Warna-Warni Lombok
Akhirnya saya kembali lagi ke Lombok.
Berbeda dengan pertemuan pertama, pertemuan kedua ini lebih berwarna. Saya tiba di Lombok melalui perjalanan udara, berbeda dengan situasi empat bulan lalu ketika anak Rinjani sedang batuk yang membuat saya harus menempuh perjalanan ke Lombok via Bali dan menyeberang dengan feri. Kali ini perjalanan ke Lombok dimulai dari Makassar, diawali dengan insiden tidak terbangnya GA dan terpaksa harus berganti ke JT.
Tadinya saya kira perjalanan ke Lombok akan memakan waktu yang cukup lama, mungkin sekira 1.5 jam. Tapi ternyata tidak, perjalanan ke Lombok dari bandara Sultan Hasanuddin hanya memakan waktu kurang dari satu album Love Is A Four Letter Word-nya Jason Mraz. Jason masih menyanyi di kuping ketika saya merasa ada yang tangan menyentuh lengan saya. Rupanya pramugari, dia membangunkan saya karena sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Lombok Praya.
Bandara Lombok Praya terletak di Lombok Tengah, sekira 30 km dari kota Mataram yang jadi pusat keramaian pulau Lombok sekaligus ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat. Pulau Lombok yang luasnya sekira 5.435 km2 ini terbagi atas empat kabupaten dan satu kota. Masing-masing adalah Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur serta kota Mataram.
Dari keempat kabupaten dan kota itu, Kabupaten Lombok Timur adalah yang paling luas dan paling padat. Konon pernah muncul wacana untuk memekarkannya dan membuat satu lagi kabupaten yaitu Lombok Selatan. Tapi sampai sekarang wacana itu belum direalisasikan.
Kalau dalam kunjungan sebelumnya saya menginap di Selong, ibu kota Lombok Timur, maka kali ini saya menginap di Mataram, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota Mataram lumayan ramai dan maju. Setidaknya ada tiga mall besar yang berdiri di dalam kota ini. Mall selalu saya jadikan patokan modern tidaknya sebuah kota. Mungkin saya salah, tapi saya realistis saja. Kota yang punya mall –apalagi besar dan ramai- berarti kota yang cukup modern. Meski modern belum tentu nyaman, berkaca pada kota asal saya; Makassar.
Malam pertama di Mataram saya lewati dengan menikmati sajian kuliner khas Lombok. Apalagi kalau bukan ayam taliwang dan kangkung plecing. Bersama kawan lama yang sudah jadi warga Mataramam; Mustamar Nasir dan istrinya serta Rani anaknya yang ceriwis, kami menghabiskan malam di warung ayam taliwang pinggir jalan. Meski pinggir jalan, rasanya tetap lezat. Ini ayam taliwang terlezat yang pernah saya cicipi. Di kunjungan sebelumnya saya sempat menikmati ayam taliwang juga, tapi rasanya kalah jauh dengan santapan malam itu.
Negeri 1000 Masjid
Lombok sudah mulai terkenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang punya banyak potensi wisata. Dari wisata alam, budaya, religi sampai sejarah. Orang Lombok mayoritas berasal dari susu Sasak. Suku yang menyerap banyak pengaruh dari luar, entah dari Bali, Jawa maupun Makassar. Sejarah panjang orang Sasak memang memungkinkan mereka menerima banyak pengaruh dari luar, dari kerajaan-kerajaan lain yang menjalin hubungan. Baik hubungan dagang maupun hubungan berbau penaklukan.
Kalau sepintas mendengarkan orang Lombok mengobrol dalam bahasa Sasak maka rasanya seperti mendengarkan orang Bali yang berbicara. Logat mereka sedikit mirip, apalagi dengan pengucapan huruf “T” yang khas. Beberapa kata dalam bahasa Sasak juga mirip dengan bahasa Bali dan Jawa. Mereka juga menyebut diri dengan “tiang” seperti orang Bali dan menggunakan “nggih” untuk mengatakan “iya” seperti orang Jawa.
Sebagian wilayah Lombok pernah jatuh ke dalam pemerintahan kerajaan Gel Gel di Bali. Asimilasi ini membuat sebagian Lombok juga dihuni oleh orang Bali beragama Hindu secara turun temurun. Sebagian besar lainnya beragama Islam meski aslinya sebenarnya juga beragama Hindu karena sebelum abad ke-16 Lombok dikuasai oleh kerajaan Majapahit. Akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, Lombok mulai menerima ajaran Islam yang dibawa oleh Sunan Giri. Sejak saat itu warga Lombok kemudian mayoritas dihuni oleh pemeluk agama Islam yang taat.
https://www.instagram.com/p/BCgwXM0L3XP/?taken-by=ipulgs
Satu hal yang membedakan Lombok dengan daerah lain yang juga dihuni mayoritas muslim adalah mudahnya menemukan masjid di sekujur Lombok, utamanya di kota-kota besar. Lombok memang terkenal sebagai pulau dengan 1000 masjid. Masjid sudah jadi kebanggaan setiap kampung, bila mampu membangun masjid yang besar berarti meningkat juga gengsi kampung tersebut. Makanya, di sepanjang jalan kita sangat mudah menemukan masjid yang rata-rata didesain cukup besar dan megah.
Selain itu mudah sekali menemukan pondok pesantren di Lombok. Sebagai salah satu bukti ketaatan orang Lombok memeluk agama Islam. Tapi meski dihuni mayoritas muslim, Lombok (setidaknya kota Mataram) hampir mirip dengan Bali, kita juga mudah menemukan pura atau rumah yang desain arsitekturnya khas Hindu Bali. Orang Lombok bilang; apa yang dipunyai Bali juga dipunyai Lombok, tapi apa yang dipunyai Lombok belum tentu dipunyai Bali.
Wisata dari Gunung ke Laut.
Lombok memang termasuk lengkap kalau bicara tentang wisata alam. Kontur alamnya gabungan antara gunung dan pesisir pantai dengan luasan yang tidak terlalu besar sehingga mudah dijangkau. Semua pasti sudah tahu kalau di atas tanah Lombok berdiri tegap perkasa sebuah gunung berapi beranam Rinjani. Gunung ini jadi tujuan pendakian para penggemar aksi naik-turun gunung. Bukan hanya orang Indonesia, tapi juga orang dari luar negeri.
Selain gunung, Lombok juga terkenal dengan pantainya. Pernah mendengar Gili Trawangan dan pantai Senggigi bukan? Itu hanya dua dari sekian banyak destinasi wisata laut di Lombok. Pantai-pantai indah berjejer dari sebelah barat ke utara, sampai ke timur dan memutar ke selatan. Dari udara saja saya sudah bisa melihat pesisir selatan pulau Lombok dengan pantai-pantainya yang aduhai.
https://www.instagram.com/p/BCjVSnyL3XK/?taken-by=ipulgs
Di hari kedua saya dan teman-teman rombongan menuju ke Lombok Utara. Perjalanan ke sana menyenangkan karena melewati punggung bukit yang berkelok. Sepanjang jalan warna hijau pepohonan menyejukkan mata, belum lagi ditambah dengan segerombolan monyet liar yang menunggu di tepi jalan. Monyet-monyet itu bercengkerama dengan sesamanya sambil sesekali berebutan makanan yang dilempar oleh pengguna jalan. Daerah itu bernama Pusuk, tak seberapa jauh dari kota Mataram ke arah utara.
Pulang dari tujuan kami berputar melewati tebing dan tepian pantai. Kali ini pemandangan berganti, dari hijaunya pepohonan menjadi birunya laut. Benar-benar pemandangan yang memanjakan mata, membuat perjalanan yang sebenarnya cukup melelahkan itu jadi tidak terasa.
https://www.instagram.com/p/BCjVwOzr3YG/?taken-by=ipulgs
Di hari berikutnya kami sempat beristirahat beberapa jenak dan menikmati makan siang di tepi pantai Nipah. Makan siang yang berbahaya karena saya harus bertarung hebat melawan desiran angin laut yang sejuk di tengah hari yang panas. Sensasi yang luar biasa, perpaduan antara pemandangan yang aduhai dengan ikan laut yang alamak lezatnya.
Di hari ketiga makan siangnya kembali berbeda. Kali ini kami makan siang di tepian sawah di atas kolam ikan di Lombok Timur. Belum lagi makanan datang, hujan turun dan membawa suasana syahdu yang menenangkan. Sejauh mata memandang hanya ada warna hijau pepohonan dan lereng bukit serta sawah yang menghampar. Rinai hujan seperti bersahut-sahutan ditimpali kabut tipis yang turun. Benar-benar dua makan siang yang berbeda 180 derajat tapi menghaasilkan kesan yang sama; menyenangkan!
https://www.instagram.com/p/BCmU3i_L3fT/?taken-by=ipulgs
Tidak cukup empat hari untuk merasakan sensasi pedasnya tanah Lombok. Apalagi empat hari itu judulnya adalah kerja. Semoga kelas saya masih akan kembali lagi ke Lombok, merasakan sensasi lain dari pulau itu. Karena Lombok memang sangat berwarna dan sangat mengundang rasa ingin tahu.
Doakan saya kembali lagi, Lombok! [dG]
assalamu alaikum dan salam kenal daeng … kalau daeng di awal artikel nya sdh tertulis “Akhirnya saya kembali lagi ke Lombok.” jadi bkin ngiler mau langsung lompat juga ke lombok hehe… smga tahun ini atau tahun depan bisa ke lombok juga… wassalam 🙂
Suka sama ayam taliwangnya, Daeng? Ayo kita ke sana lagi nanti 🙂
Belumpi juga jalan-jalan ke pantai di daerah selatan di’.. Nantilah kalau ada waktu luang lagi. 4 bulan lagi kan ya? Saya juga ndak sabar nunggu palbas 😀