Dinamika Kota

Merekam Makassar Dari Titik Nol

Makassar Nol Kilometer

Mimpi kami sederhana, situs Makassar Nol Kilometer akan menjadi sebuah ruang publik untuk warga Makassar

Suatu hari di tahun 2009, suhu politik Makassar sedang panas-panasnya. Waktu itu persaingan menuju kursi Makassar 01 sedang hangat. Tapi suhu bukan hanya dihangatkan oleh persaingan itu, tapi juga ketika sebuah landmark kota sedang berusaha diubah dengan menatasnamakan revitalisasi.

Adalah Karebosi, sebuah alun-alun, sebuah melting point warga, sebuah public space dan sebuah arena besar tempat warga Makassar berinteraksi. Karebosi mendadak panas ketika pemerintah kota berniat menyerahkan pengelolaannya kepada swasta, mengubah lapangan itu separuhnya menjadi tempat berbisnis dan sisanya menjadi lapangan bola.

Karebosi akan dibuat lebih bagus, rapih dan modern. Karebosi tidak akan seperti dulu lagi yang becek dan banjir di kala hujan serta gelap dan penuh jejak kriminal di malam hari. Begitu kata mereka.

Masyarakat bereaksi, ada yang senang tapi banyak yang tak senang. Semua berbenturan, bergesekan tapi revitalisasi Karebosi jalan terus. Satu persatu kenangan tentang alun-alun kota itu luruh tertanam beton dan tembok yang dingin. Karebosi dirias, dibuat lebih indah, dibuat lebih nyaman meski sebenarnya itu semua tidak gratis.

Bertahun-tahun kemudian, wajah Karebosi benar-benar berubah. Tak ada lagi patung Ramang sang kebanggaan Makassar. Tak ada lagi pemain catur yang nongkrong sepanjang hari, atau tukang obat yang bercuap-cuap mengundang pembeli. Karebosi menjadi sebuah lapangan besar yang rapih, mengkilap meski dingin dan terasa jauh.

Itulah dinamika dalam perkembangan kota. Semua sudah sepakat untuk sebuah arus yang bernama modernisasi, globalisasi atau sasi apapun itu. Semua akan berubah, persoalannya hanya soal seberapa cepat perubahan itu datang. Sadar atau tidak, itulah kenyataannya.

Sayangnya, orang Indonesia tidak terkenal sebagai orang yang suka mendokumentasikan. Bangsa kita terbiasa dengan budaya lisan, semua peristiwa cukup dengan diceritakan. Dari mulut ke mulut dan turun temurun. Tradisi kita bukan tradisi literasi. Dinamika dan perubahan banyak yang tak tercatat, semua hanya dirasakan dan kemudian diceritakan.

Suatu hari di bulan Juni 2012, saya dan beberapa teman berkumpul di sebuah tempat di Jakarta. Kami sedang mengikuti workshop dinamika perkotaan. Dari sana muncul ide untuk merekam dinamika kota Makassar, tentang perubahan yang terjadi dan kenangan yang berserakan. Pun dengan opini yang mungkin belum terkabarkan.

Usulan singkat yang liar dan panas itu kemudian ditangkap kumpulan kawan lainnya dalam sebuah pertemuan santai di sebuah cafe. Ide itu tetap hangat, tetap liar dan tetap diibiarkan begitu. Kami hanya membingkainya dan berharap banyak orang yang akan ikut merasakan kehangatannya. Hari itu diperoleh sebuah kesepakatan, kami memilih nama Makassar Nol Kilometer sebagai wadah untuk merekam dinamika, opini dan kabar dari warga.

Makassar nol kilometer. Nama ini sebenarnya lekat dengan penerbit Ininnawa? yang memang pernah melahirkan sebuah buku dengan judul yang sama. Sebuah pilihan karena teman-teman dari penerbit ininnawa juga ikut dalam langkah kecil ini. Belakangan kami juga sadar kalau ini benar-benar sebuah nama yang tepat. Kata “nol” adalah lambang ketiadaan. Tiada yang berkuasa di sini, tiada yang lebih berguna dari yang lainnya. Semua mulai dari nol, mulai dari tiada.

Mimpi kami sederhana, situs Makassar Nol Kilometer akan menjadi sebuah ruang publik untuk warga Makassar atau mereka yang punya ikatan batin dengan Makassar. Di situs ini semua orang dipersilakan masuk, untuk sekadar berkunjung atau ikut berpartisipasi. Kami menerima sumbangan tulisan tentang kota Makassar dan semua dinamika yang terjadi, tentang budaya dan sejarah atau bahkan tentang kuliner.

Bukan hanya tulisan, kami juga menerima sumbangan foto yang bercerita tentang kota Makassar. Tentang dinamika yang terjadi di kota ini, tentang wajah kota yang terus berubah atau tentang kebiasaan warga yang mungkin tak terekam di media lain.

Kami memulai ini dengan perlahan, berusaha sebisa mungkin menghilangkan kesan eksklusif. Berharap tidak ada orang yang kemudian menjaga jarak dan menganggap kalau kata partisipasi itu berat. Kami tidak menerapkan standar tinggi dalam memuat sebuah tulisan karena toh kami semua memang tidak punya bekal yang cukup. Tapi tentu saja dalam prosesnya akan ada perbaikan, ada masukan dan ada usulan supaya tulisan yang tayang tetap enak dibaca.

Makassar Nol Kilometer adalah sebuah langkah kecil, hanya ingin menghimpun sebanyak mungkin kenangan dan rekaman tentang kota ini yang ditulis oleh warga sendiri, bukan oleh penguasa atau pengusaha. Makassar Nol Kilometer adalah tempat berkumpul, ruang bermain dan kotak bertukar pikiran. Semua tidak sempurna memang, karena kami toh memang tidak pernah mengharapkan sebuah kesempurnaan.

Perlahan-lahan situs ini mulai bekerja, mulai terbuka dan mulai menerima kedatangan orang-orang yang datang dengan suka ria untuk bersenang-senang di sini. Silakan menikmati apa yang ada di sini, dan jangan lupa untuk ikut berbagi cerita.

Selamat datang di?Makassar Nol Kilometer.

[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (1)

  1. Hmmm, kalau di Medan kayaknya belum ada situs khusus seperti ini, padahal di kota saya banyak yang menarik dan beda dari yang lain

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.