Uji Fisik dan Mental di Jalur Nabire-Paniai

Jalur dari Nabire ke Paniai ini cukup menantang. Jaraknya “hanya” 258 km, tapi ditempuh dalam waktu tujuh jam lengkap dengan segala tantangannya.


paniai
Pemandagan Jalur Nabire-Paniai

“MEMANG SU MALAM, TAPI SUPIR BILANG ‘AH, TRA PAPA. Kita jalan saja’ jadi ya sudah, tong jalan sdah. Belum jauh dari kota ehh, ada suara tembakan. Hahahaha,” Theo, seorang teman di kantor tertawa lepas ketika bercerita. Dia kemudian melanjutkan, “Sudah, tong bale saja. menginap dulu di Moenamani. Besok pagi baru lanjut lagi ke Enaro.”

Theo baru saja menceritakan pengalamannya melintasi jalur Nabire-Paniai di malam hari. Ketika bercerita dia masih bisa tertawa lepas, tapi saya yakin waktu kejadian itu dia merasakan suasana mencekam yang bahkan untuk tersenyum saja susah.

Bayangkan bagaimana mencekamnya suasana di tengah malam, di jalan yang sepi di tengah hutan, bertemu dengan “tiga huruf”.

Jalur Nabire-Paniai yang diceritakan Theo sudah 12 kali saya lintasi sepanjang tahun 2018. Jalur ini buat saya adalah salah satu jalur yang menantang. Baru mendengar penugasan ke Paniai saja, di dada sudah ada rasa berkecamuk. Terbayang beratnya perjalanan. Bukan hanya berat di fisik, tapi juga di mental.

Kenapa bisa begitu? Akan saya ceritakan pelan-pelan.

*****

PERJALANAN AKAN DIMULAI DARI KOTA NABIRE, ibukota kabupaten Nabire yang terletak di tepi pantai itu. Namanya kota pantai, jelas saja udaranya akan gerah. Baru mendarat di bandara Douw Aturure saja udara panas sudah langsung menyambut. Benar-benar sambutan hangat dalam arti yang sebenarnya.

Dari Nabire, perjalanan akan dimulai biasanya dengan mobil kelas berat sebangsa Toyota Fortuner, Ford Ranger, atau semacam itu. Tapi kita akan lebih sering menemukan Toyota Fortuner atau Hilux. Sepertinya pasar Toyota sangat bagus di sana. Mobil-mobil ini peninggalan ketika jalur Nabire-Paniai belum semulus sekarang. Untuk sekarang jalur itu sudah bisa ditempuh dengan mobil sebangsa Toyota Avanza, tapi belum bisa untuk mobil sekelas sedan atau city car.


enarotali paniai
Angkot Nabire – Enarotali

Keluar dari kota Nabire kita akan langsung bertemu jalan menanjak dan berliku dengan pepohonan di tepi kanan dan kiri. Semacam jalan menembus hutan. Berkilo-kilo meter hanya pemandangan itu yang kita temui. Hutan dan sesekali perbukitan di kejauhan. Sepanjang mata memandang kita akan bertemu warna hijau yang bertemu dengan warna birunya langit. Hanya sesekali kita bertemu dengan perumahan penduduk yang tidak seberapa banyak.

Pertama kali menuju Enarotali dan melintasi jalur ini saya langsung bertemu dengan sekelompok orang yang menahan mobil yang akan melintas. Di tengah jalan ada sebuah drum dengan seekor babi yang nampaknya sudah mati di atasnya. Seorang pria menghentikan mobil dan seorang wanita mendekat ke kaca. Supir yang membawa kami merogoh koceknya, mengeluarkan selembar uang Rp.20.000,-. Setelah itu kami dibiarkan lewat.

Dong minta uang bumbu,” kata Munzir, supir berusia 30an tahun yang membawa kami hari itu.

Menurutnya, mungkin saja babi yang ditaruh di atas drum itu adalah korban tabrakan. Seperti umumnya di Papua, sang penabrak harus membayar ganti rugi sesuai harga yang disepakati. Harganya tentu saja jutaan rupiah, bahkan bisa sampai belasan atau puluhan juta. Tergantung jenis kelamin si babi dan besarnya. Babi betina yang sudah dewasa harganya bisa belasan sampai puluhan juta. Menabrak babi di Papua berarti alamat buruk bagi kantongmu.

“Tapi biasa juga orang lain yang tabrak, kita yang ganti rugi karena yang tabrak sudah lari,” kata Munzir lagi. Pria asal Palopo, Sulawesi Selatan yang sudah menjadi supir di Nabire sejak 2012.

Meski sudah mendapatkan ganti rugi, mereka tidak langsung merasa masalahnya selesai. Babi yang sudah mati akan diolah menjadi makanan, dan mereka akan meminta “uang bumbu” dari pengendara yang lewat. Jumlahnya berapa? Tidak tentu, tergantung mood mereka saja. Jumlah yang mereka minta pun tidak terlalu besar sebenarnya, antara Rp.20.000,- sampai Rp.50.000,- tergantung supir. Jauh lebih kecil dari jumlah yang harus dibayar untuk mengganti babi yang ditabrak itu.


Pemandangan seperti ini akan kerap kita temui sepanjang jalan

Di kesempatan lain ada juga orang-orang yang mengadang, menutup jalan dan meminta uang. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memperbaiki jalan yang longsor atau memindahkan pohon yang rubuh dan menghalangi jalan. Kepada pengendara yang lewat mereka meminta uang, semacam upah untuk hasil kerja mereka. Ada yang meminta uang seikhlasnya, ada juga yang menetapkan jumlah. Tergantung besar kecilnya pekerjaan yang mereka lakukan.

“Ah, tunggu saja. Sa dekat saja di depan, nanti sa bale,” kata Munzir suatu waktu kepada seorang anak muda yang mengadang kami.

Ko jangan tipu ee,” kata si pemuda setengah berteriak karena mobil kami sudah mulai melaju.

Munzir tahu mana yang bisa dia kibuli, mana yang tidak bisa. Untuk anak-anak muda yang sok membersihkan jalan biasanya dia akan mengeluarkan tipuan seperti tadi. Pura-pura kalau tujuannya tidak jauh dan nanti kembali lagi. Tapi tipuan seperti itu tidak berlaku untuk orang-orang yang sudah lebih dewasa dan jumlahnya banyak. Dia juga paham betul bagaimana karakter orang Paniai yang keras itu.

“Ah, tolong bapa. Sa trada uang lagi ini. Sa cuma dapat satu penumpang, bapa ambil ini saja e,” kata Munzir kepada seorang pria yang mengadang kami di lain waktu. Pria itu tidak sendirian, dia bersama beberapa pria lain yang semua bertubuh tegap khas orang Papua. Mereka sepertinya baru saja membereskan jalan yang longsor dan meminta upah pada pengendara yang lewat. Sayangnya mereka mematok harga, Rp.200.000,- per mobil.

Kali ini Munzir tidak bisa menggunakan tipuan “dekat saja”. Tapi otaknya tetap jalan. Dia mengaku tidak mendapatkan penumpang karena di mobil hanya ada saya seorang diri. Ya tentu saja ini bohong, karena saya mencarter mobilnya dan dia tentu saja tidak berhak menaikkan penumpang lain tanpa persetujuan saya. Setelah negosiasi alot yang diwarnai sedikit permohonan dari Munzir, akhirnya bapak itu menerima uang Rp.50.000,- yang disodorkan Munzir. Dia memberi kode pada anak muda di depan kami yang langsung membuka penghalang dari bambu. Kami bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang.

Pengadangan seperti ini hampir saya temui setiap kali ke Paniai. Meski tidak berbahaya apalagi sampai mengancam nyawa, tapi tetap saja membuat jantung berdegup kencang. Setiap kali melihat kerumunan orang di depan, saya langsung terkesiap. Seringkali saya salah karena kerumunan itu sama sekali tidak mempedulikan kami, alih-alih mengadang dan meminta uang. Dasar saya saja yang sudah berpikiran negatif duluan.


Jalur Nabire-Paniai

Kenapa mereka sampai iseng megadang mobil dan meminta uang dari pengendara yang lewat? Teori paling masuk akal bagi saya adalah karena mereka merasa jalan itu tidak berkontribusi banyak buat mereka, warga asli. Jalan itu hadir di depan mereka, tapi lebih banyak memberi keuntungan bagi para pendatang. Mereka lalu mencoba mengambil keuntungan dari jalan itu dengan cara mereka sendiri, mengadang dan meminta uang. Cara yang mungkin bagi kita tidak benar, tapi dalam perspektif berbeda adalah cara mereka mengambil keuntungan. Tentu dengan cara mereka sendiri.

Buat saya, tugas terberat adalah mencari akar dari permasalahan ini. Mencari tahu penyebabnya dan kemudian duduk sama-sama mencari jalan keluarnya. Tentu dengan kepekaan untuk sama-sama mendengarkan dan membuka hati.

Pengadangan paling parah yang pernah saya temui justru di sebuah tempat di dekat kota Nabire. Waktu itu kami pulang sore dari Paniai dan hampir tengah malam ketika mendekati Nabire. Di depan kami sebuah mobil sudah dihentikan oleh – kalau tidak salah hitung – enam anak muda tanggung. Melihat mobil kami mendekat, seorang dari mereka berdiri di tengah jalan dengan ancang-ancang seperti hendak melempari mobil kami dengan batu besar. Munzir memelankan mobilnya, membuka kaca samping dan ketika mendekati si anak muda tanggung itu dia dengan cepat menampar kepala si anak muda tanggung. Plak! Suara itu terdengar ke dalam kabin mobil, lalu dengan cepat Munzir memacu mobilnya meninggalkan sekelompok anak-anak muda tanggung itu.

Bruk!

Sebuah suara keras terdengar dari bagian belakang mobil. Rupanya salah satu dari mereka melempari mobil Toyota Fortuner yang kami naiki. Untung saja tidak kena kaca. Ketika tiba di Nabire, Munzir mengecek bagian belakang mobilnya dan menemukan satu luka baru. Iya, luka baru di antara luka-luka lain di Toyota Fortuner hitam miliknya.

“Sudah biasa itu, sudah pernah juga ini mobil kena panah sama kena parang,” katanya.

Anak-anak muda tanggung yang mengadang kami di dekat kota Nabire itu adalah anak-anak muda yang biasa ngelem. Preman-preman kacangan yang suka mengadang mobil dan meminta uang. Untuk supir berpengalaman seperti Munzir, mereka masih belum masuk hitungan berbahaya. Dia bahkan berani menampar anak-anak itu.

Tapi, apakah perjalanan selalu menegangkan seperti itu? Tunggu jawabannya di bagian kedua tulisan ini. [dG]