Pikiran

Gus Dur Yang Saya Tahu

Gus Dur
Gus Dur

Menjelang akhir tahun kemarin di linikala twitter ramai tentang peringatan hari berpulangnya Gus Dur tanggal 30 Desember. Tiba-tiba saya jadi ingin menulis kesan tentang presiden keempat Indonesia ini.

Saya lupa kapan pertama kali mendengar namanya, mungkin sekisar akhir tahun 1980an kala saya masih bocah berseragam putih merah. Kalau tidak salah ingat saya pertama mendengar namanya disebut ketika beliau memantik kontroversi karena ingin mengganti ucapan Assalamu Alaikum dengan kalimat Selamat Pagi. Berita itu kalau tidak salah saya baca di majalah Tempo, hampir bersamaan dengan kontroversi lain ketika Nurcholis Majid mengartikan salah satu kalimat syahadat sebagai: tiada tuhan selain Tuhan itu sendiri.

Tapi saya masih sangat kecil waktu itu sehingga kontroversi yang membawa-bawa nama Gus Dur itu sama sekali belum menarik buat saya. Saya baru melihat wajah Gus Dur ketika dia muncul di TVRI, tepatnya di ajang piala dunia Italia 1990. Gus Dur muncul sebagai komentator, rupanya dia memang penggemar sepakbola.

Tapi pengetahuan saya tentang Gus Dur untuk sementara berakhir sampai di situ. Meski dia mulai makin rajin dibicarakan orang khususnya di dunia politik, tapi saya belum tertarik pada dunia politik waktu itu. Sampai kemudian Gus Dur benar-benar jadi konsumsi publik ketika namanya masuk ke bursa calon presiden selepas reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto.

Tahun 1999 tiba-tiba nama Gus Dur melesat bersama nama-nama lain seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputri dan Akbar Tandjung. Mau tidak mau saya yang awalnya tidak terlalu tertarik pada dunia politik ikut juga menyimak detik demi detik perkembangan peta politik tanah air waktu itu. Dalam satu dasawarsa terakhir sepertinya tahun 1999 adalah tahun ketika politik benar-benar jadi konsumsi warga, mulai dari gedung mentereng dan berpendingin ruangan hingga warung sederhana di pinggir jalan. Banyak orang yang tiba-tiba jadi pengamat politik, berbicara dengan mulut berbusa dan semangat menggebu, memberikan analisa peta politik yang saat itu sedang panas. Bergelas-gelas kopi dan berbatang-batang rokok larut dalam perbincangan politik yang salah satunya membawa-bawa nama Gus Dur. Saya juga sempat ikut dalam euforia itu.

“Lihat betapa besarnya kuasa Tuhan. Gus Dur yang buta saja bisa jadi presiden.” Ucap seorang ibu warung di proyek tempat saya dulu mencari makan. Iya, Gus Dur yang kala itu memang mulai mengalami gangguan penglihatan ternyata bisa terpilih sebagai presiden. Masyarakat menyambutnya dengan suka cita, setumpuk harapan dititipkan di bahu Gus Dur untuk membawa negeri ini ke titik yang lebih baik.

Tapi ternyata tidak semudah itu. Gus Dur yang ceplas-ceplos mulai ramai memantik kontroversi lewat beberapa pernyataannya. Tahun 2000 saya sedang di Jakarta dan sedang tidak mengikuti perkembangan politik ketika mendengar kabar Gus Dur mau mencabut tanda larang yang disematkan pada ideologi komunis. Rakyat Indonesia yang terlanjur dicekoki dengan cerita tentang bahayanya ideologi komunis tentu saja langsung bergolak. Seingat saya ada banyak kalangan yang menolak usulan itu, sisanya mengangguk setuju dalam diam. Kontroversi Gus Dur makin memanas ketika dia juga berniat membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Semua hanya saya dengar sepintas, tak sempat membaca sendiri dan memantau sendiri perkembangannya.

Saya juga sedang tidak di Makassar ketika akhirnya Gus Dur memberhentikan Jusuf Kalla dengan alasan terlibat penyalahgunaan kekuasaan. Dari cerita kawan saya mendengar kalau sentimen anti Gus Dur makin memanas di Makassar dan kota-kota lain di Sulawesi Selatan. Mahasiswa dan banyak lagi elemen lainnya bahkan berbondong-bondong menyambut Jusuf Kalla di bandara ketika sang mantan menteri akhirnya pulang kampung. Sentimen kedaerahan membuat banyak orang SulSel menempatkan Jusuf Kalla sebagai orang yang teraniaya dan tentu saja menempatkan Gus Dur sebagai sang penganiaya.

Saya kembali ke Makassar tahun 2001 ketika sentimen anti Gus Dur secara nasional makin memanas. Saya tidak paham betul soal peta politik, tapi dari cerita-cerita pengamat politik amatiran di warung kopi dekat kantor saya tahu kalau elit politikpun mulai bergandengan tangan untuk mencongkel Gus Dur dari pucuk pimpinan negeri ini.

Keluarga besar saya orang Muhammadiyah yang tentu saja secara idelogis berseberangan dengan Gus Dur yang berasal dari Nahdhatul Ulama. Perseberangan itu juga yang membuat saya kenyang memakan informasi buruk tentang Gus Dur. Mulai dari kyai yang tidak sholat, kyai yang rajin nyekar dan ngalap berkah di kuburan sampai kyai yang akrab dengan kaum nasrani dan yahudi. Saya menelan bulat-bulat semuanya dan tidak pernah berniat mencari klarifikasi.

Sementara itu di kantor saya berada di bawah perintah seorang bapak yang mungkin saja seorang Gusdurian. Boss besar saya berasal dari Jawa Timur, Surabaya tepatnya. Meski tidak terang-terangan menyatakan diri sebagai pendukung dan pecinta Gus Dur tapi dia selalu menyelipkan kelebihan-kelebihan dan kecerdasan langkah Gus Dur setiap kali kami tenggelam dalam obrolan politik. Dari cerita bapak itu pula saya paham kalau Gus Dur di balik sikapnya yang apa adanya dan kata-katanya yang ceplas-ceplos nyaris tanpa filter itu ternyata adalah sosok yang cerdas, cerdik bahkan cenderung licik dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Dari bapak itu pula saya tahu kalau Gus Dur ternyata sangat pandai dan berwawasan luas, pribadi yang memang susah ditebak.

Sampai akhirnya Gus Dur benar-benar dicongkel dari jabatannya sebagai presiden. Saya lupa apakah saat itu saya menyambutnya dengan suka cita atau malah bersedih, kalau tak salah ingat kala itu saya nyaris tak peduli. Politik sedang tidak menjadi topik yang menarik buat saya kala itu meski suhunya sungguh panas. Dua belas tahun selepas turunnya Gus Dur sebagai presiden saya baru tahu semua cerita di balik usaha menurunkannya sebagai presiden. Ternyata kisahnya sangat dramatis bahkan nyaris saja membuat negara ini kacau balau. Sebuah tulisan panjang mengenai hari-hari terakhir Gus Dur di istana yang dibuat Andreas Harsono dan timnya sedikit banyak menambah pengetahuan saya tentang Gus Dur dan orang-orang di sekitarnya kala itu.

Gus Dur sudah berpulang dua tahun 7 hari ketika tulisan ini saya buat. Sosoknya sudah tercatat dalam sejarah panjang negeri ini lengkap dengan segala kontroversinya. Buat saya, Gus Dur memang sosok yang lengkap seperti dua keping mata uang. Persis seperti dua sumber yang selama ini saya sesap tentangnya, satu sisi saya menyesap cerita jelek tentang Gus Dur dari keluarga yang Muhammdiyah garis keras dan satu sisi saya menyesap cerita luar biasa tentang Gus Dur dari bapak boss yang (mungkin) Gusdurian. Saling melengkapi. Lepas dari semua kontroversinya, buat saya Gus Dur tetap orang yang luar biasa. Tak mungkinlah orang dengan kemampuan biasa saja bisa duduk sebagai presiden untuk negara sebesar Indonesia, tak peduli berapa lama dia di atas sana. Setidaknya itu yang saya tahu tentang Gus Dur [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. apa yang ditulis Daeng Ipul sama saya rasakan juga, kontroversi yang terjadi cukup membuat mulut busa2 saat itu,…dan untunglah dengan pandangan proporsional bisa menyikapi dengan baik, dan ada pernyataan Gusdur seperti ini “Saya datang ke makam, karena saya tahu, mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi”.

  2. tetapi beliau memang lebih cocok menajdi leader buat masyarakat akar rumput saja sebetulnya, efeknya lebih terasa dibandingkan ketika beliau mjd presiden 🙂

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.