Pikiran

Pro Kontra Valentino Jebret

Supriadi masih memberi prahara untuk keretakan rumah tangga kesebelasan Thailand! Sebuah umpan membelah selat Sunda, Sumatera. Jebret!


PARA PENIKMAT SEPAKBOLA tanah air pasti sudah akrab dengan ragam kalimat di atas. Kalimat yang keluar dari bibir Valentino Simanjuntak, komentator sepakbola yang sejak 2013 rajin menyambangi pemirsa menikmati pertandingan tim nasional Indonesia dan liga nasional. Belakangan kehadirannya mulai merambah ke cabang olahraga lain seperti bulutangkis. Khususnya di ajang Asian Games 2018

Valentino yang akrab juga disapa Valent awalnya adalah seorang presenter acara pencarian bakat di salah satu stasiun TV swasta nasional. Dia baru akrab dengan dunia sepakbola sejak gelaran piala AFF U-19 tahun 2013 lalu. Di saat itulah Valent tiba-tiba menjadi sangat terkenal di kalangan penikmat sepakbola tanah air. Kata pertama yang mengantarnya ke puncak ketenaran adalah “jebret”. Kata yang terlontar setiap kali pemain Indonesia melesakkan tendangan berbahaya ke gawang lawan. Kata “jebret” bahkan pernah bertengger di puncak trending topic Twitter Indonesia.

Valentino Simanjuntak alias Valentino Jebret

Di berbagai laman internet diceritakan kalau awalnya Valentino ingin memandu pertandingan seperti layaknya komentator liga Inggris atau Eropa, komentar play to play yang terkesan kalem. Tapi, pihak televisi waktu itu memintanya membawakan acara dengan gaya komentator Amerika Latin yang lebih heboh. Valentino kemudian memutar otak dan mulai mengadopsi gaya komentator Amerika Latin yang digabungkannya dengan gaya komentator penyiar radio.

Dia juga kemudian menyisipkan kata-kata yang akrab dengan sepakbola kampung, termasuk kata “jebret” yang fenomenal itu. Memang kalau mengamati gayanya kita akan menemukan gaya komentator yang mengomentari setiap gerakan pemain di atas lapangan, gerakan per gerakan. Bukan seperti gaya komentator Eropa yang lebih umum membahas pertandingan.

Di awal kemunculannya, Valentino mendapat banyak sekali sambutan positif. Penonton sepakbola tanah air merasa menemukan gaya baru yang membuat mereka terhibur. Buktinya, kata “jebret” sampai memuncaki trending topic Twitter. Berawal dari situ, rasa percaya Valentino semakin meningkat. Beragam kata baru ditemukannya dan dirangkai jadi kalimat-kalimat yang memberi nuansa baru pada sebuah tayangan sepakbola. Kadang terdengar sangat puitis dan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pertandingan.

Lupakan isitlah “umpan lambung”, karena Valentino sudah menggantinya dengan “umpan membelah lautan”, atau lupakan juga istilah “mengacak-acak pertahanan lawan”, Valentino menggantinya dengan istilah “memberikan prahara rumah tangga.”

Deretan kalimat unik dari Valentino

Bahkan ketika mulai merambah ke bulutangkis, Valentino juga melakukan hal yang sama: mengganti istilah umum dengan istilah baru yang dia ciptakan sendiri. Smes keras digantinya menjadi “pukulan menusuk sukma”, smes di antara dua pemain lawan digantinya jadi “pukulan membelah lautan.” Sungguh sesuatu yang baru.

****

KEHADIRAN VALENTINO SIMANJUNTAK sebagai komentator olahraga di televisi nasional Indonesia ini bagaimanapun mengundang pro dan kontra. Ada yang jelas-jelas menyukainya dengan alasan memberikan hiburan baru, membuat penonton lebih menikmati pertandingan dan memberikan keseruan baru. Tapi, ada juga yang tidak suka. Alasannya, Valentino terlalu berisik, mengganggu kenikmatan menonton dan komentarnya sama sekali tidak mendidik.

Pro kontra tentang gaya Valentino ini rasanya semakin menguat belakangan ini. Mungkin ketika baru muncul, hampir semua penonton masih menikmatinya sebagai sesuatu yang segar dan baru. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin banyaknya variasi kalimat dari Valentino, kenikmatan itu mulai hilang. Berganti dengan rasa bosan dan bahkan terganggu.

Pro
– Menghibur
– Lebih seru
– Kosakata baru

Kontra
– Terlalu berisik
– Tidak ada informasi penting
– Mengganggu kenikmatan

Buat saya sendiri, kehadiran Valentino ini pada awalnya memang menghibur. Kata-katanya lucu dan memang terasa segar dan berbeda di antara para komentator sepakbola Indonesia yang sebelumnya lebih kalem. Namun, lama kelamaan saya sepakat dengan mereka yang mulai bosan dan terganggu.

Deretan kalimat yang dikeluarkan oleh Valentino alih-alih membuat saya menikmati pertandingan, justru membuat saya kehilangan fokus pada pertandingan. Terdistraksi oleh kalimat-kalimat yang dilontarkannya. Apalagi istilahnya kadang sangat ajaib dan tidak ada hubungannya dengan pertandingan yang berlangsung.

Ketika menonton pertandingan bulutangkis tim Indonesia di Asian Games 2018, rasa terganggu itu semakin bertambah. Ada beberapa momen yang seharusnya menegangkan, tapi karena berisiknya Valentino sebagai komentator justru membuat saya kehilangan momen tersebut. Salah satunya adalah ketika terjadi rally panjang antar pemain. Saya lebih menyukai mendengar teriakan penonton yang mengiringi rally panjang tersebut dibanding komentar Valentino yang mengomentari setiap gerakan para pemain, lengkap dengan istilah-istilah ajaibnya.

Buat saya, sebuah pertandingan yang ditayangkan oleh televisi tidak seharusnya dikomentari gerakan per gerakan karena toh kita juga sudah melihatnya langsung. Saya lebih mementingkan komentator yang memberi gambaran umum terhadap pertandingan, bahkan kalau bisa memberikan informasi detail tentang pertandingan, pelaku, lokasi, atau bahkan pengadil yang bertugas. Akan lebih menyenangkan lagi bila komentator bisa memberikan tambahan informasi soal taktik atau minimal istilah umum yang dipakai dalam olahraga tersebut, alih-alih menciptakan istilah baru.

Tapi ini tentu saja soal selera. Mungkin saya lebih cocok dengan komentator macam Andy Gray atau John Motson, bukan dengan tipe seperti Valentino Simanjuntak. Tapi tentu saja ada yang justru merasa gaya Valentino lebih menarik. Selera tak harus sama, bukan?

Bagaimana dengan Anda? Lebih suka gaya Valentino atau gaya komentator Eropa? [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (6)

  1. Dulu pas zamannya Evan Dimas dkk di U19 masih suka gayanya. Tapi semakin ke sini malah tidak bisa menikmati pertandingan hehehehehe.
    Jadi kangen komentator-komentator dulu, kayak dengerin radio pas main sepakbola 😀

  2. Lebih ke annoying daripada menghibur menurutku, jengkel ma’ darinya dia komentator bola, eh melebarkan sayap ki ke badminton. Pakaballisik ribut-ribut annoying. Solusi saya mute ki hahahah.

  3. Hhahaa, belum nonton jadi belum bisa menentukan level annoyingnya ? tapi menurutku momen rally smash-smash-an saat pertandingan bulu tangkis itu adalah momen sakral dan khusuk, membayangkan suara konentator menutupi suara “eaaa eaaaa” dari penonton pasti annoying sih ?

  4. Kalau aku antara kesal dan lucu *netijen galau hehehe
    Sebenarnya, mengganggu emang kalimat yang kayak kalimat Vicky itu tiap kali nonton bola. Kayak kmren pas final U16, di momen gol : PAPUA, SAJOJO, SAJOJO, SAJOJO. He’s too much di pertandingan sepakbola, bikin momen yang mestinya haru jadi bete.
    Akulah nonton sambil melongo. Udah volumenya kenceng, dan nggak nyambung gitu, kzl dah.
    Nggak nyangka juga dia merambah ke badminton. Untungnya komen dia nggak sebanyak di sepakbola, ya dan masih diimbangi para komentator lain.

    Bagus gaya Valent, unik. Hanya saja kalau boleh sih kadarnya dikurangi kali, ya. Karena penonton pengin juga ada ‘jeda’ nggak denger suara komentator tapi suara di lapangan langsung.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.