Melihat peta

Bagi orang Indonesia, peta tak terlalu penting. Bila tersesat, toh ada GPS. Bukan GPS yang canggih itu, tapi Gunakan Penduduk Setempat alias bertanya

Ada sebuah cerita dalam sebuah episode Bajaj Bajuri, kala itu Bajuri sedang nyambi menjadi supir seorang warga negara asing. Sang majikan minta diantar ke sebuah tempat yang Bajuri sendiri tidak paham arahnya. Berkali-kali sang majikan turun dari mobil dan berbekal peta di tangan dia bertanya ke orang-orang yang dijumpainya. Hasilnya nihil. Tak ada seorangpun yang berhasil mengarahkan sang majikan asal US itu ke tempat yang ditujunya.

Akhirnya Bajuri mengambil alih. Dia ikut turun, dan dengan berbekal arah telunjuk Bajuri paham ke mana arah yang dia harus tuju.

” Terus aja ke sana, ntar dari sono belok ke sana. Di ujung ntar belok lagi ke kanan, terus aja ntar dapet koq”, Begitu petunjuk yang diberikan. Bajuri mengangguk tanda paham.

Tinggallah si majikan bule ternganga.

” Saya sudah tanya orang pakai peta, tapi tak ada yang tahu. Kamu cuma dengan telunjuk saja sudah paham?”, Tanyanya dengan bahasa Indonesia logat Amerika. Bajuri cuma tertawa lepas.

Fragmen di atas adalah gambaran kebanyakan orang Indonesia. Ketika mencari suatu alamat, jangan bertanya menggunakan peta karena dijamin sebagian besar orang Indonesia malah akan kebingungan. Kultur peta belum menjadi kebiasaan di negeri kita. Masih banyak orang yang belum paham bagaimana membaca peta meski pelajaran peta buta sudah diajarkan sejak bangku SD.

Itu pula yang dikatakan oleh Gunther W. Holtrof, seorang warga Jerman yang pernah tinggal lama di Indonesia. Dia mengaku kesulitan karena tidak ada peta kota Jakarta yang benar-benar akurat. Berbekal kegelisahannya itu Gunther bertindak gila. Dia turun sendiri ke setiap jengkal ibu kota, sekaligus kota-kota di sekitarnya. Setiap jengkal jalan, gang dan lorong kecil dia sambangi. Kegilaannya berujung pada sebuah peta kota Jakarta yang sampai sekarang dianggap sebagai peta kota Jakarta yang paling lengkap.

Orang Indonesia memang kurang akrab dengan peta. Ini juga menular ke beberapa orang yang biasa traveling. Hanya sedikit yang terbiasa dengan peta, setidaknya mengintip peta dulu sebelum memulai sebuah perjalanan.

Saya kebetulan orang yang suka peta. Sejak kecil pelajaran geografi adalah pelajaran favorit saya, termasuk peta buta tentunya. Ini terbawa hingga besar. Ketika menunjukkan jalan kepada seorang teman saya biasanya kontan akan mencari selembar kertas dan alat tulis kemudian mencoret-coret di atasnya, membuat peta non skalatis hanya demi menggambarkan arah dengan lebih tepat. Ada yang senang, tapi ada juga yang malah tambah bingung.

Sebelum memulai sebuah perjalanpun saya biasanya menyempatkan waktu untuk melihat-lihat dulu daerah yang akan saya datangi di peta. Setidaknya tahu arah, apalagi kalau saya harus memesan hotel di tempat tersebut. Saya biasanya mempelajari dulu tempat-tempat yang strategis dari hotel itu, utamanya yang bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Ketika tinggal di Jakarta 12 tahun lalu saya dan teman-teman serumah membeli sebuah peta besar Jakarta dan menempelkannya di dinding. Kami yang orang daerah ini selalu melihat peta dulu sebelum keluar, setidaknya kami tahu ke arah mana kami menuju. Sepulang ke rumah kami biasanya akan kembali mengamati rute yang kami tempuh tadi dari peta yang tertempel di dinding. Ini juga yang membuat kami berempat lumayan hapal kota Jakarta meski tidak sampai ke lorong-lorongnya.

Peta itu penting. Orang di negara maju tidak pernah lepas dari peta setiap kali melakukan perjalanan. Bagi mereka jalan tanpa peta sama saja dengan membiarkan mereka sesat meski memang ada beberapa orang yang sengaja melakukannya. Beberapa pelancong bahkan melengkapi diri mereka dengan peta yang lebih modern lengkap dengan GPS yang mampu mengindikasikan dengan tepat posisi mereka di peta. Tentu saja ini sangat membantu.

Bagi orang Indonesia, peta tak terlalu penting. Bila tersesat, toh ada GPS. Bukan GPS yang canggih itu, tapi Gunakan Penduduk Setempat alias bertanya. Hasilnya toh sama saja, tujuan tetap tercapai. Bukan begitu?

Bagaimana dengan anda? Sering menggunakan peta tidak?

[dG]??

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (4)

  1. kami hampir tak pernah menggunakan PETA dalam perjalanan ke tempat yang baru, sudah terbiasa mengandalkan GPS – alat gps beneran 😀 apalagi memang hp2 sekarang sudah menyediakan layanan gratis kan.
    paling TOP waktu ke Bali, kemana2 ya ngandelin GPS hehehe

  2. Masalahnya, …. kalau GPS sering alami gagal loading, maklum daerah yang terpencil biasanya tak dilengkapi data cepat. Akhirnya kembali lagi ke manual, bertanya.
    Yah, secara ngga langsung Mas Daeng cuam mau bilang “GPS’ belum bisa diandalkan 😀

  3. betul Daeng, peta tidak familiar dengan rakyat Indonesia, lebih baik GPS, bertanya… hehehe..

  4. Lomar Dasika

    baru saja saya mengalami kejadian nggak enak dengan menggunakan GPS Google Maps. Saya nyasar ke perkebunan di Desa Sagarahiang, Kelurahan Pekaliwon, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan. Masalanya, mobilnya kebetulan panjang, jalanannya tanah gembur dan posisinya menurun serta terjadi malam hari. btw, Desa Sagarahiang ini nggak jauh posisinya dari Puncak Ceremai, Gunung tertinggi di Jawa Barat. Jadi, nggak usah ditanya bagaimana dinginnya tempat tersebut, yang jelas brrr…..

    singkat cerita, kami berjalan kaki sekitar 2 KM berbalik arah (karena di depan hanya merupakan pematang dengan sedikit sungai) untuk mencari bantuan penduduk setempat. kami terjebak pukul 21.30 dan baru keluar esok harinya sekitar pukul 08.00 karena dibantu didorong oleh penduduk setempat dan tanahnya dicangkul tersebih dahulu. opsi untuk memutar balik kendaraan sama sekali ngga ada karena kanan kiri jalanan tsb merupakan tebing dan kebun. hahaha. bener-bener pengalaman seumur hidup.

    kejadian ini bermula saat saya hendak mencari jalan menuju lokasi ziarah di Kabupaten Kuningan. Dalam perjalanan, saya mendapatkan jalan pintas yang harusnya lebih cepat dan ditunjukkan oleh googlemaps dibanding melalui jalan utama yang pastinya besar, ramai, dan beraspal. ternyata, jalan yang hendak kami lalui di google maps tsb tidak pernah ada. jalan tersebut buntu dan menciut. manusia pun saya nggak yakin bisa melalui jalan tsb.

    entah, terlepas dari keteledoran saya sebagai pembaca gps, atau memang harus dikaitkan dengan hal hal yang berbau mistis, yang jelas, peristiwa ini benar-benar pengalaman yang super berharga yang HARUS TIDAK PERNAH TERJADI di masa yang akan datang.

    komponen utama selamat sampai tujuan adalah : gps + banyak bertanya + suasana siang hari 😀

    mengenai masalah orang kita ga kebiasa dengan peta, mungkin dikarenakan belum ada peta besar mendetail untuk wilayah Indonesia kali yah? peta peta kota-kota di daerah pun kebanyakan merupakan peta untuk keperluan khusus, seperti perkebunan, hasil tambang, atau produk produk yang lain sehingga ngga layak digunakan oleh para wisatawan. produk peta kita saat ini kayaknya pun merupakan swadaya masyarakat yang gerah dengan nggak adanya peta yg layak khan, Daeng? 😀

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.