Perjalanan

SEBUAH CATATAN KECIL TENTANG BALI


Sejak hari Jum’at (31/8) hingga Senin (3/9) kemarin, saya dan 17 orang teman lainnya mendapat kesempatan mengunjungi pulau Bali atas biaya kantor. Kantor kami memang termasuk murah hati dalam soal memberikan kesempatan kepada karyawannya untuk berekreasi. Tahun ini adalah rombongan ketiga karyawan Baruga yang berangkat ke Bali. Rombongan pertama berangkat September 2005, berikutnya tahun 2006, dan terakhir tahun ini. Rombongan kami meninggalkan bandara Hasanuddin sekitar pukul 9.40 pagi dan tiba di bandara Ngurah Rai sejam kemudian.

Seorang lelaki berumur sekitar 40-an tahun dengan sikap yang bersahaja menyambut kami di bandara. Bapak bernama Nyoman inilah yang kemudian mengantar kami mengunjungi berbagai obyek wisata selama 4 hari 3 malam. Orangnya sederhana dan cepat akrab, dengan lancar dia juga melafalkan beberapa ungkapan dalam bahasa Makassar seperti cipuru’, bassoro’ dan annyamang. Tampak sekali beliau mencoba lebih cepat mengakrabkan diri kepada kami tamu-tamunya.

Saya pribadi belum pernah ke Bali sebelumnya, tapi entah kenapa saya tidak terlalu bersemangat. Bali tidak pernah masuk terlalu jauh dalam daftar tempat yang ingin saya kunjungi, setidaknya bukan di urutan pertama dan belum mengalahkan Jogja yang selalu saya rindu. Alasan lainnya, saya cukup berat meninggalkan Nadaa hanya berdua di rumah bersama bundanya. Sejenak saya merasa tidak adil, meninggalkan mereka untuk bersenang-senang. Tapi saya juga tidak dapat menolak, jika itu terjadi saya pasti akan menyinggung perasaan banyak orang, dan saya pun pastinya akan dicap sombong karena menolak rejeki. Jadi, saya usahakan saja menikmati waktu yang ada, walaupun pikiran itu tetap mengganggu.

Bali adalah sebuah pulau yang menjadi persimpangan tempat bertemunya berbagai budaya. Penduduk lokal masih tetap teguh memegang budaya Hindu- Bali sementara buadaya Barat-Moderen juga makin banyak mempengaruhi Bali. Bali adalah titik pertemuan antara laut yang indah dan pegunungan yang menakjubkan. Saya bisa langsung mengerti kenapa orang-orang banyak yang menempatkan Bali sebagai tujuan utama mereka berwisata di Indonesia. Beragam alasan bisa jadi pembenaran, dan itu saya rasakan sendiri.


Dalam masa efektif yang hanya 3 hari kami mengunjungi berbagai tempat wisata. Hari pertama begitu turun dari bandara perjalanan dimulai dari wisata belanja di Joger yang terkenal itu, mengunjungi proyek prestisius Garuda Wishnu Kencana yang belum rampung, Dreamland yang dipenuhi bule-bule eksebhitionist, danberakhir dengan menikmati sunset di Jimbaran yang indah. Hari kedua kami dijemput untuk menyaksikan pertunjukan barong di Galuh-Gianyar, belanja hasil kerajinan batik Bali, menengok indahnya danau Batur dan Kintamani, mengunjungi Tampak Siring yang terkenal dengan mata air sucinya di mana sebagian orang percaya mata air tersebut punya kekuatan untuk menyembuhkan dan memperlancar jodoh. Akhirnya perjalanan hari kedua ditutup dengan belanja gila-gilaan di pasar Sukawati. Akhir perjalanan yang bikin saya stress, saya akan langsung menyerah bila berhadapan dengan acara tawar menawar barang dengan pedagang. Barang yang ditawarkan seharga Rp. 45.000,- niscaya akan saya tawar paling rendah Rp. 20.000,-. Namun ternyata di tangan cewek-cewek yang jadi andalan saya dalam menawar, harga tersebut bisa jatuh hingga Rp. 10.000,- atau paling sial Rp. 12.500,-, ah…saya kagum sama determinasi dan ketabahan para wanita itu dalam menawar. Sesuatu yang tidak saya miliki.

Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat perilaku para wanita yang berbelanja hingga hitungan jutaan. Mereka seakan-akan kalap setiap kali menemukan pedagang di setiap objek wisata dan factory outlet yang menawarkan diskon. Puncaknya di pasar Sukawati. Hitungan kasar saya, selama 4 hari di Bali total belanjaan para wanita rombongan kami yang berjumlah 10 orang mencapai angka 12 juta rupiah, belum termasuk angka belanjaan kaum lelaki yang mungkin hanya setengahnya. Hobi belanja sekaligus menawar hingga serendah mungkin ini juga yang kadang membuat waktu kunjungan ke objek wisata kadang jadi molor dan tidak sesuai rencana.

Di hari ketiga kami diajak mengunjungi Tanjung Benoa, Nusa Dua. Di sana saya dan beberapa teman sempat mengunjungi Pulau Penyu, tempat penangkaran Penyu dan beberapa hewan-hewan lainnya. Tapi puncak kesenangan saya hari itu adalah saat menikmati parasailing. Permainan yang menguji keberanian ini sangat berkesan buat saya pribadi. Harganya mungkin agak mahal, Rp. 80.000,- untuk sekali main dengan durasi tidak lebih dari 3 menit. Speed boat yang menarik kami hanya berputar sekali dengan diameter perputaran yang tak lebih dari 20 meter. Tapi kesan dan pengalaman yang saya dapatkan rasanya membuat harga yang dibayar menjadi impas. Saat saya berada di ketinggian kurang lebih 50 meter di udara, saya bisa berteriak kencang, sesuatu yang sepertinya susah dilakukan di darat jika anda tidak ingin dicap sebagai orang gila.

Selesai di Tanjung Benoa, kami melaju menuju Bedugul. Sekali lagi pemandangan danau Bedugul yang indah serta deretan pura yang menjadi gambar hiasan di lembar uang Rp. 50.000,- membius kami. Tak terhitung berapa kali kami menjepretkan kamera demi mengabadikan momen tersebut. Tingkat narsisme anggota rombongan kami mungkin agak tinggi, seorang teman sampai tak peduli lagi rasa sakit di pinggangnya akibat terpelesat di perahu saat ke Pulau Penyu hanya demi mengabadikan fotonya. Berbagai gaya mereka tunjukkan, dari gaya yang standard, hanya berdiri tegak tanpa senyum hingga bergaya bak foto model. Narsis habis deh, pokoknya….saya sekali lagi hanya bisa geleng-geleng kepala. Tapi tak apalah, toh Narcism it is not a crime…

Alas Kedaton dan monyet-monyetnya yang terkenal itu jadi tujuan selanjutnya. Sebagian teman memilih tinggal di bis atau langsung menyatroni pedagang di seputaran lokasi wisata daripada masuk ke lokasi dan bertemu monyet-monyet lucu tapi nakal tersebut. Di tempat ini saya agak “tertipu” oleh para guide lokal. Sekumpulan wanita dengan seragam kaos berwarna biru mengantarkan kami berkeliling sambil menjelaskan sedikit tentang Alas Kedaton dan monyet-monyetnya. Setelah puas, mereka kemudian menggiring kami ke kios-kios dagangan mereka. Ternyata mereka ini berprofesi ganda, pemandu wisata merangkap pedagang. Tadinya saya mengira mereka hanya sekedar menujukkan kios dan berharap fee dari setiap transaksi yang terjadi, tapi menurut pak Nyoman, kios itu adalah milik mereka. hmmm…unik juga. Di tempat ini juga, kamera digital saya cacat terkena pagar besi gara-gara saya panik saat mempertahankan MP3 player yang berusaha direbut seekor monyet dari tas pinggang saya.

Akhir perjalan kami hari itu berhenti di Tanah Lot,beberapa saat menjelang turunnya matahari. Hari itu Tanah Lot cukup ramai, maklum hari Minggu. Ratusan orang dari berbagai suku bangsa memadati salah satu tempat pemujaan yang terkenal di Bali itu. Kami sempat mendengarkan penjelasan dari pak Nyoman tentang asal muasal Tanah Lot, serta sempat pula menyaksikan keberadaan 3 ekor ular suci disalah satu gua. Sebagian teman-teman malah sempat membasuh muka dan berdoa di mata air suci yang tetap tawar walaupun berada di kawasan pantai. Tanah Lot sedang surut waktu kami berkunjung, sehingga kami bisa dengan leluasa berjalan-jalan di sekitar tebing. Sayang matahari tertutup awan tebal saat itu sehingga kami urung meyaksikan sunset yang indah.

Senin pagi, kami bersiap-siap meninggalkan Bali. Jumlah barang bawaan akhirnya membengkak sangat besar. Saat baru datang kami membawa 18 buah tas yang dibagasikan, ketika pulang jumlah bagasi bertambah menjadi total 39 buah barang. Dua di antaranya bahkan berupa kardus TV 21”. Fantastis bukan…?, dan pemegang rekor belanja terbanyak urutan 1 hingga 4 dipegang oleh kaum perempuan, hanya ada dua kaum pria yang berhasil merusak dominasi kaum wanita dalam berbelanja dengan masuk ke urutan 5 dan 6. Mungkin perhitungan saya agak kurang tepat, tapi setidaknya saya yakin jika urutan 1-4 itu tidak salah lagi. Total pembelanjaan hingga akhir perjalanan kami mungkin saja menyentuh angka 20 juta rupiah. Hmm…bisa dibayangkan berapa banyak devisa yang ditangguk pemerintah daerah Bali hanya dari kunjungan 4 hari saja.

Bagi saya pribadi, wisata ke Bali ini masih menyisakan rasa kurang puas. Waktu yang ditawarkan terlalu mepet sementara tujuan wisata yang dikunjungi agak banyak, sehingga saya rasanya kurang puas menikmati setiap objek wisata. Setidaknya ada 2 tempat yang manurut saya kurang dieksplorasi, Bedugul dan Tampak Siring. Jika bisa, rasanya saya masih ingin berlama-lama di sana mengikuti prosesi penduduk asli Bali yang sedang bersembahyang atau yang sekedar mencari berkah di air suci.

Ada 3 pengalaman yang paling berkesan bagi saya. Pertama adalah saat menikmati pertunjukan barong. Awalnya saya agak pesimis dengan pertunjukan ini, saya taku bosan dan tertidur. Bahkan saya-yang ditunjuk sebagai ketua rombongan-nyaris saja membatalkan kunjungan ini. Tapi setelah menyaksikan sendiri, saya ternyata menyukainya hingga tanpa sadar saya mengagumi harmonisasi yang ditunjukkan para penari dan pemusik yang sebagian sudah berusia lanjut. Saya kagum pada dedikasi mereka yang tetap bersemangat melestarikan budaya Bali-Hindu hingga mampu menarik minat para bule-bule. Pengalaman mengesankan yang kedua adalah saat berparasailing, saya bisa merasakan debaran jantung yang lebih cepat dari debaran yang normal, bisa merasakan darah yang berdesir jauh lebih cepat, dan ujung-ujungnya merasa puas dan lega saat bisa mendarat kembali di tanah. Pengalaman mengesankan ketiga adalah saat bertarung dengan para pedagang di pasar Sukawati hanya demi mencari harga yang pas. Adduhhh….!!!,kalau ingat lagi rasanya stress banget. Kondisi pasar yang ramai namun sempit ditambah alotnya acara tawar menawar harga membuat saya cepat menyerah. Ujung-ujungnya saya hanya duduk di taman, menjaga barang teman-teman yang lain sementara mereka masih tetap bersemangat untuk bergerilya mencari barang pilihan mereka.

Secara umum saya bisa katakan kalau Bali memang indah. Mereka sangat pandai menjaga tradisi asli mereka dan tidak membiarkannya tergerus tradisi barat yang dibawa para turis. Mereka juga sangat pandai menjaga kebersihan, ketertiban dan keamanan demi kenyamanan para pengunjung. Untuk yang ini, saya bisa merasakannya langsung. Jalan-jalan di Bali yang relatif lebih kecil dari jalan-jalan di Makassar jarang terkena macet karena tertibnya para pengemudi. Trotoar tempat pejalan kaki juga sangat jarang berhiaskan sampah, dan malam hari saat saya dan 4 orang teman berjalan kaki menembus lorong-lorong kecil dari Legian menuju pantai Kuta tak ada rasa khawatir sedikitpun bakal kena palak atau kena copet padahal waktu sudah hampir tengah malam.

Selama di Bali saya selalu berandai-andai, kapan Sulawesi Selatan bisa seperti itu. Secara subyektif saya bisa katakan kalau pantai Kuta,Nusa Dua, Sanur bahkan Dreamland tidak lebih indah dari Tanjung Bira dan Takabonerate, pasirnya malah kalah putih hanya saja mereka menang diombak yang lebih besar karena menghadap langsung ke samudera luas. Bedugul dan Kintamani tidak lebih indah dari Malino, Kanreapia, atau bahkan Buttu Kabobong, dan secara keseluruhan Tana Toraja sama eksotisnya dengan Bali. Perbedaan terbesarnya mungkin adalah bahwa mereka mampu menjaga dan merawat segala keindahan alam beserta budaya peninggalan nenek moyang mereka, sementara kita di Sulawesi Selatan malah banyak yang justru merusak semua anugerah Tuhan itu. Mereka banyak menghamburkan uang demi membangun kawasan wisata dan fasilitas publik yang mungkin break event point-nya butuh waktu lama, beda dengan pemerintah sini yang lebih intens membangun pusat perbelanjaan berskala besar yang siap merebut fasilitas publik hanya karena faktor pengembalian modal dan perolehan keuntungan yang lebih cepat.

Sayang sebenarnya, karena bagaimanapun Sulawesi Selatan punya potensi untuk bisa seperti Bali. Potensi yang saya kira banyak tersia-siakan selama ini. Yah,semoga saja siapapun yang menang di Pilkada nanti bisa memanfaatkan potensi ini.

Berikutnya, saya koq makin pengen mengunjungi Papua dan Lombok yang konon alamnya masih sangat perawan. Tapi di atas segalanya saya pengen kembali ke Jogja, kota yang selalu saya rindukan…entah kapan…

 

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (5)

  1. Mohammad Helman Taofani

    Ooo..fantes semped absen beberapa lama dari dunia perbloggingan. Hehehehe.

  2. isnuansa_maharani

    hhhmm, Bali, baru 2 kali saya ke sana.
    kalo Djogdja, hampir tiap tahun saya ke sana, secara, cuman 30 km-an dari Klaten, kota kelahiranku.
    Lebaran nanti, tunggu cerita saya pulang kampung bang.
    soal vektor, nanti saya kirim fotonya lewat imel. semoga belom ilang moodnya buat bikinin vektornya… trims b4.

  3. @Helman:
    hehehe..yah, lumayanlah bisa relaksasi selama 4 hari, nyari suasana baru…

    @isnuansa:
    Djogdja…?, mau dong…saya palign demen tuh ke djogdja…gak ada bosan2nya….

  4. daeng rusle

    weh tawwa asikna ke pulau dewata…
    sudahmi dikirim ke redaksi utk dipanyingkulkan postingan ini…hahhaha..

    hebab mentonk tawwa saudaraku satu ini…bukanji ini sekedar memuji agar kapujiang…tp mensupport namana ini ces…[sbg tnaggapan utk yg mengatakan pujian skrg mulai overdosis]

  5. @daeng Rusle:

    saya memang rencana mo mem-panyingkul-kan kisah perjalananku ke Bali, tapi bukan yang ini…ada satu angle yang saya mo tulis..masih sementara ditulis belah…

    tengs untuk motivasinya..mudah2an sy ndak sampe kapujiang…:D

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.