Karebosi yang sudah diprivatisasi (foto: Makassar Terkini)
Karebosi yang sudah diprivatisasi (foto: Makassar Terkini)

Kalau orang Jogja gencar mengusung perlawanan dengan kalimat Jogja Ora Didol (Jogja tidak dijual) maka pemerintah Makassar malah sibuk menjual kotanya.

Menjelang peringatan hari ulang tahun kota Jogjakarta (entah kenapa saya lebih suka menulis seperti itu) ada jargon menarik yang mentas di linikala twitter. Jogja Ora Didol atau Jogja tidak dijual. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan jargon itu, pikir saya mungkin cuma semacam candaan karena beberapa kawan Jogja saya memang punya urat kreatif yang tebal.

Saya baru memperhatikannya ketika membaca tulisan dari pak Sumbo Tinarbuko di laman pribadinya: Yogya Tidak Dijual. Pak Sumbo ini seorang dosen komunikasi visual yang terkenal dengan gerakan Reresik Sampah Visual atau membersihkan sampah visual. Bersama banyak relawan beliau berkeliling kota Jogja membersihkan kota dari sampah visual berupa iklan politik maupun iklan dagang.

Dalam laman pribadinya pak Sumbo bercerita tentang keresahan warga pada keadaan kota Jogja yang seakan-akan “dijual” dengan membiarkan ruang-ruang publik diprivatisasi oleh pemodal besar dan para politikus. Di beberapa sudut kota iklan dari brand-brand dengan mudah ditemukan, bersanding dengan wajah-wajah politikus yang menebar jaring menjelang pemilu 2014. Pemanfaatan ruang-ruang publik itulah yang kemudian dianggap sebagai sebuah upaya privatisasi untuk kepentingan pribadi, partai, golongan atau brand tertentu. Ini juga yang membuat banyak kalangan di Jogja merasa kalau kota mereka dijual kepada para pemodal dan politikus. Mereka yang resah kemudian menumpahkannya dalam pesan Jogja Ora Didol.

Bagaimana dengan Makassar? Jujur, itu pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya ketika membaca artikel pak Sumbo. Jogja menurut saya masih lebih waras dibanding kota Makassar dalam hal privatisasi ruang publik. Setidaknya kerakusan para politisi mereka tidak (mudah-mudahan bukan belum) seperti politisi di Makassar yang seperti tidak suka melihat perempatan atau pertigaan yang lengang dari baliho atau spanduk.

Politisi yang narsis dengan baliho mereka hanya melengkapi karena sebetulnya pemerintah kota sudah terlebih dahulu menjual ruang-ruang publik kepada mereka yang berkantong tebal. Menjelang pilwali Makassar salah satu pasangan calon sempat menjadikan anjungan pantai Losari seolah-olah milik mereka dengan memasang akronim pasangan mereka di salah satu anjungan. Alasannya itu sisa acara deklarasi pasangan yang belum dilepas. Alasan yang terdengar menggelikan.

Ruang publik yang direbut politisi (dokumentasi StopPakuPohon)
Ruang publik yang direbut politisi (dokumentasi StopPakuPohon)

Beberapa tahun yang lalu lapangan Karebosi yang adalah alun-alun kota, ruang publik dan milik warga sudah dijual ke investor. Memang lapangannya jadi lebih indah, tapi luasannya berkurang karena harus berbagi dengan mall punya si investor. Lapangan dan alun-alun yang sudah adapun tidak bisa lagi diakses dengan mudah oleh warga kota. Harus berbekal surat ijin yang jelas dan tentu saja birokrasi yang berbelit-belit. Bahkan untuk berfoto dengan latar tulisan Lapangan Karebosi saja harus siap ditanyai satpam. Benar-benar tidak ada kesan kalau itu adalah ruang publik dan alun-alun kota.

Perlahan-lahan ruang-ruang publik di kota Makassar memang makin menyempit dan mulai berubah jadi ruang milik pemodal atau politisi. Sebentar lagi pantai Losari juga mungkin akan tinggal kenangan karena di depannya kita tidak bisa lagi melihat matahari tenggelam dengan bebas. Akan ada bangunan-bangunan megah dalam kemasan Center Point Of Indonesia yang akan menutupi pandangan kita. bahkan matahari tenggelampun tidak akan gratis lagi.

Jalan-jalan kota juga sudah dipenuhi oleh potret wajah para politisi yang tidak tahu malu. Menebar senyum dan janji-janji gombal tak berkesudahan. Kadang mereka bersaing memperebutkan ruang dengan iklan sedot WC dan iklan-iklan lainnya yang sama-sama merebut ruang publik yang sejatinya adalah milik semua warga kota. Sampah-sampah visual yang kadang memaksa kita bergidik jijik.

Kala orang Jogja resah dengan ruang publik yang dijual atau direnggut paksa, kota Makassar malah sedang dalam tahap dijual. Dijual kepada mereka yang berkantong tebal, sisanya direbut oleh mereka yang tidak tahu malu. Di saat gubernur Jogja mengingatkan pemerintah kabupaten dan kota di DIY untuk membersihkan ruang publik dari privatisasi, pemerintah kota Makassar malah penuh semangat untuk menjual kota Makassar. Iya, mereka menjual Makassar! [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. parah juga, mungkin harus ada yang menulis surat terbuka via detik gitu biar kebaca daeng *kasih ide* =))

  2. Menebar Info

    iya ya … malah ngasih contoh ngga baek: ngotor2i ruang publik … Ckck 🙁

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.