PapuaPerjalanan

Merauke Yang Abadi di Dalam Lagu

Tulisan ini ada di mana-mana
Tulisan ini ada di mana-mana

Nama Merauke sudah akrab di kuping sejak kita masih SD. Tapi sebenarnya seperti apa kota di ujung Timur Indonesia ini?

BRUK! Getaran keras terasa ketika pesawat SJ 704 yang saya tumpangi mendarat di bandara Mopah, Merauke. Saya menyingkap kupluk yang selama perjalanan saya ubah menjadi penutup mata, cahaya terang matahari dari luar membuat saya terpaksa memicingkan mata. Jarum jam di tangan menunjuk pukul 8:30 waktu Indonesia Tengah, lambat satu jam dari jam di Merauke.

Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di kota yang sudah sering saya dengar namanya sejak kecil ini. Adalah R. Suharjo yang menciptakan lagu Dari Sabang Sampai Merauke yang akhirnya jadi konsumsi anak-anak SD di jaman orde baru. Merauke selalu disebut sebagai kota paling Timur, berada di ujung Indonesia yang berseberangan dengan Sabang di ujung Barat. Sebelum berangkat saya baru tahu kalau ternyata Merauke sejajar dengan Jayapura di sebelah utaranya, entah kenapa kota ini yang dipilih R. Suharjo dalam lagunya.

Keluar dari pesawat saya langsung sadar kalau Merauke datar, berbeda dengan kota lain di Papua yang pernah saya singgahi. Tidak ada pemandangan bukit atau gunung di sekitar bandara, tidak seperti bandara Sentani, Jayapura yang langsung berhadapan dengan pegunungan Cyclops, atau bandara Rendani Manokwari yang juga seperti dipunggungi bukit. Merauke datar, sejauh mata memandang tidak ada bukit apalagi gunung yang jadi latar.

Keluar dari Bandara seorang pria Jawa bertubuh tinggi langsing menjemput saya. Namanya Purnomo, dia mengaku besar di Merauke mengikuti orang tuanya yang jadi transmigran sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Logat Jawanya masih kental meski sesekali logat Papua juga terlontar dari mulutnya.

Merauke memang jadi tujuan awal transmigrasi di pulau Papua. Sejak tahun 1960an, pemerintah Indonesia mulai mengirimkan ratusan orang Jawa ke berbagai tempat di Merauke. Pengiriman transmigran ini makin intensif dan sistematis di jaman orde baru. Tidak heran kalau kita gampang sekali menemukan persawahan yang dikelola orang Jawa di pinggiran kota Merauke. Kontur Merauke yang datar mungkin membuatnya cocok untuk diubah menjadi persawahan.

Gerbang taman nasional Wasur. Katanya masih ada kanguru di sini

Saya tiba tepat di hari Minggu, jalanan sepi. Hanya satu dua kendaraan yang berseliweran. Sebagian besar toko tertutup.

β€œOh, ini hari Minggu. Pantas jalanan sepi. Orang-orang pada ke gereja ya?” Tanya saya pada pak Purnomo.

β€œ Ah tidak juga pak. Minggu atau bukan, jalanan ya sepi kayak gini.” Jawabnya.

Jawaban pak Purnomo itu menggambarkan sepinya Merauke, tidak sama dengan Jayapura, Sorong atau Manokwari yang sudah pernah saya datangi.

β€œTapi warga di sini toleransinya luar biasa loh pak. Kalau lebaran, orang Kristen juga ikut sibuk. Kalau natal, gantian kami orang Muslim yang ikut menjaga.” Pak Purnomo melanjutkan. Saya mengangguk paham. Cerita seperti itu sudah sering saya dengarkan ketika bolak-balik Papua. Benar-benar gambaran yang berbeda dengan yang dihembuskan beberapa orang ketika Tolikara sedang memanas.

*****

 IZAKOD BEKAI, IZKOD KAI. Tulisan itu ada dimana-mana. Dari bandara, spanduk pemerintahan, pinggir jalan sampai ke pos perbatasan. Dalam bahasa Marind, kalimat itu berarti; satu tujuan, satu hati. Suku Marind adalah suku asli yang mendiami daerah Merauke.

β€œItu dulu, sekarang sudah beda. Beda tujuan, beda hati.” Kata Ottow sambil tertawa. Ottow adalah orang Merauke yang menemani kami selama di sana. Kalimatnya bernada satir, menyindir pemerintah daerah Merauke. Bukankah banyak dari kita yang seperti itu? Tak puas dengan pemimpin daerah yang kadang lebih suka memanjakan diri dan keluarganya daripada rakyat kebanyakan.

Saya tidak sempat menjeajahi banyak tempat di Merauke, hanya sempat dibawa ke Kampung Rawa Biru yang berjarak sekira 85 km dari pusat kota dan 24 km dari batas negeri di ujung Timur. Perjalanan ke sana melintasi Taman Nasional Wasur yang berada di luar kawasan transmigrasi. Di taman nasional ini masih ada kanguru khas Papua yang lebih kecil dari kanguru Australia. Karena perburuan dan desakan manusia, kanguru itu makin susah ditemukan. Rata-rata mereka sudah makin menjauh dari keramaian, masuk ke jantung hutan yang lebat.

Jalan seperti ini sudah biasa bagi mereka

Perjalanan ke Kampung Rawa Biru tidak mudah. 60 km pertama dilalui dengan jalanan yang rata dan lumayan halus, sisanya adalah jalanan tanah yang membuat badan bergoyang sepanjang jalan. Jangan harap mobil station wagon sekelas Avanza atau Innova bisa selamat tanpa cidera. Tak ada pilihan lain selain mobil 4 WD untuk menembus medan seberat itu.

Mobil 4 WD atau orang sana menyebutnya mobil dobel gardan memang jadi pilihan utama melayani transportasi warga Papua dari satu tempat ke tempat lainnya. Sepanjang perjalanan kami sesekali mendapati mobil-mobil sebangsa Mitsubishi Strada, Ford Ranger atau Toyota Hilux yang melintas. Mereka membawa penumpang dari kota Merauke ke kabupaten Tanah Merah yang ditempuh selama kurang lebih 5 jam perjalanan. Ada juga yang membawa penumpang dari Merauke ke Boven Digul yang berjarak 8 jam perjalanan.

Jangan tanya mereka membayar berapa untuk ke Tanah Merah. Rp. 700.000,- per kepala sekali jalan! Dan itu hanya untuk manusia, kalau membawa barang berarti harus menambah biaya lagi.

β€œItu sudah murah kaka, dulu tong bayar lebih mahal lagi. Satu juta untuk satu kali jalan.” Kata seorang warga yang sempat saya tanya. Tujuh ratus ribu sudah murah? Glek! Untuk pergi pulang berarti mereka menghabiskan biaya Rp. 1,4 juta, sama dengan biaya pesawat Makassar-Jakarta pergi pulang.

Rp. 700.00,- per kepala sekali jalan dengan mobil ini!

Itulah ironi Papua. Di saat kita orang kota mengeluhkan ongkos angkot yang naik Rp. 1000,- mereka tak punya pilihan lain dan harus menghabiskan ratusan ribu hanya untuk berpidah dari satu daerah ke daerah lainnya. Infrastruktur yang belum rapi dengan medan yang berat adalah masalah terbesar di pulau terbesar di Indonesia itu.

Merauke juga sama, sama seperti tempat lain di Papua. Indah, luas, tapi nyaris terlupakan. Sejak kecil kita mungkin sudah mendengar namanya lewat lagu-lagu yang dikumandangkan di ruang kelas. Tapi kita kadang sulit membayangkan seperti apa Merauke sebenarnya. Sayang saya tak bisa lama-lama menikmatinya, tak bisa lama-lama mendengar kisah orang-orang yang hidup di sana. Mungkin suatu hari nanti saya akan kembali lagi ke sana, ke kota yang abadi dalam lagu Nasional kita. [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (4)

  1. Makasih tulisanny daeng.. Baru sepekan dari Merauke, kangennya agak bisa terobati krn tulisan ini.

    Gak sempat ke Sota daeng?. Sy tidak. Hehe.. Di sana letak garis ujung paling Timur indonesia(yg diakui scara nasional). Setiap yg kesana, kabarnya bisa mendapat sertifikat tlah menjejak ujung timur nusantara. Mungkin itu misi berikut sy klo berkunjung ke sana lagi. Mumpung suami masih bertugas di sana, hehe.

  2. Duuh.. daeng, kita tukaran yok. daeng pindah ke aceh, yudi pindah ke makassar biar bisa dekat ama papua πŸ˜€

  3. sungguh ironi, pembangunan yang belum rata.
    tak apalah, yang penting keindahan dan kekayaan alamnya masih terjaga hehehe

  4. tulisannya ciamik daeng. jadi, kapan aku diundang jalan-jalan ke merauke? biar bisa menyanyi lagu dari sabang sampai merauke langsung di tempatnya.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.