Perjalanan

Penghuni Dunia Lain

Ketika pagi datang
Ketika pagi datang

Anda percaya kalau di sekitar kita ada mahluk dari dunia lain? Saya percaya, apalagi ketika kita menghabiskan malam di alam terbuka.

Jarum jam sudah melewati angka 12 malam, suasana benar-benar sepi. Bulan menjelang purnama menyiramkan cahayanya, membuat malam yang sepi di Kampung Berua terasa misterius. Cahaya bulan membuat hamparan sawah bekas panen di depan kami terlihat remang-remang tersiram cahaya kekuningan. Di belakang sana deretan bukit batu dan pepohonan tergambar samar-samar. Angin malam berhembus malas membawa aroma yang tak biasa. Aroma alam, aroma tanah yang basah selepas hujan.

Di antara tenda kami berempat duduk berbagi cerita. Ada saya, Tika dan Adnan serta Rama. Empat teman yang lain menyusuri gelapnya malam menuju rumah penduduk terdekat untuk numpang buang air kecil di toilet.

Kami masih asyik bercerita ketika tiba-tiba terdengar suara seperti seorang perempuan yang tertawa terkikik. Suaranya sangat keras sampai-sampai kami berempat terkesiap. Tika yang memang punya kadar ketakutan lebih tinggi langsung merapatkan badannya ke Adnan pacarnya. Saya hanya diam terkesiap, darah terasa mengalir lebih cepat. Jelas sekali suara tadi bukan suara orang biasa, ada aura berbeda dari suara ketawa tadi.

“Bukan apa-apa, itu paling suara orang di rumah sana yang ketawa.” Kata Rama sambil menunjuk satu rumah yang jaraknya saya taksir lebih dari 200 meter dari tempat kami duduk.

“Iyya, paling juga suara yang punya rumah.” Saya menimpali meski terus terang dalam hati saya tidak yakin sama kata-kata saya sendiri.

Di antara kami Rama memang paling sensitif dengan hal-hal supranatural. Dia juga punya sixth sense, bisa melihat penampakan mahluk dari dunia lain. Saya tahu kalimatnya tadi hanya untuk menenangkan kami, utamanya Tika yang saya kira langsung shock.

Malam kemudian berlanjut tanpa kejadian berarti. Kami melanjutkan cerita seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi meski terus terang kejadian tadi membuat saya terus siaga. Jelas kami tidak sendirian di alam terbuka ini.

Ketika akhirnya kami semua masuk ke tenda dan mencoba tidur, bayangan suara tawa yang begitu keras tadi mulai menghilang. Malam itu saya tidak bisa tidur, beberapa bulan ini jam tubuh saya memang tidak normal. Saya baru bisa tidur kala matahari mulai bangun. Jadilah selama di dalam tenda saya terus mencoba tidur sambil berputar ke sana-ke mari.

Di antara usaha tidur itu saya bisa mendengar jelas suara langkah kaki di luar, rumput dan dedaunan berbunyi seperti terinjak. “Mungkin binatang, babi hutan atau anjing.” Kata saya dalam hati. Saya memikirkan nasib makanan yang kami bawa dan kami biarkan tergeletak begitu saja di luar sana.

Kalau awalnya saya berpikir suara tadi adalah suara binatang maka lama-lama saya mulai mengubah pikiran. Kadang-kadang kita bisa merasakan momen ketika ada seseorang yang berdiri di sekitar kita tanpa kita sadari. Nah, momen itu yang saya rasakan malam itu. Rasanya seperti ada orang yang berdiri di luar sana, aura kehadirannya benar-benar terasa. Saya berusaha keras mensugesti diri sendiri kalau itu adalah salah satu dari kami yang mungkin kelaparan atau mau buang air kecil. Dalam hati saya terus berusaha menumbuhkan sugesti itu meski sebenarnya saya tidak percaya 100%.

Saya akhirnya menyerah, sampai pukul 3 subuh saya tidak bisa memejamkan mata. Entah karena juga tidak bisa tidur atau karena kelaparan, Ical teman setenda bangun dan keluar. Disusul kemudian dengan Iqko yang sebelumnya tertidur dengan suara ngorok yang keras. Jelas dia keluar tenda bukan karena tidak bisa tidur, rupanya dia mau buang air kecil. Saya mengikut di belakangnya dan berhenti di bibir tenda ketika dia terkesiap dan secara refleks meremas lengan saya.

“Itu siapa? Siapa yang jongkok di sana?” Tanyanya. Saya mencoba melihat ke arah yang sama, menajamkan pandangan untuk melihat suasana di malam yang makin gelap karena bulan mulai bersembunyi di punggung bukit.

“Ah tidak ada siapa-siapa, itu cuma semak-semak.” Kata saya menenangkan. Saya tahu saya bohong karena ketika itu jelas sekali saya melihat siluet tubuh serupa orang yang berjongkok. Semak-semak rasanya tidak mungkin menampakkan siluet senyata itu.

*****

Ketika pagi menjelang dan matahari mulai bangun dengan sinar keemasannya yang hangat, kami mengobrolkan semua kejadian malam itu. Rama dengan kemampuan metafisiknya bercerita kalau sebenarnya ketika kami baru datang di kampung itu dia sudah melihat beberapa penghuni kampung itu yang mengawasi kami. Penghuni yang dia maksud tentu saja bukan manusia atau mahluk lain dalam bentuk yang kasar.

Suara tawa keras tengah malam tadi juga diyakininya sebagai suara tawa kuntilanak atau semacamnya, yang jelas bukan suara tawa manusia. Rasanya mustahil manusia bisa tertawa sekeras itu, tertawa keras sampai terbawa angin dari jarak 200an meter. Insting saya juga benar, ketika sulit tertidur di dalam tenda saya seperti merasa ada seseorang atau mahluk lain yang mendekati tenda kami. Rama membenarkannya, dia bilang memang ada seseorang (atau sesuatu?) yang mendekati tenda-tenda kami ketika kami semua sudah ada di dalam tenda. Rama bahkan mendengar dengan jelas suara nafas yang memburu dan bahkan melihat bayangan mahluk tersebut dari semak belukar lebat di belakang tenda kami.

Dari dulu saya memang percaya kalau tempat-tempat terbuka dan terpencil seperti Kampung Berua yang kami datangi memang jadi habitat mahluk lain yang lebih halus dari kita. Bukan sekali dua kali saya mendengar cerita mistis para pendaki, tentang bagaimana mereka merasakan kehadiran mahluk dari dunia lain itu atau bahkan melihatnya langsung dengan mata kepala sendiri. Saya percaya mereka ada di sekitar kita, bahkan sesungguhnya merekalah penghuni tempat-tempat itu. Kita manusia hanya datang berkunjung.

Karena itu saya juga selalu percaya ketika mendatangi tempat seperti itu jangan pernah merasa diri sebagai yang terhebat. Jangan pernah takabur dan meremehkan alam serta para penghuninya. Sebagai tamu saya berusaha menghormati penghuni tempat itu. Kalau kita tidak takabur dan kajili-jili (grasa-grusu) maka saya yakin mereka juga tidak akan mengganggu. Benar kan?

Bagaimana dengan Anda? Pernah punya pengalaman seperti saya? [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (16)

  1. Ahmad Dahlan

    alhamdulillah selama ku pgi trip sama anak2 pajappa nda pernah temukan hal-hal mistis bgtuan iya..kalo anak2 yg lain yg ikut trip pernah dengar suara teriakan juga, waktu itu trip air terjun lembanna..

  2. Badiacoolonline

    Belum pernah sih mengalami hal seperti itu, kalau aku sih gak percaya hal-hal yang seperti itu, tapi saya setuju dengan statement bang ipul tentang menghormati tempat yang kita datangi

  3. pengalamaan yang menarik….

    artinya sambutan hangat,daeng…hehehehe

    dulu bawa mahasiswa outdor di perbatasan maros pedalaman yang masih banyak hutannya..di situ penunggu kampungnya saya liat,daeng.

    tapi itulah hidup..kita hidup saling berdampingan walau beda alam..^_^

    saling menghargai dan menghormati dengan yang lainnya..^_^

  4. Trijaka Perkasa

    Dulu waktu sd pas ada kemah sabtu minggu di sekolah. Sy dan beberapa kawan ke toilet rame2 krn takut sendirian jam 2 pagi.
    Pas sampe di pintu wc sekitar jarak 1 meter dari kami pintunya terbuka sendiri dengan keras padahal pintu wc nya sudah di kunci jam 10 malamnya
    Wc nya juga banyak kotoran manusia yg tercecer di lantai dan subuhnya sudah bersih kembali padahal tukang jaga sekolah belum bangun.

  5. hehe pernah diputerin2 gak nemu2 tenda pas balik dari buang air kecil hehehe

  6. Sepertinya, gagal berencana ke Rammang2.. Tacupska..

    • iPul Gassing

      hihihi ndak apa2ji, itu hal biasa.
      yang penting jangan takabur dan tetap berdoa saja

  7. Di rumah Semarang banyak daeng hahahahahaha~ Tapi aku sih gak peka makanya cuek-cuek aja, yang sering liat atau ngalamin malah temen-temen loenpia yang sensitif hihihihihi~

  8. alhamudlilah kalo lihat nggak pernah, mungkin krn saya orgny akurang peka dg yg gitu2. tapi biasanya kalo sudah terlalu “banyak” mahluknya tubuh saya jadi kaya waspada, walau siangnya cape pasti nggak bisa tidur, tapi tetep nggak ada merinding

  9. Yang saya dengar tidak semua orang bisa mengalami pengalaman seperti itu.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.