Pikiran

Alarm Bahaya Untuk Indonesia

Waisak
Upacara Waisak (sumber: VOA Indonesia)

Di negeri ini soal agama memang sensitif, salah paham sedikit api emosi bisa membakar. Tak jarang ujungnya adalah pertumpahan darah.

Beberapa hari ini ada berita yang sedang hangat di jagad maya, berita tentang kekacauan pelaksanaan ibadah waisak di Candi Borobudur. Rangkaian cerita yang dipadu dengan gambar berseliweran di dunia maya. Isinya sebagian besar sama, pelaksanan waisak yang seharusnya berlangsung khidmat malah berubah hiruk pikuk karena ulah sebagian pengunjung yang berbuat seenaknya.

Karpet yang dibentangkan buat umat Budha yang ingin berdoa ternyata malah diakuisisi dengan paksa oleh para pengunjung. Belum lagi beberapa pengunjung yang tidak mempedulikan etika dan memotret pelaksanaan upacara waisak dari jarak dekat.

Kekacauan katanya makin diperparah dengan dibatalkannya acara pelepasan 1000 lampion karena hujan yang turun membasahi kawasan Candi Borobudur. Para turis yang datang dengan maksud melihat prosesi tersebut berteriak kesal dan bahkan mencaci maki pelaksana. Saya bisa membayangkan bagaimana kacaunya suasana waktu itu. Benar-benar bukan suasana yang tepat untuk melaksanakan ibadah.

Karena waisak adalah ibadah yang berkaitan dengan agama maka dengan cepat kejadian tersebut memancing tanggapan beragam, beberapa di antaranya mulai sensitif. Di sebuah forum online jelas terlihat beberapa komentar yang begitu ofensif menyerang agama lain. Pelakunya mengaku bukan umat Budha, tapi dengan terus terang dia menyerang satu agama tertentu.

Mengherankan bahwa ada orang yang bisa berpikir sampai ke situ, apalagi mereka bukan orang yang termasuk korban dari kekacuan yang terjadi pada pelaksanan waisak yang lalu. Jelas sekali bahwa sentimen terhadap agama sangat gampang tersulut apalagi oleh sebuah kejadian yang memang melibatkan satu agama tertentu.

Apa yang terjadi di Cand Borobudur sabtu kemarin sesungguhnya hanya urusan pribadi. Ada orang yang datang ingin menyaksikan eksotisme perayaan waisak dan tentu saja pelepasan 1000 lampion yang selalu nyaman dilihat bila direkam oleh lensa kamera. Mereka ini datang dengan menanggalkan etika di rumah mereka. Mungkin mereka berpikir kalau mereka sudah membayar dan berhak melakukan apa saja, termasuk mengganggu mereka yang sedang beribadah.

Sesederhana itu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama apalagi Tuhan.

Bangsa ini sedang kebingungan, warganya kehilangan pegangan. Kita sudah tidak tahu lagi harus percaya pada manusia macam apa. Mereka yang dulu dipilih dan dirasa mampu membawa negeri ini ke arah yang lebih baik ternyata malah mengecewakan. Para koruptor bisa tertawa riang di depan kamera dan tidur nyenyak di dalam sel yang nyaman. Musnah sudah kepercayaan kita pada pemerintah dan penegak hukum.

Di jalanan rasa aman juga mulai menghilang. Orang tak bisa lagi menyusuri jalanan sendirian tengah malam. Perampok, penjambret atau geng motor bisa jadi penyebab berhentinya nafas kita. Kepercayaan dan ?rasa aman perlahan makin menipis, sementara itu stress dan frustasi perlahan makin menebal.

Orang stress dan frustasi gampang terpicu emosinya. Tak heran bila sumbu pertikaian di negeri ini makin hari makin pendek dan gampang tersulut. Satu kejadian kecil saja dan bentrokan besar bisa meledak. Apalagi jika selisih paham itu sudah menyangkut soal agama, suku dan ras.

Kekacauan yang terjadi pada pelaksanaan waisak tahun ini sesungguhnya adalah tanda bahaya bagi negeri kita. Jelas sekali terpampang tanda mulai hilangnya toleransi dari sebagian orang Indonesia. Kekacauan di Borobudur berlanjut di dunia maya, termasuk bagian hujat menghujat agama.

Kita bisa bilang, semua akan berlalu atau yang sudah terjadi sudahlah. Tapi itu sama saja dengan menyimpan api dalam sekam. Hanya persoalan waktu sebelum api itu membakar seluruh negeri. Bukankah semua agama membawa pesan perdamaian? Persoalannya hanya apakah pesan itu bisa kita teruskan atau tidak?

Apa yang salah dengan negeri ini? Atau jangan-jangan ada yang salah dengan cara kita beragama? ?[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (6)

  1. pdhl sih mnrtku miss manajemen dr manajemen wisata disana yg tdk ketat, semua yg berbentuk festival sebaiknya memang diliput luas ^^

    • iPul Gassing

      iya, harusnya memang ini masalah personal. tapi ya itu di dunia maya malah ada yang gontok2an dan bawa2 agama..

  2. Saya heran juga ada yang mengaku beragama tapi perilaku seperti orang yang tidak beragama, mengecam ini itu seperti seolah2 surga sudah menjadi milik “mereka”, dan atas kejadian ini sepertinya ego itu lebih besar ketimbang dengan agama, sehingga apapun yang diinginkan orang2 itu rela melakukan segala cara agar terpenuhi egonya.., sedangkan agama sudah jelas konsepnya adalah membendung ego..

    saya sebagai orang awam mungkin hanya diam2 berdoa saja…, hanya ini yang bisa dilakukan oleh kaum awam seperti saya..

  3. Seharusnya tetap dibatasi yg bisa masuk candi, jangan dibuka ke masyarakat umum
    Tapi ya balik lg ke manusia masing2 sih.

  4. Yang salah bukan cara beragama kita. Tapi cara kita memandang perbedaan. Itu nggak cuma di Indonesia kok. Menurutku, sebagian besar orang di Indonesia dibesarkan dengan anggapan bahwa agamanya yang terbaik. Sejak lahir, dia dicekoki dengan kata “kita” untuk pemeluk agama yang sama dan “mereka” untuk pemeluk agama lain. Dan, ego manusia yang bilang dirinya lebih baiklah yang bikin seseorang lebih gampang menyalahkan pemeluk agama lain. Ngg.. kalo aku bilang itu akibat salah asuh nyambung ga sih? 😀

    Tiba-tiba inget belum nulis tentang Ambon.

  5. Menurutku itu lebih ke arah ego manusia. Bukan masalah agama. Dan hal tadi engga cuma di Indonesia. Teman2ku yang bule pun gampang sensi kalo ngobrol berkaitan dengan agama.

    Sejak kecil, banyak orang dididik kalau agamanya yang paling baik dan paling benar. Mereka sejak kecil selalu dicekoki ada kata “mereka” untuk orang yang beragama beda. Dan “kita” untuk umat yang seagama. Berhubung manusia selalu merasa dirinya benar, harus ada “mereka” yang disalahkan.

    Btw: tadi kayaknya aku dah komen kok ilang ya?

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.