Dinamika Kota

Bioskop Kursi Rotan Di Makassar

Duduk di dalam bioskop seperti ini tentu nyaman bukan? (foto by: google)

Setelah minggu lalu cerita soal bioskop kelas B di Makassar, sekarang saya mau cerita soal bioskop kelas C dan D yang kualitasnya lebih di bawah bioskop kelas B.

Semasa berseragam putih abu-abu, saya punya punya geng yang sama-sama suka nonton film. Utamanya film action tentu saja. Sayangnya kami bukan anak-anak yang lahir dari rahim orang kaya, jadi tidak setiap saat kami bisa menyambangi bioskop kelas A atau bahkan kelas B di Makassar.

Lebih seringnya kami harus bersabar menunggu film incaran kami turun ke bioskop kelas C atau bahkan kelas D hanya supaya kami tetap bisa menonton film itu.

Di Makassar ada beberapa bioskop yang dikategorikan kelas C dan D. Untuk kelas C tiketnya seharga Rp. 1.500, di antaranya ada bioskop Benteng ?dan Mutiara. Untuk kelas D ada bioskop Apollo dan Jaya dengan tiket seharga Rp. 1000,-

Fasilitas bioskop di kedua kelas ini tentu sangat berbanding jauh dengan bioskop kelas A dan bahkan kelas B. Kursinya rata-rata adalah kursi rotan, untuk kelas B masih mending karena masih kursi ditata dalam ruangan yang miring tapi untuk kelas D semua kursi rata serupa kursi di ruang pertemuan biasa.

Bioskop Benteng memutar film-film Hollywood yang sudah habis masa edarnya di bioskop kelas B, sedang bioskop Mutiara memutar film Hong Kong yang juga sudah habis masa edarnya di bioskop kelas B. Rata-rata fasilitasnya sama semua, kualitas suara tidak terlalu bagus dan ruangan tentu saja tidak ber-AC. Hanya ada kipas angin besar yang digantung di dalam ruangan yang lebih sering tidak beroperasi.

Suatu hari saya pernah menonton sebuah film di bioskop Mutiara. Saya dan teman-teman masuk jam 12 siang. Di tenga pemutaran film ternyata listik padam dan tentu saja tidak ada? genset. Akhirnya pihak bioskop meminta maaf, kami diminta datang lagi untuk pemutaran jam berikutnya dengan membawa potongan karcis. Pernah membayangkan hal seperti itu terjadi di bioskop sekelas 21 atau XXI?

Istirahat di Tengah Film

Khusus untuk bioskop kelas D, ada beberapa pengalaman lucu lainnya. Karena pemutar film masih terbatas maka biasanya di tengah-tengah penayangan akan ada jeda sekitar 10 menit. Lampu akan menyala dan biasanya ini dimanfaatkan para penonton untuk keluar sebentar buang air kecil.

Seperti yang saya bilang, suasana di dalam bioskop kelas D ini memang lebih mirip layar tancap yang diadakan di dalam ruangan. Tidak adanya AC membuat penonton juga bebas mengisap rokok sepanjang pemutaran film.

Bioskop Jaya yang juga termasuk bioskop kelas D sebenarnya berbeda dengan bioskop serupa yaitu bioskop Apollo. Bioskop Jaya berada dalam satu grup dengan bioskop Paramount dan Dewi yang dimiliki pengusaha berdarah India. Jadi film-film yang diputar di bioskop Jaya memang film-film yang turun dari bioskop Paramount, film-film Hollywood dengan rate-B atau yang bukan box office.

Ada yang unik juga dari bioskop Jaya ini. Di tahun 90an, kita belum bisa dengan mudah menemukan material porno seperti sekarang dan nampaknya ini jadi salah satu daya tarik bioskop Jaya. Kadang dalam masa pemutaran film sesekali mereka menyelipkan adegan full nude atau bahkan adegan porno tanpa sensor yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan film yang sedang diputar. Ini dilakukan berkali-kali, kadang-kadang saya merasa kalau inilah yang jadi daya tarik kenapa bioskop kelas D yang satu ini selalu ramai dikunjungi orang utamanya para lelaki.

Karena reputasinya itu pula kenapa bioskop Jaya sering disebut sebagai bioskop tunduk. Tepat di depan bioskop ada jalan yang ramai dan jalur angkutan umum. Para penonton selepas bubaran biasanya akan langsung berhadapan dengan jalan yang ramai, tidak semua percaya diri dengan menampakkan wajahnya sekeluarnya dari bioskop. Sebagian memilih untuk menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Itulah kenapa bioskop Jaya kemudian kerap disebut sebagai bioskop tunduk.

Menjelang akhir tahun 90an, satu persatu bioskop ini kemudian gugur. Penyebabnya beragam, mulai dari monopoli distribusi film yang dikuasi Cineplex serta serbuan dari luar berupa cakram padat (CD) yang dengan mudahnya bisa ditemukan dan diputar di ruang-ruang keluarga.

Akhirnya hukum alam berbicara. Bioskop-bioskop itu tutup satu persatu. Sampai sekarang bekasnya yang tersisa tinggal sedikit. Hanya ada bekas Arini, Mall Theatre dan Apollo yang semuanya menyerupai bangunan tidak terawat. Bioskop yang lain berubah fungsi jadi ruko atau kelab malam. Masa-masa menanti film turun dari 21 tinggal kenangan, begitu juga masa menantikan film-film India, film Hong Kong atau film Hollywood kelas dua sudah berlalu. Sekarang semua terpusat pada 21 dan saudaranya XXI.

Akhirnya kenangan menonton bioskop dengan kursi rotan dan kadang ditemani nyamuk itu tinggal kenangan.

[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.