5 Hal Tentang Papua Yang Mungkin Kamu Belum Tahu
PAPUA. Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar nama ini? Sebuah pulau yang masih dihuni oleh orang-orang primitif tak berpakaian? Sebuah pulau dengan keindahan alam yang tak terkira? Atau mungkin malah sebuah pulau dengan tingkat keamanan paling rendah di Indonesia?
Sah-sah saja Anda berpikir begitu, mungkin karena Anda memang belum terlalu banyak tahu tentang Papua, tentang pulau terbesar di Indonesia dan pulau terbesar nomor 2 di dunia setelah Greenland. Dulu saya juga banyak salah sangka pada provinsi paling Timur Indonesia ini, mengira Papua masih sangat tertinggal dibanding kota saya, Makassar. Sampai kemudian saya menengok sendiri realitas kehidupan di Papua dan harus merevisi banyak dugaan saya tentang Papua.
Dalam 2 bulan ini saya bolak-balik Papua, dan muncul beberapa pertanyaan dari teman-teman (utamanya teman-teman di Jawa) tentang Papua. Pertanyaan yang saya yakin juga banyak ditanyakan oleh teman-teman lain yang memang belum tahu banyak tentang Papua. Dari sekian banyak pertanyaan itu ada 5 pertanyaan yang paling sering ditanyakan ke saya. Buat saya ini menarik, karena sesungguhnya ini adalah informasi dasar tentang Papua yang mungkin memang belum banyak diketahui orang.
Nah, saya akan menuliskan 5 fakta tentang Papua yang mungkin teman-teman belum tahu. Simak ya.
Papua Tidak Seprimitif Yang Kamu Kira.
Kalau kamu membayangkan orang-orang di Papua kesana kemari dengan hanya dengan menggunakan koteka, maka tentu saja kamu salah. Papua nyaris tidak ada bedanya dengan kota-kota lain di Indonesia. Oke, kita bicara dalam konteks kota besar dulu ya karena kebetulan memang saya hanya datang ke kota-kota besar yang ada di Papua.
Di Jayapura, saya kaget ketika tahu kalau ternyata di sana sudah ada XXI, ada Gramedia dan bahkan di ibu kota kabupaten Sentani saya menemukan Papa Ronz Pizza yang justru tidak saya temukan di Makassar. Artinya apa? Artinya Jayapura sebagai ibu kota provinsi Papua sudah cukup maju dong. Bahkan di waktu-waktu tertentu jalanannya juga macet karena padatnya kendaraan.
Kota lain mungkin tidak seramai Jayapura, tapi setidaknya kota-kota itu tidak seprimitif yang kamu duga. Manokwari punya mall juga, ada KFC juga, ada cafe keren juga. Sorong juga sama, ramai meski tentu saja tidak bisa kamu bandingkan dengan Jakarta, Surabaya, Semarang, Jogja atau Makassar sekalipun.
Bagaimana dengan orang berkoteka? Well, koteka sudah jadi pakaian adat, sama seperti beskap atau baju bodo di Makassar. Kita tidak bisa membayangkan orang-orang menggunakan beskap dan blangkon atau baju bodo dan kebaya setiap hari kan? Papua juga begitu, di kota besar koteka hanya dipakai di acara-acara khusus seperti festival atau upacara adat tertentu. Memang katanya ada beberapa orang yang masih kukuh menggunakan koteka bahkan ketika masuk ke kota besar, tapi saya tidak pernah menemukannya.
Papua Lebih Aman Dari Yang Kamu Kira.
Ketika bolak-balik Papua, ibu saya bertanya; di sana aman tidak? Saya tidak menyalahkan beliau, pemberitaan media tentang Papua memang lebih banyak tentang gesekan antara aparat dan warga atau anggota OPM termasuk peristiwa terakhir di Paniai.
Tapi saya kasih tahu ya, selama saya di Papua saya sama sekali tidak merasa kalau kota-kota yang saya datangi (Jayapura, Manokwari dan Sorong) adalah kota yang mencekam. Mungkin memang ada jam-jam tertentu dimana kita akan bertemu dengan pria setengah mabuk yang meminta uang atau barang, tapi hal seperti itu juga bisa kita temukan di kota lain bukan? Tinggal kita saja yang harus pandai melihat celah atau menghindari hal-hal seperti ini.
Di balik perawakan orang Papua yang katanya menyeramkan itu sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang ramah dan sangat terbuka. Tentu saja asal kita tahu cara membuka percakapan yang baik.
Suatu hari saya pernah mampir melihat dari dekat proses menokok sagu dekat danau Sentani. Saya menaruh kamera di mobil, saya datang bukan sebagai tukang foto, saya datang murni sebagai orang yang ingin tahu lebih banyak tentang proses menokok sagu. Seorang pace Papua berdiri di tepi jalan, badannya kekar, berkulit legam dengan brewok di wajah. Dengan sopan saya menyapa beliau dan dengan cepat disambut oleh senyuman dari bibirnya yang merah karena pinang.
Beberapa menit saya berbincang dengan si pace dan saya sama sekali tidak merasakan ada penolakan atau pandangan curiga. Pace itu sangat ramah, bahkan ketika saya meminta ijin untuk memotret dia mempersilakan dengan tangan terbuka.
Jadi kalau kalian masih mengira orang Papua itu tidak ramah dan penuh dengan kecurigaan maka singkirkan pikiran itu, orang Papua sama baiknya dengan orang Indonesia yang lain.
Harga Sebotol Aqua di Papua Sama Saja.
Oke, mungkin ini hanya berlaku di kota besar. Di Manokwari saya membeli sebotol Aqua 250 ml di hotel dengan harga Rp. 5000.-, sama kan dengan Aqua di tempat kamu?
Di beberapa tempat harga barang memang sangat mahal, seperti di Oksibil atau di Pegunungan Bintang misalnya. Di Oksibil harga seliter bensin sebelum harga BBM naik mencapai Rp. 45.000,-, konon sekarang harganya sudah menembus Rp. 60.000,-/liter. Mahal ya? Iyyalah, karena daerah itu tidak bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat atau roda dua. Oksibil hanya bisa dijangkau dengan pesawat, jadi wajarlah kalau harga-harga di sana memang tinggi.
Meski harga-harga barang di kota besar relatif sama atau hanya mahal beberapa rupiah tapi secara keseluruhan biaya hidup di Papua memang mahal, apalagi yang berhubungan dengan transportasi dan bahan bakar. Sebagai bukti, sewa mobil Avanza di Papua untuk 12 jam adalah Rp. 800.000,- plus supir tapi di luar BBM. Harga ini hampir 3 kali harga di Makassar.
Sekali lagi ini wajar, transportasi di Papua memang tidak bisa disamakan dengan daerah lain di Indonesia. Beberapa daerah di Papua hanya bisa dijangkau dengan pesawat yang tentu saja membuat harga beberapa kebutuhan jadi sangat tinggi. Oh ya, dari informasi Kompas yang saya dapatkan, di Papua (termasuk Papua Barat) total ada 200 bandara besar ataupun kecil.
Malaria Masih Jadi Pembunuh Terbesar di Papua.
Kita mungkin sudah lupa kalau ada penyakit yang namanya malaria, penyakit yang dulu kita kenal lewat pelajaran SD belasan atau bahkan puluhan tahun yang lalu. Di beberapa daerah Indonesia, malaria mungkin sudah jadi penyakit kenangan karena memang sudah bisa dibasmi.
Tapi di Papua tidak, malaria masih menjadi penyakit mematikan nomor satu. Menurut laporan Radio Australia tahun 2012 ada 413.000 kasus malaria di Papua meski menurut dinas kesehatan provinsi Papua jumlah ini mulai menurun di tahun 2013.
Nyamuk anopheles penyebab malaria asal Papua memang endemik, nyamuknya berbeda dengan nyamuk di daerah lain di Indonesia. Nyamuk ini memang sangat berbahaya bagi orang luar yang baru datang ke Papua, berbeda dengan warga lokal yang secara alami sudah punya antibodi dalam tubuhnya meski tetap saja beresiko kena malaria ketika ketahanan tubuhnya sedang menurun.
Ketika akan berangkat ke Papua, satu hal yang diwanti-wanti ke saya adalah mengkonsumsi pil kina untuk mencegah malaria. Apakah itu efektif? Entahlah, karena kata dokter sebanyak apapun pil kina yang kita konsumsi tetap tidak akan mempan karena nyamuk malaria di Papua memang endemik. Cara terbaik adalah menjaga daya tahan tubuh jangan sampai drop karena memudahkan nyamuk malaria menginfeksi kita.
Konon cara lain mencegah malaria adalah dengan memakan ulat sagu, salah satu makanan khas Papua yang masih membuat saya penasaran.
Papua Itu Sangat Indah. Sangat!
Ini mungkin fakta yang paling banyak disadari orang belakangan ini. Apalagi ketika Raja Ampat mulai menjadi primadona wisata Indonesia beberapa tahun belakangan. Beberapa kali ke Papua saya sama sekali belum menemukan alasan untuk membantah fakta ini. Papua memang indah!
Papua punya semua yang dibutuhkan manusia pencari keindahan alam. Mereka punya laut yang biru dan jernih, mereka punya gunung yang hijau menjulang, mereka punya sungai yang coklat dan mengular. Mau cari apalagi? Hampir semua bandara di Papua sudah menawarkan keindahan itu, belum lagi ditambah dengan langit Papua yang selalu terlihat biru dan jernih.
Satu sisi Danau SentaniSemua keindahan itu bisa ditermukan dengan mudah di sekitar kota-kota besar yang ada di Papua, ini karena memang kontur alam Papua yang dipenuhi perbukitan bahkan di daerah pesisir sekalipun. Jangan lupakan juga budaya mereka yang unik dan mungkin masih belum banyak terekspos. Singkatnya, Papua menawarkan banyak keindahan dan banyak cerita yang mengasyikkan untuk direkam dan diceritakan ulang.
Nah karena sekarang kalian sudah tahu lebih banyak tentang Papua, jadi kapan ke Papua? [dG]
Semoga suatu saya bisa berkunjung ke tanah pecahan surga itu. Tidak bisa membayangkan banyaknya objek human bisa difoto di sana 🙁
Dulu, sewaktu belum pernah ke papua, saya mengira semua orang papua pakai koteka. Ternyata saya salah, koteka hanya ada di jayapura.
Sekitar dua bulan tinggal di manokwari, tidak pernah liat kecelakaan lalu lintas, mungkin karena ada uang darah itu, lalu lintas jadi lebih aman. Tidak rugi pernah menginjakkan kaki di papua, bahkan rindu lagi mau kesana
Semoga ongkos transportasi ke Papua bisa semakin murah. *nabung*
Kapan bisa ke Papua…. (menghitung-hitungan receh tabungan)
Ah, saya jadi ingat seorang teman kuliah yang kebetulan berasal dari sana (kalau tidak salah dari Monokwari). Jujur saja saya masih suka takjub kalau melihat teman-teman dari timur ini. Takjub dengan cara bicara mereka yang khas, penampilan mereka yang menarik (mereka gak bisa lepas dari tas-tas khas milik mereka). Saya jadi penasaran bagaimana dengan kehidupan mereka ditempat asal :))
Mungkin maksudmu noken
semoga semua kehidupan di semua pelosok Papau akan semakin membaik.
saya pernah mendapati seorang putra asli papua seperjalanan ke siwa. dari ceritanya saya mendapati bahwa ia direkrut oleh PT Freeport, bahwa ia dan penduduk lainnya sudah cukup diperhatikan oleh PT Freepoort
pernah ketemu seorang putra asli papua seperjalanan ke siwa. dari ceritanya saya mendapati bahwa ia direkrut oleh PT Freeport, bahwa ia dan penduduk lainnya sudah cukup diperhatikan oleh PT Freepoort
ulasan yg bagus