Dinamika Kota

Makassar Kota Yang Nyaman Dihuni [?]

Satu sunset di Losari
Satu sunset di Losari

Tak ada kota yang sempurna di negeri ini, bahkan Makassarpun yang termasuk satu dari tujuh kota paling nyaman dihuni. Semoga saja prestasi itu tak membuat pemerintah kota (dan warganya) berpuas diri dan lantas lupa untuk terus menjadi lebih baik.

Baru-baru ini sebuah berita dirilis oleh berbagai media, isinya tentang 7 kota di Indonesia yang dianggap paling nyaman untuk dihuni. Salah satu dari 7 kota itu adalah Makassar, sisanya ada nama kota Balikpapan, Solo, Malang, Yogyakarta, Palembang dan Bandung. Rilis ini dikeluarkan berdasarkan survey yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) dalam Kongres Eastern Regional Organisation for Planning and Housing (EAROPH) ke-24 di Hotel Borobudur Jakarta.

Hasil survey tersebut didasarkan pada 27 indikator yang ditanyakan kepada 1000 responden yang disebar di berbagai kota. Nama IAP sendiri cukup bisa menjadi jaminan, setidaknya mereka bukan organisasi abal-abal yang bentuknya tidak jelas.

Masuknya nama Makassar dalam rilis tersebut sempat membuat saya bertanya-tanya: benarkah Makassar memang termasuk kota yang nyaman untuk dihuni?

Jujur sebagai orang yang tiap hari mencicipi kota ini (walaupun tidak ber-KTP Makassar) saya merasa kota ini memang lumayan nyaman untuk dihuni. Buktinya, sampai sekarang saya selalu rindu untuk pulang ke sini. Belasan tahun lalu pernah mencoba tinggal di Jakarta tapi tetap saja kerinduan akan kota ini membuat saya untuk kembali lagi. Sekira dua tahun lalu tawaran untuk pindah ke Jakarta juga ada, tapi sekali lagi pertimbangan nyamannya hidup di sini masih jadi penghalang.

Kalau melihat dari sisi bisnis dan perkembangan kota, Makassar memang sangat pesat. Tahun 2012 kota ini bahkan mencatat tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia sebesar 9%, melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi secara nasional. Iklim investasi terasa sangat mendukung, terbukti dari banyaknya investor yang masuk ke kota Makassar membawa jualan atau menanamkan investasi mereka di berbagai bidang.

Itu kalau kita melihat dari sisi bisnis yang berkelindan dengan modernitas. Tapi kalau mau melihat dari sisi lainnya tetap saja ada bagian yang tercecer, tidak ikut berkembang bahkan rasanya seperti jadi korban dari perkembangan kota modern. Kota ini terasa abai pada hal-hal mendasar yang jadi hak hidup rakyat seperti angkutan umum yang layak, pasar tradisional yang nyaman, drainase yang lancar hingga taman kota yang sejuk.

Hal-hal yang saya sebutkan itu rasanya seperti penumpang renta yang tertinggal di stasiun dan tak sanggup mengejar kereta modernitas yang berlari kencang. Kurangnya angkutan umum yang layak membuat warga tak punya pilihan lain selain memiliki kendaraan sendiri bagaimanapun caranya. Efeknya, jumlah kendaraan meningkat pesat tak sebanding dengan luas jalan sehingga tentu saja berujung pada meningkatnya jumlah titik kemacetan yang kemudian berbanding lurus dengan waktu kemacetan. Makassar hari ini terasa makin mirip dengan Jakarta di setiap jam sibuk.

Pedagang tradisional di kota ini juga seperti tertinggal, tak mampu mengikuti derasnya laju modernitas. Mereka dipaksa bertarung dengan retail besar tanpa diberi senjata yang memadai. Membanjirnya mart-mart membuat pedagang kecil dan pasar tradisional makin tersisih. Sementara itu ketika musim hujan tiba, drainase tak mampu menampung debit air sehingga meluaplah aliran air itu ke jalan. Lalu bagaimana dengan taman dan ruang terbuka hijau serta daerah resapan? Semuanya juga seperti terlupa dari perencanaan tata kota ini. Orang terlalu sibuk berpikir tentang pelebaran jalan, pembangunan mall, hotel dan lupa kalau kota ini belum pernah menambah ruang terbuka hijau sekaligus daerah resapan air.

Semoga Tak Terbuai.

Di Indonesia, sepertinya memang belum ada kota yang sempurna. Selalu saja ada kekurangan yang bisa ditemukan dari perencanaan kota-kota di negeri ini, termasuk Makassar tentu saja. Meski begitu keseriusan pemerintah kota untuk terus memperbaikinya tentu jadi indikator. Makassar baru saja punya pemimpin baru, walikota yang dilantik bulan Mei kemarin adalah seorang arsitek, sosok di belakang banyak perencanaan tata kota di bawah walikota sebelumnya.

Danny Pomanto (walikota Makassar) sendiri menyambut gembira hasil survey yang dirilis IAP itu sekaligus mengakui kalau masih banyak sekali yang harus disempurnakan. Dalam masa 3 bulan lebih pemerintahannya memang belum terlihat ada rencana atau program yang signifikan. Program yang sedang marak diluncurkan pak Danny adalah Makassar Tidak Rantasa (Makassar Tidak Jorok), salah satu program yang tujuannya mengubah kebiasaan buruk membuang sampah atau membiarkan drainase dan sungai penuh dengan sampah.

Berita kalau Makassar masuk sebagai salah satu dari 7 kota paling nyaman dihuni di Indonesia tentu sedikit membanggakan meski tetap saja sebagai warga atau orang yang hidup di kota ini mata dan telinga harus dibuka. Kritis dan kritik tentu sangat diperlukan, tujuannya supaya kota ini jadi lebih baik lagi dari yang ada sekarang.

Saya berharap pemerintah kota tidak terbuai dengan hasil survey ini, bagaimanapun Makassar harus terus berbenah diri menjadi kota yang benar-benar nyaman dihuni dan hanya punya sedikit kekurangan. Tak ada gunanya jadi kota modern kalau hanya di tampilan saja, tak ada gunanya bersolek kalau hal-hal mendasar tetap terlupakan bukan? Saya selalu bilang, saya tidak mau Makassar jadi seperti Jakarta yang sulit dibenahi karena penyakitnya sudah sangat menahun.

Semoga Makassar memang jadi lebih baik [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.