memberi nilai tertentu menurut kerapihan dan kelengkapan catatan. Selalu begitu sampai tahun ajaran berakhir.

Tak heran kalau banyak materi yang tak pernah singgah di otak kami. Semuanya hanya jadi rutinitas yang terus berulang dan harus kami jalani sepanjang tahun. Indikator keberhasilannya hanya terletak pada seberapa kuat kami menghapal tanggal-tanggal khusus atau kejadian-kejadian khusus dalam sejarah Republik ini.

Selama berseragam sekolah, saya nyaris tak pernah bertemu dengan guru yang rajin memberi kesempatan kepada kami murid-muridnya untuk ikut berinteraksi dengan materi yang diajarkan. Sebagian besar hanya menggunakan metode pengajaran satu arah, guru menerangkan atau bercerita dan murid mencatat di buku tulis. Sesekali murid boleh bertanya bila tak paham. Hanya seperti itu.

Bicara tentang pengalaman bersama guru, saya ingat sebuah pengalaman yang cukup membekas hingga kini. Kejadiannya saat saya masih SD, kelas 5 SD tepatnya. Saat itu, dalam mata pelajaran IPA saya sempat disalahkan oleh guru saya karena mengatakan kalau kura-kura dan penyu itu berbeda.

Saat itu, dengan sepenuh kekuasaan yang dimilikinya, sang guru bersikeras menyalahkan saya dan mengatakan kalau kura-kura dan penyu adalah sama, hanya beda penyebutan saja. Saya tahu saya benar, hanya saja saat itu saya tidak memiliki  data-data yang akurat ditambah aturan tak tertulis yang menyatakan kalau guru tak penah salah dan murid tak boleh membantah, maka saya mengalah. Kalah dalam diam.

Bertahun-tahun kemudian saat saya punya cukup data tentang perbedaan antara penyu dan kura-kura, rasanya saya ingin bertemu kembali dengan guru saya itu. Terus terang, ini menjadi semacam dendam yang terus tersimpan dalam memori saya.

Saya tidak begitu paham tentang keadaan dunia pendidikan kita sekarang ini. Namun sebuah pengalaman traumatik kembali saya dapati beberapa tahun yang lalu. Adik bungsu saya yang saat ini masih duduk di bangku SD pernah “dipinggirkan” karena sebuah alasan yang menggelikan.

Saat masih duduk di kelas 1 SD, adik saya termasuk dalam jajaran anak yang cerdas. Di kelasnya, dia termasuk anak yang menonjol karena bisa membaca dan menulis lebih cepat dari teman-temannya. Sayangnya saat pembagian raport dia hanya duduk di urutan ketiga, kalah dari 2 orang temannya yang secara kasat mata punya kemampuan yang lebih rendah dari dia.

Karena merasa aneh, ibu saya mencoba mengkonfirmasinya. Meski tak langsung dari guru yang bersangkutan, ibu akhirnya mendapatkan jawaban kenapa adik saya “hanya” duduk di urutan ketiga. Alasannya karena ibu  jarang memberi “upeti” ke guru yang bersangkutan. Beda dengan dua anak yang lain, yang orangtuanya lebih rajin membawa buah tangan, meski hanya berupa kue-kue. Betul-betul sebuah alasan yang tidak masuk akal dan menggelikan.

Tapi begitulah, percaya tidak percaya, suka tidak suka, tapi praktek nepotisme memang sering sekali kita temui di dunia pendidikan kita.

Saya ingat pengalaman lain saat menjalani Ebtanas di bangku SD dulu. Beberapa teman yang punya ikatan kekerabatan dengan guru di sekolah saya, jelas-jelas mendapatkan bantuan jawaban dari guru kerabat mereka. Sang guru dengan leluasa masuk ke kelas dan memberi kertas kecil berisi jawaban, sementara pengawas ujian hanya tersenyum-senyum dan kemudian berlagak tidak tahu apa-apa. Sementara orang-orang seperti saya yang tidak punya ikatan kekerabatan dengan seorang guru hanya bisa termangu. Sebuah praktek kecurangan yang sudah diajarkan semenjak kami masih sangat belia.

Cerita-cerita di atas mungkin hanya sedikit dari sekian banyak carut marut dunia pendidikan kita. Usaha untuk menciptakan dunia pendidikan yang profesional dan berkualitas sepertinya memang masih jauh dari harapan.

Beberapa sekolah swasta mungkin sudah mulai mempraktekkannya, namun konsekuensinya tentu adalah biaya yang tinggi sehingga seakan-akan pendidikan berkualitas hanya menjadi hak para orang beduit.

Kita mungkin butuh lebih banyak ibu Muslimah di jajaran pendidik kita. Kita butuh para guru yang loyal dan murni mengajar demi menciptakan manusia yang berkualitas, tidak tergoda untuk mengkomersilkan ilmu yang diajarkannya.

Tapi tentunya, kita juga butuh pemerintah yang mau menghargai jerih payah para guru yang tulus itu. Kita butuh pemimpin yang peduli pada nasib para guru yang tulus itu.

Ah, kita-orang Indonesia-memang masih punya banyak kebutuhan.

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (1)

  1. begitulah, orang kita yang sangat polos bin lucu. isu ini juga sudah lama mengganggu pikiran saya, tapi apa daya, tak ada kuasa. saya jadi berpikir mungkin inilah cermin indonesia yang sesungguhnya. tapi saya tidak begitu(halah membela diri) jadi ingat juga,bulan ini memperingati 100 tahun kebangkitan nasional. tapi saya merasa terpuruk.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.