Dinamika Kota

Polusi Visual Di Kota Kami

Salah Satu Sudut Kota Yang Penuh Dengan Polusi Visual

Suatu hari saya membayangkan seandainya pemerintah kota ini mau sedikit waras dengan menyediakan tempat khusus untuk baliho dan semacamnya

Sekitar seminggu menjelang hari bumi yang jatuh pada tanggal 22 April kemarin, teman-teman dari komunitas Makassar Berkebun melakukan aksi pekan hijau. Salah satu gerakan mereka selain membagi-bagikan bibit pohon adalah dengan mencabuti paku dari pohon di sekitaran jalan Andi Pangerang Pettarani dan jalan Hertasning. Paku-paku itu adalah hasil kejahatan para penyebar polusi visual di kota Makassar. Mereka seenaknya memasang baliho, spanduk atau material promosi lainnya di pohon-pohon hijau kota kami.

Seperti yang pernah saya bilang, Makassar memang sial. Kota pelabuhan di ujung bawah pulau Sulawesi ini penuh dengan para politisi yang narsis. Penuh dengan orang-orang yang senang sekali memamerkan senyum manis mereka di semua ruang kosong yang ada di kota ini.

Mereka menjejalkan senyum manisnya yang dilengkapi dengan jargon yang tak kalah manisnya ke mata kami warga kota yang setiap hari berlalu-lalang di berbagai jalan di kota ini. Gula, bagaimanapun manisnya jika dijejalkan ke dalam mulut kita setiap saat maka rasa eneg pasti akan muncul jua. Dan saya yakin, wajah para politisi narsis itu tidak semanis gula.

Entah sejak kapan kesialan ini menimpa kota yang saya cintai ini. Mungkin sejak pemerintah resmi menyerahkan urusan pemilihan kepala daerah ke penduduk daerah setempat tanpa harus melalui voting di gedung DPR. Sejak itulah, siapa saja kemudian merasa punya hak untuk mengotori kota ini dengan baliho segede godzilla dan material lain yang tak kalah ramainya.

PAKUI!!

Sialnya lagi karena nilai keindahan dan estetika kadang kala ditempatkan agak di belakang. Sesuatu yang mereka sebut karya itu sebagian besar lahir dari kepala yang mungkin lupa belum berkenalan dengan sesuatu bernama cita rasa seni. Banyak yang hadir serampangan, hanya berisi tumpukan gambar dan tulisan dengan font besar dan mencolok. Sekali lagi estetika tidak penting.
Itulah yang kemudian menghadirkan ragam baliho semacam PAKUI, AYO MI, JEKA JIE, WE CAN atau apalah namanya. Dari tulisan itu saja orang sudah mulai mengernyitkan dahi. Mungkin maksudnya ingin menimbulkan kesan misterius dan memancing rasa ingin tahu sebangsa iklan yang dikerjakan biro iklan dari luar sana.

Memang benar, rasa ingin tahu kadang muncul melihat deretan baliho itu. Tapi bukan rasa ingin tahu tentang programnya atau kapabilitas sang pemilik baliho. Rasa ingin tahu yang muncul adalah : benarkan mereka punya otak? Benarkah mereka punya cita rasa sampai memutuskan membuat baliho dengan jargon seperti itu? Benarkah mata mereka tidak terasa tertusuk oleh tumpukan gambar yang sama sekali tidak beraturan itu?

Saya pernah bertanya-tanya, benarkah segala baliho penyebab polusi visual itu melalui proses persetujuan dari mereka yang gambarnya dipajang di sana? Ataukah hanya perbuatan tim sukses mereka saja yang kemudian tanpa perlu persetujuan langsung memasang baliho itu tanpa peduli kalau itu malah membuat tuan mereka jadi bahan tertawaan. Kalau memang begitu, maka betapa malangnya para politisi itu. Tapi kalau semua itu sudah melalui persetujuan, maka betapa malangnya dia yang merasa sudah berhasil menghibur warga kota ini.

Bagaimana dengan pemerintah kami? Ah, pemerintah kota kami juga pelaku. Alih-alih menyejukkan mata warga kota Makassar dengan menertibkan polusi visual itu, mereka juga ikut jadi penyebab polusi.

Suatu hari saya membayangkan seandainya pemerintah kota ini mau sedikit waras dengan menyediakan tempat khusus untuk baliho dan semacamnya serta menegakkan aturan dengan menyikat habis baliho, spanduk dan semacamnya yang terpasang di luar tempat yang seharusnya. Mereka harusnya bisa memberi ruang untuk para politis narsis itu. Tentukan ukuran yang boleh dipasang, tarik bayaran yang legal dan berantas semua yang tidak sesuai aturan. Sederhana bukan?

Makassar memang sial, dihuni para politisi yang rajin menebar senyum dan kata-kata manis dan diperintah oleh pemimpin yang membiarkan saja polusi itu mengotori kota. Kota ini jadi korban kenarsisan mereka, kota ini jadi kotor oleh senyum mereka. Kami, kami yang tiap hari harus melihatnya lama-lama kehilangan rasa alih-alih jatuh simpati.

Membela Merah Putih Dengan Memaku Pohon? Meh!

Pagi tadi saya melewati jalan Hertasning. Ada spanduk besar di salah satu titiknya, Komando Pejuang Merah Putih nama organisasinya. Ada gambar beberapa orang lelaki berseragam serupa militer di sana. Ah, gagah sekali mereka. Sayang, niat mereka memperjuangkan merah putih tercinta ini ternoda sedikit oleh kerakusan mereka menggunakan ruang publik. Makin parah karena mereka dengan tega memaku pohon yang tak berdosa, pohon yang selama ini sudah menjadi peneduh di jalan itu.

Ironis. Belum genap dua minggu sejak teman-teman Makassar Berkebun mencabuti ratusan paku di sepanjang jalan Andi Pangerang Pettarani dan Jalan Hertasning sudah ada mereka yang tega menancapkannya kembali. Mereka adalah Pejuang Merah Putih. Gagah sekali.

Sampai kapan kota ini akan terus dipenuhi polusi visual yang menusuk mata itu? Mungkin sampai ada pemimpin yang berani main kayu untuk menertibkannya. Entah kapan.

[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (3)

  1. gimana kalo jadi walikota? nanti aku dukung wes 😀

  2. Yg dipamer fotonya dsitu malah tambah bangga dan senang ketika melihat poster2 tersebut tanpa ada rasa bersalah telah merusak pemandangan kota, ckckckckckc

  3. Ini hebatnya negara kita, tak ada hukum pajang memajang iklan, dimanapun itu. Akh…. mereka hanya mementingkan suara,… menyedihkan disetiap kota tak ada perbedaan 🙁

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.