Dinamika Kota

Kota Yang Menumbuhkan Rindu

Satu sudut kota Jogjakarta

Coba berhenti sejenak dan jawab pertanyaan ini: kota apa yang selalu membuat Anda rindu untuk kembali? Apa alasannya?

Manusia dilahirkan dengan banyak perasaan bawaan, salah satunya adalah rindu. Kadang kita tidak tahu alasannya apa, tiba-tiba saja rasa rindu itu datang menghampiri. Kadang hanya sedikit hal yang bisa kita lakukan untuk mengusirnya, kadang hanya pertemuan yang bisa mengobatinya. Iya, kadang rindu diibaratkan sebagai sakit, sebagai sesuatu yang harus diobati. Jika tak segera diobati, rindu selalu bisa menusuk ke dalam kalbu terdalam dan membuat hari kehilangan warna cerah.

Dari sekian banyak rindu itu, salah satunya adalah rindu pada sebuah tempat yang bernama kota. Langkah-langkah yang menjauhkan seseorang dari sebuah kota adalah pupuk alami yang menumbuhsuburkan sebuah kerinduan. Kenangan yang tertumpuk dari sebuah kota adalah alasan kenapa kita merindukannya. Tambahkan dengan kenyamanan yang terpatri di kepala, maka lengkaplah kerinduan itu.

Kenapa orang jadi merindukan sebuah kota? Alasannya tentu bukan cuma satu, tapi ada banyak. Para pengembara yang meninggalkan kota atau tanah kelahiran mereka pasti selalu merindukan kota atau tanah tempat mereka lahir, tempat mereka menghabiskan ratusan hari yang penuh cerita. Langkah yang menjauhkan mereka dari kota atau tanah tempat kelahiran selalu berhasil menumbuhkan rasa rindu. Tengok masa ketika mendekati hari raya, masa di mana ratusan, ribuan bahkan jutaan orang bergerak menuju asal mereka.

Beberapa kota seperti lahir dan ditakdirkan sebagai ladang rindu. Kota yang selalu berhasil membuat siapa saja yang datang ke sana dan kemudian meninggalkannya akan punya alasan untuk merasa rindu kembali ke kota itu. Bukan hanya mereka yang darahnya tertumpah di kota itu, tapi bahkan mereka yang meluangkan beberapa jenak waktu dari kehidupan mereka tetap akan merasakan rindu yang melekat.

Sebut saja Jogjakarta. Kota di selatan pulau Jawa ini selalu berhasil membuat banyak orang merasakan rindu untuk kembali menyentuhnya. Tidak usah bicara tentang mereka yang lahir dan besar di sana, tapi mari bicara dengan mereka yang pernah meluangkan waktu hidup di atas tanah Jogja. Sampai detik ketika tulisan ini saya buat, belum sekalipun saya bertemu dengan mereka yang tidak punya keinginan untuk kembali ke Jogja setelah meluangkan banyak waktu di sana.

Apa yang membuat mereka selalu merasa rindu kembali ke Jogja? Saya tidak berhak berbicara atas nama mereka, saya lebih memilih berbicara atas nama saya sendiri. Jogja dengan kesederhanaannya yang njawani seperti magnet yang merekatkan rasa rindu. Setiap sudut seperti menyapa dengan bersahaja, persis seperti kata Katon Bagaskara di lagunya yang terkenal, Jogjakarta.

Saya tahu masih banyak kota lain seperti Jogjakarta di Nusantara ini. Kota yang masih keras kepala menjaga kesederhanaan tradisi mereka. Saya hanya kurang beruntung bisa melewatkan banyak waktu di kota selain Jogja hingga hanya satu kota ini yang bisa selalu membuat saya rindu untuk kembali.

Manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang selalu merindukan hubungan sosial dengan orang sekitar dan lingkungan sekitar. Mahluk yang selalu merindukan interaksi sosial yang memanusiakan orang sekitarnya. Mungkin itu yang membuat Jogja selalu dirindukan, karena di atas tanahnya interaksi sosial yang primitif itu masih selalu ada. Kesombongan modernisasi belum jadi raja, dinginnya interaksi modern belum jadi menu utama. Wajar kalau orang masih merasa rindu pada kota itu.

Lantas bagaimana dengan kota yang selalu menggeliat dan berdandan menor agar bisa disebut sebagai kota moderen atau bahkan kota dunia? Modernitas seperti air bah yang menyapu interaksi sosial primitif dari manusianya. Semua dihargai dengan uang, selalu ada harga yang dibayar untuk interaksi karena itulah yang namanya modernitas.

Ada kota yang seperti dibangun untuk mesin-mesin, bukan untuk manusia yang hidup di punggungnya. Ada bangunan-bangunan megah yang menggilas kenangan-kenangan pada bangunan tua dan jalan-jalannya yang sederhana. Ada rasa dingin dan angkuh dari bangunan baru yang tegap dan jangkung. Sedikit demi sedikit wajah kota yang dulu sederhana dan lekat dengan warga itu kini jadi kota yang lebih akrab dan hangat bagi para investor, mereka yang punya uang berlebih. Warga dengan kantong setipis kertas hanya boleh mengais rejeki dari pekerjaan rendahan yang mereka sebut sebagai “lapangan kerja”.

Ketika kota sudah jadi seperti itu, masihkah ada orang merindukannya? Para perantau yang lahir dan besar di kota itu mungkin akan kembali untuk sesuatu bernama kenangan atau sesuatu bernama keluarga. Tapi rindu itu mungkin semu karena mereka mulai sulit untuk menemukan jejak kehangatan seperti yang dulu pernah mereka rasakan.

Ada kota yang masih setia menumbuhsuburkan rasa rindu, adapula kota yang perlahan memangkas semua alasan untuk merindukannya. Coba berhenti sejenak dan jawab pertanyaan ini: kota apa yang selalu membuat Anda rindu? ?[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (9)

  1. Saya rindukan suasana Makassar tempo doloe….rindu pantai losari yang jaman dulu….

  2. Saya pilih NGANJUK daeng, dengan tiupan angin dan sego pecelnya.
    Benar-benar memaksa untuk dirindu.

  3. Jogja memang punya daya magnet besar..
    Saya juga pengen suatu hari netap di Jogja <3

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.