Pikiran

Mari Membincangkan Seks

bicara tentang seks
Ilustrasi

Bagaimana sebaiknya membicangkan seks agar mereka yang lebih muda tidak salah mencari informasi?

SEKS. Kata itu serupa sebuah kabut tipis yang menghalangi pandangan kita orang-orang timur. Apa yang ada di baliknya hanya berbayang tidak jelas, namun menumbuhkan rasa penasaran. Seks dibisikkan perlahan antar manusia, kadang dalam sebuah grup yang lebih besar. Tapi semua tertutup. Berani meninggikan suara membincangkan seks, maka tatapan menghakimi orang-orang yang lebih tua dan menganggap diri mereka sebagai penjaga moral akan jatuh menimpamu.

Seks adalah kata yang tabu dibicarakan secara terbuka bagi kita orang timur. Berani bicara tentang seks secara terang-terangan berarti siap menerima stempel “amoral”. Mungkin karena bagi orang timur, urusan membincangkan seks adalah perilaku mereka yang tidak punya moral dan rasa malu.

Baca kisah para mantan bintang porno yang hidupnya kadang tragis di sini

Padahal, siapapun pasti percaya kalau seks adalah naluri bawaan setiap mahluk hidup, termasuk manusia yang dibekali hawa nafsu. Seks ada di setiap manusia, sampai ketika dia memilih jalan selibat atau jalan lain yang membuatnya mampu menghindari satu perbuatan itu. Selebihnya, seks adalah kebutuhan, naluri dan kadang monster yang susah dilawan.

Tapi sayangnya, seks selalu dihindari untuk dibincangkan. Apalagi antar orang tua dan anak, antara yang lebih dewasa ke lebih muda. Seks tetaplah misteri bagi mereka yang masih muda, yang selalu menerima tatapan mengancam atau gertakan “hush” ketika mencoba bicara tentang seks.

Jadi jangan heran kalau anak-anak muda itu lalu mencari tahu tentang seks dari kawan-kawan sebayanya. Tidak peduli informasi itu benar atau tidak. Toh, mereka sudah nyaman membicarakannya bersama kawan sebaya, dalam lingkaran yang sama meski dengan suara yang pelan.

Onani dan Mimpi Basah.

“Satu kali onani, seribu sarafmu putus!”

Begitu kata seorang kawan sekelas ketika kami masih sama-sama berbaju putih abu-abu. Dia serius sekali, seolah-olah kalimat itu dia temukan di buku kesehatan milik seorang dokter.

“Onani bisa bikin kamu idiot, atau lebih parah lagi: lumpuh,” sambungnya. Kali ini dengan lebih tegas.

Logikanya masuk akal. Sekali onani seribu saraf putus. Bagaimana kalau sepuluh kali? Dua puluh kali? Lima puluh kali? Seratus kali? Wajarlah kalau pelakunya bisa sampai lumpuh.

Hiyyy! Diam-diam kami bergidik ngeri. Bayangan menjadi idiot atau lumpuh tentu saja cukup mengganggu. Bahkan karena si teman itu, untuk beberapa lama kami mengira seorang pria idiot yang biasa mondar-mandir di dekat sekolah kami jadi seperti itu karena terlalu kecanduan onani.

Tapi apalah daya kami –atau kita sederhanakan dengan: saya. Kami adalah anak-anak muda yang hormonnya sedang menggelegak dan tidak tahu harus bertanya ke siapa tentang seks. Seks adalah kabut tipis yang membuat penasaran. Rasa ingin tahu yang didorong oleh hormon yang menggelegak membuat kami berusaha mencari tahu sendiri, dengan cara kami sendiri, dengan teori kami sendiri. Kami bicara tentang seks dengan cara kami sendiri, tanpa panduan, malah dengan rasa takut. Takut ketahuan oleh orang yang lebih dewasa.

bicara tentang seks
Ilustrasi

Tidak heran kalau teori tentang onani itu hanya mempan beberapa jam saja karena setelahnya toh kami tetap menjadi remaja yang hormon dan syahwatnya sedang menggelegak. Meski selepas proses itu selalu saja ada rasa bersalah dan kadang rasa takut menjadi idiot atau lumpuh.

“Ini terakhir kalinya,” sebuah suara dalam hati berdengung. Tapi hanya sebentar, sebelum suara itu tenggelam dan terlupakan, lalu muncul lagi di lain waktu.

Suatu hari di kamar seorang kawan, kami bermain kartu dengan kartu-kartu yang tidak biasa. Gambar di atasnya bukan gambar seperti yang biasa kita temukan di setumpuk kartu yang dijual di toko swalayan atau warung depan rumah. Kartu itu berbeda, gambar di atasnya adalah sepasang –ada juga yang lebih dari sepasang – manusia dengan aktivitas yang melibatkan alat genital mereka.

Sepanjang permainan, kami berusaha menahan agar mata tidak berkedip. Sayang rasanya melewatkan gambar-gambar itu. Wanita-wanita dengan tubuh tanpa busana dan wajah yang entah memelas, entah menikmati, sungguh adalah pemandangan yang membuat jantung kami memompa lebih cepat dan tengkuk terasa lebih hangat. Kalian pasti tahu apa yang terjadi di tubuh bagian bawah anak-anak remaja tanggung itu.

Kegiatan itu jadi candu buat kami. Sensasinya membuat kami terus mencari-cari waktu luang untuk bermain kartu dengan “kartu ajaib” itu. Kartu yang berhasil membuat tidur malam kami tidak nyenyak dan bahkan bangun dengan celana yang basah.

Tentang “bangun dengan celana yang basah” itu saya ingat satu cerita. Gara-gara siang harinya saya mencuri-curi baca novel Nick Carter dari teman sekelas (waktu itu saya masih SMP), malam harinya saya bermimpi bertemu dengan Stephani Zimbalist, pemeran wanita di serial Remington Steele yang waktu itu tayang di TVRI. Entah jalan ceritanya bagaimana, tapi saya menemukan diri sedang ada di tepi pantai bersama pasangan Pierce Brosnan itu. Dia berbikini dan kami berpelukan di atas perahu yang ditambatkan di pantai. Hanya itu, tapi tiba-tiba saya bangun dengan celana yang basah dan rasa nikmat yang saya sendiri bingung bagaimana menjelaskannya.

Saya bingung. Kenapa saya bisa ngompol padahal saya bukan anak kecil lagi? Tapi kenapa cairan yang keluar bukan cairan kencing? Terus, kenapa pula rasanya lebih nikmat dari sekadar kencing? Apa ini? Apa ada yang salah dengan saya?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu baru datang dengan sendirinya, bertahun-tahun kemudian. Sempat pula saya dan kawan-kawan sekelas membincangkannya. Beberapa dari kami mengeluarkan teori-teori yang entah mereka dengar dari mana. Sebagian memang benar, tapi sebagian lagi dibesar-besarkan. Tapi kami sepakat satu hal: itu namanya mimpi basah. Hanya itu yang kami tahu, soal kenapa dan apa penyebabnya kami tidak tahu. Termasuk, kenapa pula harus Stephani Zimbalist yang datang? Dan kenapa di lain waktu Nia Daniaty yang datang?

 

 

 

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (3)

  1. jadi belum ada solusi untuk menjelaskan soal sex ke anak ya?
    hmmm…
    intinya komunikasi antara anak dan orang tua harus terjalin baik, diarahkan supaya tidak menjurus ke tindak negatif.

    Orang seumuranku, tau soal sex juga belajar dari kakak kelas dan orang yang lebih tua, ada yang cari tahu dengan nonton film kucing kucingan dengan orang tua.

    anyway, nunggu cara komunikasi menjelaskan sex kepada anak versi daeng ipul..

    • Daeng Ipul

      ada sih, harus dijelaskan perlahan dengan bahasa mereka atau sesuai tingkat pemahaman mereka. mulai dari pengenalan anggota tubuh duu, utamanya alat-alat genital

  2. Budaya ketimuran seperti yang kita anut menjadikan pembicaraan mengenai seks masih tabu, tapi dari sisi lain itu baik karena otomatis membiasakan anak untuk tidak membicarakn hal2 ‘kotor’ dan vulgar.
    ah, ini dilema orang tua..

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.