Tragedi Sungai Adiu dan Salam Manis dari Kalimantan

Ketika bersiap naik katinting
Ketika bersiap naik katinting

Mengalami kejadian perahu terbalik di sungai itu ternyata sebuah pengalaman seru yang berkesan meski harganya juga mahal.

Kegiatan di desa Punan Adiu sudah selesai, kami masih sempat mengunjungi desa tetangga, desa Long Adiu. Selepas makan siang kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan, kali ini menuju desa Setarap, desa terakhir yang menjadi bagian dari perjalanan kami di Malinau, Kalimantan Utara.

Tidak mudah untuk mencapai desa Setarap. Dari Punan Adiu ada jalan darat, tapi kabar terakhir jalannya rusak parah dan tidak bisa dilewati mobil biasa. Harus mobil khusus atau truk, sementara mobil yang tersedia hanya Kijang Super keluaran tahun 1990an. Sebagian besar jalan yang menghubungkan desa-desa di Malinau memang kondisinya seadanya. Jalan itu sebenarnya buatan pabrik-pabrik kelapa sawit dan tambang batu bara sebagai jalur produksi mereka, tapi warga sekaligus juga menggunakannya sebagai jalan penghubung antar desa. Di musim hujan jalan menjadi sangat licin sementara di musim kemarau jalan menjadi sangat berdebu. Maklum, kondisinya sebagian besar tanah yang dikeraskan dengan pasir dan batu seadanya.

Karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan itu kami akhirnya memilih alternatif kedua menuju desa Setarap, melalui jalur sungai yang memang banyak mengular di sekujur tubuh Kalimantan.

Selepas makan siang kami dilepas warga Punan Adiu yang selama 3 hari 2 malam menjadi tuan rumah kami. Kepala adat sempat mempersembahkan tarian tradisional mereka yang sempat membuat saya merinding ketika merekamnya. Dengan hangat mereka mengantar kami ke dermaga dan naik ke atas katinting (perahu kecil) yang akan mengantar kami ke Setarap.

Perahu katinting itu tidak terlalu lebar, saya perkirakan lebarnya hanya sekisar 60 cm atau maksimal 80 cm. Tubuh katinting itu memang panjang, sekitar 2 meter lebih. Di belakang ada mesin penggerak bertungkai panjang dengan baling-baling di ujungnya.

Karena kami bertiga ditambah beberapa barang yang beratnya juga lumayan maka kami menyewa 2 katinting, saya duduk sendiri di katinting yang satu bersama sedikit barang-barang milik saya. Katinting yang satu lagi diisi dua orang anggota rombongan bersama barang-barang lain yang lebih berat.

Pertama naik saya sama sekali tidak kuatir, pikiran saya dipenuhi rasa penasaran. Dalam kepala saya terbayang serunya menyusuri sungai Kalimantan yang airnya cokelat itu, seperti bayangan di acara NatGeo yang biasa saya lihat. Makanya tanpa kuatir saya menyalakan satu kamera dan berniat merekam sepanjang perjalanan. Saya memercayakan sepenuhnya kepada tukang perahu kami.

Kamera yang satu lagi saya taruh di tas selempang yang saya simpan di atas paha. Saya memang membawa dua kamera DSLR, satu khusus buat foto dan satunya lagi untuk keperluan video.

*****

Katinting melaju dengan cepat di atas sungai Adiu yang lebar. Air tenang, di sisi kanan-kiri pohon-pohon besar dan kecil padat berdiri. Sesekali katinting kami berpapasan dengan perahu yang menarik kayu gelondongan. Saya asyik mengabadikan perjalanan, sesekali memotret, sesekali merekam video. Kapan lagi menyusuri pedalaman Kalimantan dengan katinting, pikir saya.

Matahari tertutup awan, perjalanan baru sekira 15 menit dari total 2 jam yang direncanakan hingga tiba di Setarap.

Di depan saya melihat ada semacam pulau yang berada di tengah sungai, di sisi kiri sebuah perahu menarik kayu gelondongan. Posisi perahu dengan kayu gelondongannya menutupi jalan dan membuat supir katinting kami mengambil sisi kanan yang airnya terlihat lebih deras. Saya asyik merekam, dalam kepala saya terbayang serunya melewati arus deras itu. Sama sekali tidak ada kekuatiran perahu akan terbalik.

Perlahan perahu kami mulai masuk ke arus yang deras itu (belakangan dari video saya baru tahu kalau arusnya berputar), saya masih asyik merekam ketika tahu-tahu saya merasa perahu terhempas ke kanan. Refleks saya memegang sisi perahu tapi terlambat, saya sudah terlempar ke sungai dengan satu tangan tetap memegang kamera.

Saya kaget luar biasa, tapi tidak ada teriakan berlebihan yang keluar dari mulut. Kala itu saya sama sekali tidak memikirkan keselamatan saya, yang terpikir hanya kamera di tangan dan kamera satu lagi yang ada di dalam tas. Sempat terendam sejenak sebelum saya berdiri, ternyata airnya tidak terlalu dalam. Hanya sekira 1.2 m atau setinggi pinggang saya.

Harusnya saya menyelamatkan tas yang berisi kamera, tapi otak saya memberi perintah yang berbeda. Saya malah sibuk mengurusi perahu yang terbalik dan mulai diseret arus, sementara tukang perahu yang masih muda itu memunguti tas dan barang-barang yang tercebur dan diseret arus. Semua barang yang bisa diselamatkannya dibawa ke daratan yang menyerupai pulau di tengah sungai itu. Saya baru melepaskan perahu ketika dia kembali dan membantu saya.

Dengan tubuh dan tas yang basah kuyup saya naik ke daratan. Saya akhirnya bisa berpikir waras dan langsung memikirkan kamera yang terendam air. Dengan cepat saya mengeluarkan kamera Canon 60D itu dari tas, basah kuyup! Ketika kamera saya tunggingkan air mengalir dari dalam badannya. Cepat lensa saya lepas dan kamera saya jemur.

Sementara Canon 650D yang tadi saya pegang ternyata masih berfungsi dengan baik. Saya mengetesnya dan Alhamdulillah tidak ada masalah. Meski begitu saya tetap kuatir, kamera itu saya jemur juga.

Katinting yang satu kemudian merapat dan penumpang serta pengemudinya menghampiri saya dengan wajah cemas. Saya tidak mempedulikan mereka, saya buru-buru mengecek laptop yang ada di tas punggung yang sepertinya sempat jatuh ke dalam air. Ketika saya keluarkan dari tas, laptop itu seperti sudah penuh dengan air, dari sisi dalamnya air mengalir keluar. Baterenya saya lepas dan seperti kamera yang tadi, laptop juga saya jemur.

Belakangan saya baru sadar di kantong saya ada handphone yang belum diselamatkan. Saya sudah kuatir handphone ini keadaannya paling parah karena dia sempat terendam cukup lama. Luar biasanya Samsung S4 ini ternyata baik-baik saja, masih menyala dengan riang gembira. Meski begitu tetap saja dia sama matikan, batere saya copot dan saya jemur seperti dua koleganya yang lain.

Menjemur semua yang sempat terendam air
Menjemur semua yang sempat terendam air

Kejadian itu berlangsung singkat dan sangat cepat. Waktu itu sama sekali tidak ada perasaan kuatir atau emosi yang berlebihan. Saya merasa tetap tenang, berharap semua akan baik-baik saja setelah dijemur. Kejadian itu juga membuat kami harus mengubah rencana, kami terpaksa turun ke kota Malinau dulu menenangkan diri semalam sebelum kembali menuju desa Setarap sehari kemudian.

Di Malinau saya kembali mencoba semua kamera, laptop dan handphone. Hanya Samsul (panggilan sayang saya pada Samsung S4 itu) yang bisa kembali normal, itupun setelah beberapa kali layarnya mati total meski kondisinya menyala. Canon 60D dan laptop? sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan lagi. Saya akhirnya pasrah, satu-satunya harapan yang tersisa adalah membawanya ke tukang servis setibanya di Jakarta nanti.

*****

Pengalaman terbalik dan tercebur ke sungai Adiu ini memang menegangkan dan bahkan menelan korban materi yang tidak sedikit, tapi syukur karena saya masih sehat wal afiat. Saya sudah pernah menderita musibah yang lebih buruk dari ini dengan keadaan yang juga lebih buruk, mungkin ini yang membuat saya tetap tenang ketika kejadian itu berlangsung.

Dua minggu kemudian Canon 60D saya memang bisa normal kembali, tapi tidak dengan laptop saya. Saya harus merelakannya karena kata teknisinya terlalu banyak bagian yang korslet. Ini mungkin karena kesalahan saya yang sempat memaksanya menyala di malam setelah kejadian itu.

Tapi meski berkorban banyak saya sama sekali tidak menyesal. Pengalaman meneliti di pedalaman Kalimantan harganya jauh lebih besar dari musibah itu. Saya boleh kehilangan laptop, tapi saya dapat banyak sekali kesempatan, pengalaman dan ilmu yang saya yakin harganya sangat mahal. Musibah itu juga bagian dari resiko pekerjaan dan tentu saja pelajaran penting untuk selalu berhati-hati membawa barang elektronik ketika turun ke air. Setidaknya saya masih hidup dan bisa menceritakan kisah ini dengan senyum tersungging.

Dalam hati saya menganggap kejadian itu sebagai salam manis dari tanah Kalimantan. Dan saya baru tahu kalau nama katinting yang saya naiki adalah: air mata ibu! [dG]

Video kejadiannya ada di sini: