Perjalanan

Mabuk Durian di Tanah Luwu

Durian di tepi jalan (mohon jangan acuhkan ibu di belakang itu)
Durian di tepi jalan (mohon jangan acuhkan ibu di belakang itu)

Durian bukan salah satu buah favorit saya, tapi juga bukan salah satu buah yang akan saya tolak kalau tersaji di depan saya.

Saya tidak pernah (atau setidaknya sudah lupa) sengaja membeli durian untuk menuntaskan rasa penasaran. Sepanjang yang saya ingat, semua durian yang saya makan adalah pemberian atau durian traktiran orang lain. Intinya hubungan saya dengan durian tidak terlalu akrab, seperti teman biasalah.

Minggu kemarin saya kebetulan dapat ajakan menginjakkan kaki di tanah Luwu, tanah yang di Sulawesi Selatan terkenal sebagai sentra durian. Sebenarnya bukan hanya durian karena Luwu juga banyak ditumbuhi rambutan, cempedak, manggis dan tumbuhan lainnya. Tapi berhubung karena ini musim durian maka tentu saja durian jadi primadona.

Haru pertama dibuka dengan menyantap durian di tepi jalan, di sebuah tempat sebelum memasuki kota Belopa, Luwu. Sepanjang jalan mendekati Belopa dan Palopo yang adalah ibukota Luwu, pedagang durian memang berjejer hampir sepanjang jalan. Kami mampir di salah satu bangunan semi permanen yang menjajakan durian dan rambutan.

Satu tenteng berisi 3 durian sebesar sekira bola sepak dihargai Rp. 30.000,-, lebih murah dari yang dijajakan di kota Makassar. Waktu itu kami bertiga; saya, Anton dan pak Mus supir yang mengantar kami. 6 biji durian bisa kami habiskan dengan lancar. Perkenalan pertama dengan durian Palopo berlangsung manis.

Hari kedua setelah selesai memberikan materi di pelatihan hari pertama, kembali Anton mengajak mencari durian. Saya baru tahu kalau pentolan Blogger Bali ini ternyata doyan makan. Beranjaklah kami bertiga (kali ini ditemani satu orang lain yang jadi panitia lokal) mencari durian di sekitaran hotel.

Tidak jauh dari hotel ada 1 warung durian tepi jalan yang juga menyediakan durian yang nikmat. Durian ini harganya lebih murah dari yang sehari sebelumnya kami santap. 1 tenteng dihargai Rp. 25.000,- dan di akhir acara makan Anton malah diberi 1 bonus durian kecil. Di antara kami bertiga memang Anton yang terlihat paling doyan. Saya sendiri membatasi, jangan sampai terlalu berlebih mengonsumsi buah yang kata orang berkolesterol tinggi itu.

*****

Hari ketiga. Kali ini salah seorang peserta pelatihan kedatangan keluarga dan rekan kerjanya dari kota Masamba sekira 50 km sebelah utara kota Palopo. Mereka tidak sekadar datang tapi juga membawa berbutir-butir durian yang ditaruh di atap mobil. Dari sekian banyak durian itu terselip sebiji durian montong atau yang mereka sebut sebagai durian otong.

Jadilah ketika waktu istirahat tiba kami menyantap durian di bagian belakang hotel tepat di tepi sungai. Durian biasa terlewat satu per satu sampai kemudian kami tiba di sebiji durian montong itu. Rasanya wuih! Luar biasa! Sebiji durian montong yang besarnya sama dengan 2 atau 3 durian biasa itu punya daging yang tebal dengan biji yang kecil. Saya sudah lama tidak mencicipi durian montong sementara Anton baru pertama kali. Pantas saja dia terkagum-kagum pada durian montong.

Ini dia si durian montong
Ini dia si durian montong

Hari itu saya mencatat rekor baru, mencicipi durian selama 3 hari berturut-turut. Sesuatu yang belum pernah saya alami sebelumnya.

Tapi ternyata rekor itu dengan cepat terpatahkan sehari kemudian. Menjelang kepulangan ke Makassar kami masih harus menuju ke Luwu Utara dan bertemu dengan petani kakao. Di rumah pertama kami sudah langsung disajikan menu durian yang dari tampilannya saja sudah kembali membuat kami ngiler. Bukan hanya itu, sebagai pelengkap tuan rumah juga menyajikan kopi durian yang benar-benar adalah perpaduan antara kopi dan durian. Tentang kopi ini akan saya tulis terpisah.

Tapi hari itu tidak berakhir begitu saja. Di tempat kedua kembali kami bertemu dengan berbutir-butir durian montong! Durian yang besarnya seperti buah semangka itu tergeletak di lantai seperti memanggil-manggil kami. Jadilah setelah urusan kerjaan selesai satu persatu durian montong itu dibelah dan disajikan.

Kembali, sensasi durian dengan kenikmatan yang super itu jadi santapan di pagi menjelang siang. Sayang, kembali saya harus tahu diri. Kopi durian yang tidak sampai setengah saya minum sebelumnya rupanya bereaksi berlebihan. Kepala agak pusing dan badan terasa panas, keringat mengucur deras di dahi dan badan.

Durian montong itu akhirnya tinggal dipandang saja, tak sempat dihabiskan. Bahkan ketika tuan rumah menawarkan untuk membawa pulang 3 durian tersisa kami hanya menggeleng. Anton mungkin mau, tapi mengingat dia masih harus menyeberang lautan dengan pesawat maka sepertinya ide membawa durian ke pesawat bukan ide yang baik.

Saya benar-benar sudah sampai pada tahap eneg durian. Setiap bersendawa aroma durian langsung tercium, ujung jari juga tidak lepas dari aroma buah itu. Kepala terasa sedikit pusing dan badan benar-benar panas tidak karuan. Mungkin ini yang namanya mabuk durian, entahlah.

4 hari berturut-turut menyantap durian adalah pengalaman baru. Rekor baru kalau kata saya, dan meski di akhir hari saya sempat merasa eneg tapi beberapa jam berikutnya terbetik keinginan untuk kembali mencicipi durian montong. Oh durian montong, why u so tempting? [dG]

Video Palopo Tanah Buah

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. Makanya kalo di kampung, lebih suka makan durian sambil berendam di sungai. Yang populer itu makan durian sambil mandi2 di air terjun latuppa, nda panas badan :)) atau minum air dari kulit durian setiap abis makan durian, katanya sih nda bikin panas 😀

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.