Random Post

Jelajah Rempah di Tanah Gemah

Sebagian kecil rempah Indonesia
Sebagian kecil rempah Indonesia

 

So the next time you go to shake a little black pepper on your steak, perhaps you will pause and reflect a moment on how you came to be eating what you are. It may come from a plastic bottle on the supermarket shelf, but it took a long, convoluted route to get there. ~ The Lure and Lore of Spices.

KEMARIN SIANGsaat sedang asyik menyantap makan siang, tiba-tiba kunyahan saya terhenti. Ada satu benda kecil yang ikut terkunyah, rasanya agak pedas dan sedikit pahit. Rasa itu sangat akrab di lidah, dan benar saja dugaan saya. Ternyata cengkeh! Saya berpikir sejenak, pantas saja sayur sup ini terasa lebih nikmat dari biasanya. Bahkan sayur sup yang bening dan terlihat sederhana itupun tak bisa lepas dari rempah.

Begitulah, rempah sudah masuk ke aliran darah orang Indonesia pada umumnya. Menemukan makanan dengan rempah berlimpah adalah hal yang mudah di negeri ini. Mencari rempah dalam bentuk selain makanan adalah hal yang sama sekali tak sulit. Minuman rempah, obat-obatan dari rempah, parfum dengan bahan rempah sampai kretek yang juga bercampur dengan rempah. Rempah adalah bagian hidup sebagian besar orang Indonesia.

*****

JEJAK REMPAH di Nusantara sudah ada bahkan sejak jaman sebelum Masehi. Abad 65SM, orang Tiongkok sudah menggunakan rempah yang didatangkan dari negara tropis yang disinyalir adalah rempah dari Nusantara. Ketika itu orang Eropa belum sadar betapa berartinya rempah. Kelak ketika orang Syria mulai membawa rempah ke daratan Eropa barulah mereka sadar betapa komoditi dari negara tropis itu bisa mengubah peradaban begitu rupa.

Nafsu menguasai rempah itu pula yang membawa Vasco Da Gama menyeberang lautan dan untuk pertama kalinya menemukan jalur laut dari Eropa ke Asia, tepatnya ke Calcut di India tepat tanggal 21 Mei 1428. Jalan yang dirintis Vasco Da Gama dengan segera membuka lembar sejarah baru bernama kolonisasi dengan rempah dan agama sebagai sumbunya.

10 Agustus 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis di bawah pemerintahan Alfonso Alburqueque dan berikutnya Tidore, Ternate, Halmahera dan pulau lain di Nusantara segera jadi sasaran. Portugis tidak sendirian, di belakang mereka ada Spanyol, Inggris dan tentu saja Belanda yang juga berhasrat sama; menguasai rempah dengan cara monopoli.

Peta Maluku tahun 1707 (sumber: princeton.edu)
Peta Maluku tahun 1707
(sumber: princeton.edu)

Belanda adalah aktor utama monopoli dan kolonisasi rempah di kepulauan Nusantara. Dengan kekuatan teori bisnis kapitalis dan armada perang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) satu persatu pulau penghasil rempah jatuh ke tangan Belanda. Pun dengan jalur perdagangan rempah yang sebelumnya adalah milik bersama. Belanda sangat menjaga monopoli mereka atas rempah, termasuk kerahasiaan rempah dari Maluku.

Saya tak hendak berpanjang-panjang pada cerita sejarah yang bisa kita temukan di banyak literatur tentang rempah. Buat saya, rempahlah yang jadi pupuk untuk menyuburkan kolonisasi negara-negara Eropa di Nusantara. Tapi ini juga berarti kalau rempahlah yang menyatukan pulau-pulau di Nusantara dalam satu panji merah-putih setelah melalui proses berabad-abad dan menyatu dalam satu pergerakan. Tanpa rempah, Indonesia mungkin tidak akan pernah ada.

*****

HARI INIrempah sudah bukan barang mewah lagi, tak seperti dulu di abad ke-15 ketika harga sekarung buah pala yang merupakan salah satu jenis rempah sama dengan harga satu apartemen mewah di London plus perawatannya selama dua tahun. Sekarang, monopoli rempah bukan lagi milik pulau-pulau di Maluku. Bibit rempah sudah bisa dibawa dan ditanan di negeri mana saja, tak seperti ketika patroli Belanda menjaga ketat kepulauan Maluku demi mencegah bibit rempah diselundupkan.

Rempah memang bukan barang mewah lagi, tapi ketergantungan kita akan rempah masih tetap ada dan akan terus ada.

Lalu, cukupkah kita membiarkan rempah menjadi sekadar komoditas yang ditanam, dijaga, dipetik dan dijual hingga ke luar negeri?

Memang ekspor Indonesia untuk jenis rempah sangat besar. Pada tahun 2010, nilai ekspor rempah-rempah Indonesia mencapai 211,910 juta dolar AS dan bahkan diperkirakan nilai ekspor tanaman rempah Indonesia mencapai angka 9% dari total perdagangan dunia. [sumber]. Tapi, kalau rempah bisa dijadikan komoditi wisata, kenapa tidak?

Sekira 5 tahun belakangan ini sektor pariwisata Indonesia memang berkembang pesat. Tahun 2013 sektor pariwisata Indonesia menyumbang devisa 10.05 miliar dollar atau naik 9.2% dari tahun sebelumnya [sumber]. Nilai ini datang dari kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan lokal yang membanjiri objek wisata alam, wisata budaya dan wisata buatan di Indonesia meski tentu saja wisata alam masih menjadi primadona.

Tapi, bagaimana mengawinkan rempah dan wisata?

Terpikir dalam benak saya tentang sebuah cultual trip atau wisata budaya bertema rempah. Saya menyebutnya jelajah rempah. Cultural trip atau wisata budaya memang masih kalah peminat dibanding wisata lain seperti wisata alam atau wisata buatan misalnya. Ketika tahun lalu saya terpilih menjadi peserta cultural trip di Madurapun awalnya saya pesimis. Akankah cultural trip akan sama menyenangkannya dengan wisata alam?

Dan ternyata saya salah karena sudah pesimis duluan sebelum memulai. Cultural trip bisa sangat menyenangkan bila dikelola dengan baik. Dan ide inilah yang terlintas ketika berbicara tentang rempah. Kenapa tidak? Kita bisa menggelar sebuah agenda wisata yang menelusuri alur rempah dari hulu hingga hilir, dari kebun hingga meja makan, dari sejarah hingga realitas.

foto: dari berbagai sumber |desain: iPul Gassing
foto: dari berbagai sumber |desain: iPul Gassing

Kita bisa turun langsung menengok kebun rempah, mencecap kehidupan petani rempah yang kadang tak senikmat makanan yang penuh dengan rempah. Para petani cengkeh misalnya, di balik harga cengkeh yang begitu menggiurkan mereka pernah merasakan perihnya monopoli oleh bangsa sendiri ketika distribusi cengkeh harus melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Kala itu harga cengkeh jatuh hingga Rp. 2.000- Rp. 3.000 per kilogramnya. [Ekspedisi Cengkeh, 2013]

Dari petani kita bisa ikut menelusuri distribusi perdagangan rempah hingga hadir di pasar dan siap diangkut ke dapur atau ke pabrik. Di hilir tentu saja kita bisa menikmati bagaimana rempah sudah jadi bahan yang mampu menambah selera makan, menyempurnakan kenikmatan makanan, menjadi obat atau bahkan menjadi pewangi tubuh dan pakaian.

Oh, jangan lupa betapa akan menyenangkannya cerita-cerita sejarah di balik semua jenis rempah di negeri ini. Tentang orang-orang Eropa yang berani menyeberangi lautan berbulan-bulan hanya untuk bisa mendapatkan rempah langsung dari tanah produksinya atau tentang gesekan antar kerajaan di Nusantara yang berakar pada rempah. Cerita sejarah ini tentu akan lebih lengkap bila menengok jejak-jejak peninggalan orang Eropa di tanah gemah rempah ini.

Pelengkap lain dari jelajah rempah di tanah gemah ini adalah menyaksikan pesta atau ritual adat yang menggunakan rempah sebagai salah satu unsur pentingnya. Di Halmahera Barat, hasil panen rempah dirayakan warga dengan pesta makanan adat selama 7 hari 7 malam atau yang disebut Horum Sasadu. Di dalam kebiasaan warga Batak Simalungun, rempah tuba digunakan sebagai bumbu pelengkap dalam upacara adat yang bernama mamokkot jabu.

Sungguh, rempah adalah kekayaan Nusantara yang sayang untuk dinikmati hanya sekadar sebagai bumbu masakan atau bahan obat-obatan atau bahan pewangi saja. Kita perlu?mengenalinya, sebelum ada negara lain yang dengan lantang mengakuinya sebagai kekayaan negeri mereka.

Jelajah rempah tentu akan membuka mata kita betapa rempah adalah Mahakarya Indonesia. Gemah rempah mahakarya Indonesia adalah kekayaan yang tak terperi. Kalau orang Eropa saja berani datang, menentang bahaya dengan menyeberang samudera berabad-abad yang lalu demi rempah, lalu kenapa kita tak hendak mencari tahu tentangnya? Mengorek sendiri kisah di baliknya dan kemudian mensyukuri bagaimana rempah telah menyatukan kita dalam satu negeri bernama Indonesia. [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.