Pikiran

Kado Indah Di HUT RI ke-71

Owi dan Butet (foto: Kompas)
Owi dan Butet (foto: Kompas)

Emancipate yourself from mental slavery, none but our self can free our mind.

Beberapa menit menjelang pergantian hari waktu Indonesia barat, nun jauh di Rio De Jenairo, Brazil, pasangan ganda campuran Indonesia Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir akhirnya memastikan satu emas (dan mungkin satu-satunya) buat kontingen Indonesia. Indonesia kembali menjalani tradisi emas dari cabang bulutangkis setelah sempat pulang tanpa emas di olimpiade 2012 lalu.

Gegap gempita perjuangan Tontowi/Liliyana yang kerap disapa Owi dan Butet ikut memenuhi lini masa di berbagai media sosial. Dari Facebook, Twitter hingga Path. Ramai orang Indonesia berteriak di sana, memberi dukungan meski suaranya tak terdengar.

Ketika akhirnya Owi/Butet resmi berkalung medali emas dan lagu Indonesia Raya berkumandang, para pengguna media sosial di Indonesia lalu buru-buru menggumamkan keharuan. Haru mendengar lagu kebangsaan kita bergema nun jauh di Brazil sana. Harus saya akui, mendengar lagu Indonesia Raya dikumandangkan, lalu dilengkapi dengan wajah haru Owi yang bahkan berurai air mata, dada juga terasa membuncah. Sesak oleh rasa haru.

Dalam esainya pagi ini, Zen RS menuliskan betapa kita harus berterimakasih pada bulutangkis. Selama puluhan tahun, cabang olahraga itu selalu berhasil mengharumkan nama bangsa. Dari berbagai ajang, mulai dari All England, Thomas dan Uber Cup, ajang olahraga regional Asia Tenggara dan Asia hingga Olimpiade, bulutangkis selalu berhasil membuat lagu Indonesia Raya berkumandang dan merah-putih berkibar.

 

 

Tapi, di balik semua prestasi dan prestise yang dibawa bulutangkis, masih saja tertinggal cerita tidak mengenakkan dari para pemainnya, utamanya mereka yang berasal dari etnis Tionghoa. Susi Susanti, yang adalah peraih medali emas pertama buat Indonesia di Olimpiade 1992 masih harus lintang pukang ketika mengurus dokumen pernikahannya. Pasalnya, Susi Susanti yang keturunan Tionghoa masih harus mengurus surat keterangan yang menyatakan kalau dia adalah warga negara Indonesia.

Lucu, karena sudah jelas bahwa tahun 1992 Susi Susanti berdiri di Barcelona, berjuang untuk merah putih, lalu membuat lagu Indonesia Raya berkumandang, tapi kewarganegaraannya masih dipertanyakan. Semua hanya karena matanya sipit dan kulitnya putih.

Hal yang sama juga masih dirasakan pebulutangkis yang lain seperti Christian Hadinata dan Ivanna Lie. Keduanya adalah kunci manisnya nama Indonesia di panggung bulutangkis dunia tahun 1970an hingga 1980an, tapi mereka toh masih menghadapi masalah yang sama; kewarganegaraan yang dipertanyakan. Lalu, jerih payah mereka sebenarnya untuk siapa?

*****

Keberhasilan Owi/Butet tepat di hari ulang tahun Indonesia yang ke-71 sesungguhnya adalah gambaran yang tepat tentang Bhinneka Tunggal Ika. Mereka berdua mewakili gender yang berbeda, mewakili etnis yang berbeda, mewakili agama yang berbeda. Tapi, mereka meminggirkan itu semua, lalu berjuang untuk satu nama: Indonesia.

Kemenangan Owi/Butet adalah gambaran penting bagaimana bangsa ini seharusnya berjuang. Di masa ketika perbedaan ras dan agama begitu mudah disulut dan dijadikan alasan untuk saling membunuh, mereka berdua justru menunjukkan dengan manis bagaimana perbedaan itu diolah menjadi sebuah senjata. Senjata yang menyatukan jutaan orang Indonesia dalam gegap gempita yang sama dan keharuan yang tak berbeda.

Kemenangan Owi/Butet seperti sebuah tamparan kepada mereka yang sampai saat ini masih rajin mempermasalahkan perbedaan. Tamparan keras untuk mereka yang masih suka melihat perbedaan itu sebagai alasan untuk perpecahan. Bukan sebagai alasan untuk memberi lebih banyak warna buat republik ini.

Kemenangan Owi/Butet seperti sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, datang tepat di hari ketika negeri ini sedang berulangtahun, sedang menghitung kembali jejak perjalanan panjang selama 71 tahun dan sedang menghitung kembali berapa banyak kerusakan yang timbul karena perbedaan. Iya, entah kenapa belakangan ini perbedaan yang dulunya jadi warna indah Indonesia malah menjadi menyeramkan. Menyeramkan karena bisa dipakai sebagai alasan untuk merusak.

Malam itu, Owi/Butet memperlihatkan kalau perbedaan itu justru harusnya disatukan. Disatukan dan dijadikan alat untuk sama-sama berjuang, mengharumkan nama bangsa. Owi dan Butet memang berbeda segala-galanya, tapi mereka masih punya kesamaan; sama-sama mencintai bulutangkis dan sama-sama punya semangat untuk mengharumkan nama bangsa.

Lalu, kenapa kita tidak menirunya?

Coba lihat di sekitar kita, mencari perbedaan itu mudah, tapi mencari kesamaan juga tidak sulit. Kenapa kita tidak berusaha mengesampikan perbedaan dan kemudian menyatukan kesamaan saja? Kata Aa Gym, kalau ketemu orang cobalah cari kesamaannya dengan kita. Kalau bukan agamanya, rasnya, setidaknya kita sama-sama manusia. Itu sudah cukup untuk jadi alasan untuk tidak saling menyakiti.

Kemenangan Owi/Butet adalah kemenangan kita semua yang mencitai perbedaan. Kemenangan Owi/Butet adalah kado manis untuk Indonesia, tepat di hari ulang tahun Indonesia. Mereka memberi bukti kalau perbedaan, jika disatukan dengan semangat yang sama justru bisa mengharumkan nama negeri.

Maju terus Indonesia! [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. Sayangnya hanya sedikit yang mau memahami perbedaan…

  2. Selamat kepada Owi dan Butet, saya berharap semoga prestasi badminton Indonesia semakin bagus lagi kedepannya.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.