Pikiran

Sekitar Rumahku Adalah Sekolah

Yang jelas ini bukan sekitar rumahku (foto by: Google)
Yang jelas ini bukan sekitar rumahku (foto by: Google)

Tanpa kita sadari, sebagian besar dari karakter kita dibentuk oleh lingkungan sekitar. Termasuk lingkungan sekitar rumah.

Seumur hidup total saya sudah 7 kali pindah rumah, sejak masih ikut dengan orang tua sampai saat ketika sudah memisahkan diri. Jumlah ini sepertinya masih akan bertambah entah berapa kali. Lingkungan yang paling lama saya akrabi adalah sekitar 14 tahun, dari masa masuk SD hingga menjelang lulus STM. Secara tidak sadar, lingkungan ini yang paling banyak mempengaruhi kehidupan saya.

Saya lahir dan besar dari keluarga yang kolot. Ketika kecil saya tinggal di sebuah daerah yang jauh dari kota, setidaknya untuk ukuran saat itu. Lingkungan sekitar saya adalah anak-anak Makassar yang sehari-harinya masih hidup dalam lingkungan tradisional. Berbahasa Makassar sebagai bahasa pengantar sehari-hari, bermain di sawah atau kebun dan melakukan semua yang biasa dilakukan anak-anak kampung.

Saya masih ingat, orang tua sangat membatasi pergaulan saya dengan mereka. Saya tidak bebas bermain bersama anak-anak kampung itu. Bahkan sayapun dilarang ikut-ikutan berbahasa Makassar seperti mereka. Orang tua tidak mau saya lebih menguasai bahasa daerah daripada bahasa Indonesia yang dianggap lebih mentereng dan melambangkan kecerdasan. Suatu hal yang sekarang buat saya menggelikan.

Saya juga masih ingat bagaimana suatu hari seorang paman dari pihak ibu membanggakan kecerdasan saya di depan anak-anak kampung itu. Sejak TK saya sudah bisa membaca (sesuatu yang sekarang sudah lazim) dan itu termasuk sesuatu yang tidak umum bagi anak-anak kampung. Saya lupa bagaimana reaksi anak-anak kampung itu ketika saya membaca buku cerita di depan mereka dan paman saya tersenyum bangga. Saya juga lupa apakah ketika itu saya ikut bangga atau biasa-biasa saja.

Masa di kampung itu tidak lama, ketika memasuki masa SD saya pindah ke tempat yang lebih dekat dari kota. Tepatnya lebih dekat ke tempat kerja bapak, sebuah kompleks milik kantor tempat bapak bekerja. Di sanalah saya menghabiskan waktu 14 tahun dan berkawan akrab dengan beberapa orang yang tinggal sekompleks.

Lingkungan baru ini mengajarkan banyak hal kepada saya. Dari teman-teman baru saya bisa menikmati masa kecil yang polos. Bermain bola di lapangan luas, masuk hutan mencari mangga, ubi kayu dan buah-buahan lain. Bergaul dengan penggembala kerbau, bermain sapi dan banyak lagi permainan yang akrab dengan alam. Kompleks kami berada di depan rimbunan pohon dan kebun serta hamparan sawah. Di sanalah kami biasa menghabiskan waktu, berfantasi seolah-olah kami adalah penakluk yang menjelajahi hutan rimba.

14 tahun bukan masa yang singkat meski saya akui di masa itu pergaulan saya juga tidak terlalu luas. Jarak rumah dari pusat keramaian sangat jauh, ditambah lagi kondisi perumahan kami yang tidak terlalu ramai sehingga saya tidak terlalu banyak bergaul dengan anak-anak kota.

Tapi saya tidak menyesalinya. 14 tahun di lingkungan yang sederhana dan bergaul dengan anak-anak kampung setidaknya sedikit menyelamatkan masa muda saya. Saya tidak sempat tumbuh sebagai anak yang nakalnya berlebihan. Kenakalan kecil adalah hal yang wajar, tidak sampai harus berurusan dengan obat terlarang, minuman keras apalagi pihak berwajib.

Anak-anak kampung yang jadi teman saya sebagian besar adalah anak baik-baik meski tidak juga bisa digolongkan sangat baik. Mereka juga cukup nakal, tapi mereka tahu batasan. Aneh juga, karena lingkungan kami termasuk tempat yang menyeramkan. Antang di tahun 80an dan 90an adalah tempat yang masih dianggap seram karena jauh dari kota, sepi di malam hari dan termasuk produsen ballo, minuman keras khas Makassar.

Orang bilang masa remaja adalah masa yang paling menentukan dalam kehidupan seseorang. Saya harus mengamininya. Masa remaja saya dilewatkan di sebuah tempat yang sebenarnya menyeramkan, tapi beruntung karena saya bertemu dengan teman-teman yang tidak menyeramkan. Mereka yang saya kenal adalah teman-teman yang baik, teman-teman yang memperkenalkan banyak hal dan mengajarkan banyak hal kepada saya.

Lingkungan adalah sekolah, kalau kita memang mau belajar. Dari lingkungan kita bisa menyerap apa yang bisa kita serap. Lingkungan mengajarkan kita tentang kehidupan walau mungkin kita tidak menyadarinya. Ada hal yang baru kita sadari bertahun-tahun setelah hal itu terjadi.? Itu yang saya rasakan ketika mengenang kembali masa 14 tahun hidup dalam sebuah lingkungan di masa remaja.

Saya percaya ketika orang bilang kalau sekitar rumah kita sesungguhnya adalah sekolah. Sekolah kehidupan yang tidak pernah membuat kita lulus karena kita harus terus belajar.

Bagaimana dengan lingkunganmu? [dG]

..

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. saya juga beruntung besar di perkampungan. Disekitar sih kampung betawi. Masa kecil so so, gak bergejolak hihihi~

    Masa remaja baru ada gejolak dikit, mungkin krn sy anak yg introvert jd gak terlalu banyak maunya kali yah 😀

  2. deket rumah ku juga sekolah… SD Sarikarya. 🙂

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.