Random Post

Kisah Mimpi yang Terkoyak

afi1.jpgAnda sempat membaca Koran KOMPAS hari Minggu kemarin ?. Di halaman pertama, di sebelah kanan bawah ada sebuah cerita yang sangat menyentuh. Cerita tentang kegagalan seorang warga biasa yang pernah bermimpi menjadi seorang selebritis namun kemudian mendapati semua mimpinya terkoyak dan menelantarkannya ke jurang penyesalan.

Kisah di koran itu adalah tentang kehidupan Muhammad atau kemudian lebih terkenal sebagai Ian Kasolo. Ian adalah peserta Dangdut Mania 1 di stasiun televisi TPI. Sebelum ikut ajang pencarian bakat tersebut, Ian adalah seorang kurir pada sebuah bank swasta di Solo. Berbekal tekad yang besar untuk mengubah nasib, dia nekad melepas pekerjaannya yang setiap bulannya memberikan gaji di atas Rp. 1 juta.

Mimpi Ian tentu beralasan. Deretan contoh orang-orang yang berhasil merubah hidupnya dari hanya seorang manusia biasa yang dalam sekejap menjadi seorang yang sangat terkenal dan hidup nyaman dalam kemewahan dan popularitas telah banyak disajikan oleh televisi kita. Dan untuk mengejar mimpi-mimpinya, Ian sampai rela menenggelamkan diri pada kubangan utang hanya untuk mendongkrak perolehan SMS-nya setiap minggu. Total uang yang dikeluarkannya untuk membeli pulsa adalah sebesar Rp. 30 juta. Sebagian besar uang itu dia ambil dari hasil pinjaman pada kerabat, dan sebagian lagi dari rentenir. Bayangan menjadi seorang selebritis telah menutup matanya pada kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Nasib rupanya tidak berpihak pada Ian. Setelah tereliminasi dari Dangdut Mania 1, Ian terperanjat mendapati dirinya telah kembali menapak ke tanah. Hilang semua kemewahan yang sempat dia cicipi selama tinggal di asrama Dangdut Mania. Mimpi-mimpi yang sempat dia rajut dengan benang harapan yang sangat indah itu telah terkoyak.

Setelah berminggu-minggu hidup bak seorang selebritis, menyanyi di atas panggung gemerlap, dielu-elukan para penonton, diajak berfoto dan dimintai tandatangan, kini Ian harus rela mendapati dirinya hidup tak berupiah sepeserpun. Ian harus rela menggelandang sebelum kemudian ditampung temannya sesama peserta Dangdut Mania 1. Sekarang Ian menghabiskan hari-harinya sebagai kurir katering milik istri temannya itu. Sekali lagi didapatinya mimpi-mimpi itu telah terkoyak, bahkan nyaris tak tersisa.

Ian mungkin tidak sendiri. Beberapa waktu lalu di beberapa milis yang saya ikuti sempat beredar cerita tentang kehidupan seorang peserta AFI 1 di Indosiar yang saat ini kehidupannya sangat memprihatinkan, sangat berbeda dari kesan glamour khas selebriti yang dulu mereka tampilkan.

Sekarang, sang “bekas selebriti” tersebut hidup dalam kesengsaraan. Tak ada pekerjaan tetap, hidup hanya dengan bekal seadanya yang kadang didapat dari belas kasihan orang lain. Orderan manggung hanya datang sesekali, itupun dengan bayaran seadanya. Pihak Indosiar yang dulu berniat mengorbitkan mereka dan sempat mengikat mereka pada sebuah kontrak kerja sekarang terkesan lepas tangan. Keadaan makin parah ketika kemudian terungkap kalau keluarga mereka terlilit utang jutaan rupian. Utang ini adalah buah dari gelontoran SMS yang mereka kirim dengan harapan bisa meroketkan buah hati mereka sebagai seorang selebritis.

Saat ini, jangankan menjadi selebritis yang terkenal dan hidup mewah. Untuk makan sehari-hari saja sudah susah setengah mati. Peghasilan seorang buruh pabrik bahkan konon lebih banyak dari penghasilan mereka, para mantan selebritis itu.

Musti diakui, kehidupan selebritis yang glamour, mewah dan mentereng telah berhasil menyihir banyak orang di republik ini. Ribuan bahkan mungkin jutaan orang pernah punya mimpi yang sama untuk ikut-ikutan mencicipi kehidupan ala selebritis. Popularitas dan kemewahan adalah perpaduan yang sangat komplit untuk melepaskan mereka dari belitan beban hidup.

Mengetahui mimpi yang sangat besar itu, para kapitalis – dalam hal ini pemilik stasiun televisi- kemudian berlomba-lomba membuat ajang berkedok pencarian bakat. Ajang yang ujung-ujungnya hanya jadi tambang uang untuk membengkakkan pundi-pundi mereka.

Nama dan kedok yang dipakaipun beragam, mulai dari Akademi-akademian, Idol-idolan, mama-mamaan, atau apalah namanya. Muaranya semua sama. Rupiah yang menggelembung dari SMS para penonton.

Tanpa sadar, para peserta dan penonton menjadi obyek bagi mereka-para kapitalis itu-untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Tanpa sadar pula, mimpi-mimpi para peserta tergadaikan dalam sebuah budaya instan. Memang ada beberapa yang berhasil lolos dari perangkap ini. Ada beberapa orang yang kehidupannya kemudian betul-betul berubah, dari hanya seorang biasa yang tak terkenal dan hidup sederhana menjadi seorang selebritis yang populer dan hidup nyaman.

Namun, bila ingin menelisik lebih jauh maka mungkin kita bisa menemukan kalau jumlah yang kurang beruntung bisa jadi lebih banyak dari yang beruntung. Sayangnya, orang lebih gampang mengambil contoh pada yang berhasil daripada berkaca pada yang gagal. Dan sialnya lagi, ada yang sampai berani berutang banyak hanya untuk mengejar mimpi yang sebenarnya hanya kedok dari para pencari untung itu.

Semoga kisah Ian Kasolo dan para selebriti gagal lainnya bisa menjadi cermin bagi orang banyak untuk lebih selektif dalam mencari jalan untuk mengejar mimpi mereka. Sesuatu yang didapat dengan sebuah perjuangan panjang dan berliku tentu akan lebih memuaskan dan lebih tahan lama dibandingkan sebuah mimpi yang diretas lewat jalan instan, apalagi sampai mengorbankan diri pada yang namanya jeratan utang.

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (8)

  1. Saya membacanya dgn sedih..membayangkan Ian Kosolo tidak lagi dgn gemerlap eluk2an yang pernah dialaminya. 🙁
    Menyedihkan..lebih baik bermimpi di siang bolong, setidaknya hanya ditertawai karena mengigau yang gak2. Ketimbang, harus diiming2i dgn rupa2 indah, tapi sifatnya sesaat. Habis rupiah, habis dikuras oleh kapitalisme media, habis pula bermimpinya. Terbangun bukan tawa yang menyapa, tapi kebangkuratan materi dan asa.

    Yah, beginilah wajah Indonesia kita.. Pathetic

    *setelah hibernatus dari dunia blogging, munculka’ lg Daeng..apa kabar ? 😉

  2. saya membacanya juga,
    dengan prihatin tentu saja. yg menyedihkan ada semacam ‘pembelaan’ atawa ‘cuci tangan’ dari kalangan produser acara ini, yg mem-blame para bekas seleb karena kecerobohan (baca: kebodohan) mereka sendiri yg rela berutang sana-sini demi boom sms…
    in terms of education, fenomena ini sangat memprihatinkan.
    ibaratnya orang sudah bodoh dan miskin, terus dijerumuskan ke lubang sumur…

    masih mending kalau sumur basah, ini sumur kering yg dari atas tampak fatamorgana…
    🙂

  3. […] Total uang yang dikeluarkannya untuk membeli pulsa adalah sebesar Rp. 30 juta […]

    iya tuh..sekarang mana gaung afi.>???
    mati ????

    artis kok karbitan..???
    kyk mangga aja…hehhe

  4. iyah pak..
    khie juga dulu sempat membaca dibeberapa milis hal yang kayak gitu (kisah AFI)

    miris memang…
    klo yang emang orang tuanya kaya sih gpp…
    tapi klo yang sampai berutang…dan gak juara pula…apa gak ‘ngenes’ tuh kehidupan mereka sesudah itu?!

    itulah mungkin klo mau terkenal dengan cara instant

  5. fyuhhh..
    untung saya gagal jadi seleb sebelum sempat mengeluarkan duit..
    hehehew..

  6. Ellias McMunny

    kalo 30 juta, mending usaha jadi seleb blog.. dijamin mencukupi dan insya Allah bakal balik modal!!! lebih malah… hihihi..

  7. Ellias McMunny

    trus, ada lagi satu… ada teman saya yang ngomong.. dia bilang “Sekarang, Kalo mau jadi seleb, jadilah banci…”

    liatmi sekarang…

    banci2 semakin populer… bukannya sirik, TV itu adalah media promosi yang bisa menebar doktrin secara tidak langsung.. bayangkanmi kalo orang dicekoki suguhan acara yang menampilkan popularitas banci2… apalagi kaum “homoseksual”… (saya memang sengaja tidak mencantumkan kata “-maaf-“)

    hal-hal perusak moral seperti itumi yang semakin lama akan dianggap biasa karena seringnya…

    atau mending kita jadi bangsa banci saja???

  8. kasian banget ya.. boleh bermimpi tp jangan menyulit kan diri..

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.