Pikiran

Lika-Liku dan Sejarah Berhaji Orang Indonesia

Makkah jaman dulu
Makkah jaman dulu

Ada yang sangat membanggakan gelar hajinya, bahkan sampai tersinggung atau marah ketika gelar itu dihilangkan dari namanya.

“DI DALAM KI BU HAJI.” Dengan takzim si tuan rumah mempersilakan seorang wanita setengah baya yang baru saja datang. Wanita yang disambut itu tampak sumringah, senyuman lebarnya mengembang. Dengan langkah tegas dia masuk ke dalam ruangan, melewati belasan wanita lain yang sudah duduk bersimpuh sekeliling tembok. Tatapan hormat mengguyur si Ibu Haji yang berpakaian dominan warna cerah lengkap dengan penutup kepala bersepuh benang emas dan kerudung berwarna senada. Gelang, cincin dan kalung berwarna keemasan melengkapi dandanannya.

Fragmen di atas adalah kejadian yang sangat mudah ditemui di kampung-kampung. Bagaimana seorang yang bergelar Haji mendapat penghormatan yang berlebih dari warga sekitar. Haji adalah penentu derajat sosial, dengan gelar Haji maka otomatis derajat sosial seseorang akan langsung meningkat melebihi derajat sosial warga lainnya yang belum sempat menyentuh tanah haram di Mekkah.

Haji sejatinya adalah sebuah ibadah wajib bagi umat Muslim. Pelengkap 4 rukun Islam lainnya. Haji adalah ibadah yang berat, pelakunya tak hanya harus punya fisik dan mental yang kuat, tapi sekaligus punya modal yang banyak. Utamanya mereka yang berada jauh dari jazirah Arab seperti orang Indonesia.

Mereka yang mampu menunaikan ibadah haji dianggap punya kelebihan, utamanya kelebihan materi yang membuat mereka bisa menunaikan panggilan, berhaji ke tanah suci. Soal apakah kelak dia akan menjadi muslim yang khaffah, itu urusan kedua. Orang Indonesia masih lebih memilih memilah dari sisi materi, bukan dari yang non-materi.

*****

SEJARAH PANJANG BERHAJI ORANG INDONESIA sudah ada sejak beratus tahun yang lalu, bahkan sebelum bangsa Eropa datang. Ulama-ulama Nusantara dan bahkan raja-raja Nusantara sudah tercatat menjalankan ibadah haji. Jumlahnya terus bertambah dari masa ke masa meski memang pelakunya jelas-jelas orang yang punya kelebihan materi mengingat beratnya perjalanan haji kala itu.

Menurut Martin Van Bruinessen dalam Seeking Knowledge and Merit:Indonesia on the Haj, pada akhir abad ke-XIX atau awal abad XX jumlah jamaah haji asal Indonesia berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh jamaah haji kala itu. Jumlah ini makin bertambah kala memasuki abad ke 20 atau sebelum masa kemerdekaan. Di tahun 1920 ditaksir jumlah jemaah haji asal Indonesia (atau Nusantara kala itu) mencapai angka 40% dari total jemaah haji dunia.

Mereka yang berhaji kala itu tentu saja mengandalkan kapal laut sebagai moda transportasi utama. Kapal laut itu tidak selamanya adalah kapal penumpang karena sebagian adalah kapal dagang yang sekaligus juga mengantar para jemaah ke tanah suci. Perjalanan haji bisa dilakukan selama berbulan-bulan, tak jarang sampai menelan korban jiwa mereka yang tak siap mental dan fisik mengarungi samudera luas.

Karenanya para jemaah yang berangkat haji secara tersirat sudah direlakan oleh keluarga yang ditinggal. Jemaah yang berangkat akan diantar sanak-saudara dan bahkan tetangga, tentu dengan hati yang lapang dan keharuan mendalam. Kebiasaan ini tetap bertahan sampai sekarang, utamanya di daerah yang masih belum sepenuhnya tersentuh modernisasi. Satu jemaah bisa diantar belasan hingga puluhan orang.

Perjalanan haji yang berat dan memakan waktu panjang itu kadang dimanfaatkan beberapa dari jemaah untuk sekalian menetap lebih lama di tanah Arab. Entah untuk mempertebal iman dan menambah ilmu ataupun menetap untuk berdagang.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian mengambil alih pelaksanaan haji dan membuatnya lebih teratur. Di akhir abad 19, pemerintah Belanda menyiapkan beberapa kapal yang khusus mengantar para jemaah haji Indonesia. Kebijakan ini memengaruhi tingkat ketertarikan orang Indonesia untuk berangkat haji. Tahun 1895 tercatat 11.788 jemaah haji Indonesia yang berangkat ke tanah suci. Kemudian jumlah tersebut naik menjadi 14.234 orang pada tahun 1910. Jumlah ini sempat mengalami penurunan drastis di tahun 1915 karena mahalnya harga barang impor waktu itu.

Gejolak perang dunia II dan guncangnya stabilitas ekonomi dan politik membuat jumlah jemaah haji dari Indonesia kembali menurun di beberapa dasawarsa berikutnya. Tahun 1945 dikabarkan hanya ada sekisar 5000 orang jemaah haji asal Indonesia.

Setelah kemerdekaan, pengaturan pemberangkatan jemaah haji kemudian diambil alih oleh pemerintah Indonesia, dimulai sejak tahun 1948 yang ditandai dengan pertemuan antara K.H Moh. Adnan selaku delegasi Indonesia dengan Raja Arab Saudi, Ibnu Saud. Sampai akhir tahun 1970an, perjalanan haji dari Indonesia masih dilakukan dengan kapal laut sebelum kemudian dihapuskan sama sekali dan diganti dengan pesawat terbang.

*****

TINGGINYA MINAT ORANG INDONESIA untuk melaksanakan ibadah haji ke tanah suci ternyata memusingkan pemerintah Hindia-Belanda kala itu. Banyak dari para jemaah haji yang sepulangnya ke tanah air justru makin menggelorakan semangat perlawanan kepada Belanda. Satu persatu pemberontakan berkobar di Nusantara, sebagian besar dihembuskan oleh alim ulama atau kyai yang baru pulang berhaji.

Untuk mengatasi itu pemerintah Hindia-Belanda berkali-kali menerbitkan aturan pembatasan keberangkatan haji di tahun 1825, 1831 dan 1859. Bahkan sejak tahun 1872 pemerintah Hindia-Belanda membangun konsulat di Jeddah yang tujuan utamanya juga untuk mengawasi dan memantau kegiatan jemaah haji Nusantara.

KH. Agus Salim pernah menjadi pejabat konsulat Hindia-Belanda di Jeddah antara tahun 1906-1911. Dia yang sebenarnya sudah mulai kehilangan kepercayaan pada ajaran Islam justru merasa mendapatkan hidayah di tanah suci. Di sana, selain menguatkan kembali keimanannya, KH Agus Salim juga sekaligus menebalkan rasa nasionalismenya menentang penjajahan Belanda.

Untuk memudahkan pemantauan atas jemaah haji yang tiba di tanah air, Agus Sunyoto-seorang arkeolog Islam Indonesia mengatakan bahwa sejak tahun 1916 pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan keputusan. Keputusan ini berisi kewajiban kepada semua jemaah haji yang tiba di tanah air untuk menggunakan gelar “Haji”. Gelar ini memudahkan pemerintah Hindia-Belanda untuk mengontrol para haji yang kadang menjadi motor pergerakan melawan pemerintah.

Keharusan menggunakan gelar Haji ini kemudian menjadi kebiasaan yang masih terus digunakan sampai sekarang secara turun temurun. Mereka yang baru saja berhaji akan senang menuliskan gelar itu di depan nama mereka. Beberapa bahkan merasa tersinggung ketika gelar haji mereka tidak ditulis atau disebutkan. Begitu pentingnya gelar haji bagi mereka.

Terlepas dari esensi ibadahnya, haji memang sudah –dan tetap-menjadi satu penanda status sosial bagi banyak orang Indonesia. Gelar haji membuat mereka menjadi naik beberapa tingkat, tak peduli sifat dan keseharian mereka memang selaras dengan gelar itu atau tidak. [dG]

**dari berbagai sumber**

 

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. Nice share daeng …
    Kalau ndak salah dalam buku Tere Liye yg judulnya “Rindu”
    Bercerita ttg perjalanan haji naik kapal laut.
    Sallona ditayang di’ ?(???;)?
    Mungkin itu yg bikin mereka sejak dlu membanggakan gelar haji
    Perjuangan perjalanannya juga.
    Saya kalau ke pasar sentral belanja. Banyak2 aamiin ku
    Penjualnya selalu bilang ” pilihmaki A’ji ”
    ?(¯???)

  2. dan karena banyaknya kapal-kapal jamaah haji yang hendak ke makkah mampir dulu di aceh kala itu, jadilah aceh mendapatkan gelar Serambi Makkah.
    beberapa situs yang memperkuat perihal ini sekarang sudah susah di temui.

    oh ya satu lagi daeng, beberapa calon pejabat ataupun calon anggota dewan, mereka sepertinya berusaha menjual “haji”nya demi biar di pilih 😀

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.