Pikiran

Pelangi, Pelangi Alangkah Indahmu

Pelangi, Pelangi. Alangkah Indahmu [foto: Wikipedia]
Pelangi, Pelangi. Alangkah Indahmu [foto: Wikipedia]

Efek legalitas pernikahan sejenis di 50 negara bagian Amerika Serikat terasa bahkan sampai ke Indonesia.

JUMAT 26 JUNI 2015, berita mengejutkan datang dari negeri Paman Sam. Kongres negara tersebut mengesahkan undang-undang untuk melegalkan pernikahan sejenis di semua negara bagian Amerika Serikat. Berita ini diterima dengan suka cita oleh banyak kalangan. Pertama tentu saja para pasangan gay dan lesbian yang sudah bertahun-tahun mendambakan datangnya masa tersebut. Sisanya adalah para pendukung yang meski straight tapi menaruh simpati pada fenomena perbedaan orientasi seksual ini.

Suka cita itu menyeruak kemana-mana, berkelindan dengan sinisme dan pertentangan dari mereka yang tidak setuju. Alasannya tentu saja agama dan moral. Perbedaan orientasi seksual itu sudah lama dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang menyalahi tatanan moral dan ajaran agama. Pertentangan ini pula yang muncul bahkan sampai ke ranah media sosial.

Facebook sebagai media sosial dengan pengguna terbanyak ikut serta dalam perayaan dan pertentangan itu. Mereka memudahkan para penggunanya untuk menambahkan foto profil dengan warna-warna pelangi. Sejak tahun 1978 warna-warna pelangi memang digunakan oleh pelaku dan simpatisan LGBT sejak diperkenalkan oleh seniman Gilbert Baker. Warna-warni dipilih sebagi lambang pergerakan mereka karena dianggap menggambarkan banyaknya ragam warna dalam dunia LGBT. Warna inipun mengalami evolusi berkali-kali sampai saat ini tersisa 6 warna saja. Dan warna inilah yang digunakan Facebook sebagai bentuk dukungannya.

Tiba-tiba saja di ranah Facebook banyak pengguna yang menambahkan warna-warni pelangi di foto avatarnya. Sebagian karena memang mendukung dan ikut merayakan legalitas pernikahan sejenis itu, sebagian lagi karena tidak tahu dan hanya ikut-ikutan karena tertarik pada warna-warni yang cerah ceria itu.

Tiga hari berselang dan sayup-sayup kontroversi dan pertentangan atas keputusan kongres AS itu masih ramai di media sosial, apalagi di Facebook. Sesekali saya masih menemukan perdebatan antara yang pro dan yang kontra, tentu saja ayat-ayat dari kitab suci beragam agama ikut di dalamnya.

Tiga hari berselang dan saya masih teguh pada pendirian saya meski tidak tertarik untuk ikut riuh mendebatkannya di media sosial.

*****

SAYA LAHIR DAN BESAR DALAM LINGKUNGAN KELUARGA ISLAM KONSERVATIF. Orang tua saya, utamanya keluarga dari ibu adalah pemeluk Islam garis keras. Sejak kecil saya terbiasa hidup dalam lingkungan yang kurang berkompromi pada ajaran-ajaran yang tidak sesuai syariat. Jangankan modernisasi semacam legalitas pernikahan sejenis, ritual-ritual yang dianggap sebagai budayapun tak diterima keluarga saya. Saat kecil dan beranjak remaja saya merasa tumbuh dengan rasisme yang kental. Susah bergaul dengan orang yang tak sepaham, apalagi dengan yang beda agama dan beda etnis.

Hingga kemudian perjalanan hidup banyak mengubah pandangan saya. Perlahan-lahan saya mulai lebih terbuka, menerima perbedaan dan bisa mencari harmonisasi yang nyaman. Saya tak lagi tumbuh sebagai orang yang hanya merasa diri dan golongan sendiri yang benar. Tapi di sisi lain saya tetap memegang teguh ajaran agama yang saya percayai meski saya akui saya tidak sholeh-sholeh amat.

Saya tetap berpegang teguh pada keyakinan saya kalau saya tidak setuju dan tidak sepaham dengan pernikahan sejenis. Landasan saya tentu saja agama yang saya anut. Agama yang sudah diajarkan kepada saya sejak kecil dan masih terus menancap dalam hati sampai detik ini.

Tapi, saya juga berpegang pada keyakinan kalau saya belum berhak mengatur orang lain. Menjadi penyuka sejenis apalagi sampai menikah dengan sesama jenis saya percaya adalah sebuah pilihan. Para pemilihnya adalah orang yang beragam, bukan hanya datang dari orang yang agama dan kepercayaannya sama dengan saya. Merekapun saya yakin sudah cukup dewasa untuk memilih apa yang terbaik bagi hidup mereka.

Memilih menjadi LGBT adalah pilihan yang diikuti banyak resiko, idealnya mereka harus sudah paham dengan itu semua. Termasuk resiko pertanggungjawaban ke Sang Maha Penguasa. Buat saya itu jadi urusan mereka, jadi resiko mereka karena toh mereka sudah memilih.

Sekali lagi saya tetap pada pendirian saya untuk tidak sepakat dengan pernikahan sejenis karena saya juga punya alasan. Tapi saya tetap menghormati mereka yang memilih jalan berbeda. Sayapun tak hendak memvonis mereka sebagai penghuni neraka, karena mungkin saja sayapun sama dengan mereka. Karena saya tidak sholeh-sholeh amat.

Sampai detik ini saya menikmati pelangi-pelangi di Facebook itu, saya menikmati debat-debat yang sesekali masih melintas di lini masa saya. Sesekali saya bersenandung; pelangi, pelangi..alangkah indahmu. [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (5)

  1. Pasang Ava pelangi deh om supaya kekinian :))

  2. iya setuju.

    Aku memang bukan expert dlm agamaku, tp cerita ttg Nabi Luth itu ada, dan juga diyakini oleh agama2 lain. Apa orang2 sudah lupa, atau memang sudah tidak beragama lagi ?

  3. Ooh 6 warna, ya … baru tahu … TFS, Daeng

  4. aku juga baru tahu soal pelangi ini.
    setuju sama nining, mungkin sudah tidak berpegang kepada agamanya.
    tapi kadang film yang lesbi itu menarik juga

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.