Dinamika KotaMakassar

1000 Pertanyaan Tentang Reklamasi

Reklamashit!
Reklamashit!

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika melihat rangkaian gambar rencana reklamasi Pantai Losari.

Sebuah email masuk ke kotak pesan saya, tepat ketika saya sedang mencari cara untuk menumbuhkan mood. Hari ini entah kenapa saya seperti sedang tidak bersemangat, padahal ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan. Email yang masuk itu segera menarik perhatian saya. Email itu dikirimkan oleh seseorang yang nampaknya adalah bagian dari sebuah agen pemasaran. Isinya menawarkan beberapa jenis usaha di kawasan Citraland City Pantai Losari Makassar. Entah dari mana dia dapat email saya dan entah kenapa dia merasa saya cukup mampu dan mau menerima penawarannya.

Ada 28 lembar gambar yang dikirimkan si sales yang seorang pria itu, gambar-gambar yang seharusnya membuat orang yang melihatnya jadi kagum. Isinya adala rencana reklamasi pesisir Pantai Losari yang kelak akan menjadi seolah satu kota mandiri bernama Citraland City, The Waterfront CBD-Losari, Makassar.

Di gambar-gambar itu terpampang jelas deretan rencana pembangunan yang kelak akan mengubah wajah Pantai Losari. Di atas timbunan laut akan dibangun kawasan komersil, kawasan apartemen, kompleks istana negara dan Karebosi baru. Di atas kawasan itu pula akan ada replika kota-kota dunia. Ada replika Singapura, replika kota di Australia sampai replika kota Venice di Italia yang memang terkenal dengan air dan gondolanya.

Benar-benar gambar yang (seharusnya) memukau.

Tapi entah kenapa, saya malah merasa ada yang nyeri di dalam dada ketika melihat gambar-gambar itu? Sampai sekarang saya belum paham betul alasan pemerintah kota dan provinsi untuk menyetujui rencana reklamasi itu. Konon karena alasan lingkungan, supaya laut tidak makin dangkal, supaya abrasi tidak makin menggerus Losari. Baiklah, mungkin itu masuk akal. Tapi apa memang harus ada bangunan ya di atas tanah timbunan itu? Harus ya ada area komersil di atasnya?

Kalau memang ada bangunan komersil, apalagi apartemen, apakah itu tidak malah menambah masalah untuk lingkungan? Bagaimana sanitasinya? Bagaimana sampah rumah tangganya? Bagaimana dengan ekosistem sekitarnya? Bukankah dengan adanya kegiatan komersil apalagi kegiatan rumah tangga sepanjang waktu maka ekosistem di sekitar akan terganggu?

Kalau ekosistem terganggu, lalu bagaimana dengan nelayan di pesisir Mariso? Apakah mereka masih bisa melaut nanti? Bagaimana dengan warga pencari kerang yang biasa mencari nafkah di sekitar Tanah Tumbuh yang sekarang ditimbun menjadi kota baru itu? Masih bisakah mereka mencari nafkah di sana? Di antara bangunan mewah yang akan berdiri angkuh di atas timbunan?

Kampung Mariso sendiri bagaimana? Apakah nanti akan dibiarkan berdiri di sana ketika tak jauh dari kampung mereka berdiri deretan bangunan mewah nan mentereng? Apakah kira-kira para penghuni apartemen itu akan tetap nyaman melihat tak jauh dari apartemen mereka yang begitu nyaman, lux dan moderen itu terhampar perkampungan yang oleh orang berduit disebut kumuh?

Lalu bagaimana dengan pulau Lae-Lae? Pulau itu membawa banyak cerita, banyak dinamika dan sudah cukup tua untuk jadi penonton perubahan yang terjadi di kota Makassar. Apakah pulau nanti akan tetap ada? Bukankah jaraknya begitu dekat dengan area reklamasi? Bukankah pulau itu akan mengganggu pemandangan orang-orang kaya yang menghuni apartemen di atas tanah reklamasi itu?

Sayapun belum tahu bagaimana dengan daratan kota Makassar nanti? Akankah lingkungannya jadi terganggu? Jadi makin sering menderita karena banjir?

Lalu, apakah memang syarat sebagai kota dunia adalah harus punya duplikasi kota-kota mewah di belahan dunia lain? Apakah suasana Singapura, Australia dan Venice memang harus didatangkan? Lalu apa kabar identitas asli kita? Atau mungkin memang identitas asli kita tak sederajat dengan identitas mereka yang lebih maju itu? Bukankah itu tanda kalau kita memang inferior dan pantas untuk terus-terusan dijajah?

Terlalu banyak pertanyaan tentang rencana reklamasi ini. Terlalu banyak kebimbangan yang justru membuat saya makin pening dan makin teriris melihat 28 gambar yang mampir ke email saya siang ini.

Atau, mungkin saya yang terlalu naif dan terlalu sulit menerima perubahan berlabel modernitas ini? [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (5)

  1. Memiliki rasa yang sama selaku anak pribumi yang rindu nama Makassar mendunia tanpa memakai topeng

  2. Sebagai Orang pendatang yang sudah merasa memiliki kota Makassar, ikut prihatin dengan perubahan tersebut, apalagi sampai melakukan penimbunan laut yang notabene untuk area komersiel bukan untuk fasilitas umum…

    Oh Makassarku, semoga kau tidak menangis

  3. inilah representasi keminderan pemimpin memaknai modernisasi, mungkin baginya kota dunia harus mempecundangi karakteristik dan identitas masyarakat lokalnya.
    Kejahatan dan kebijakan tak ada bedanya bagi masyarakat kecil. miris memang…

  4. Green Pramuka City

    makasih om, info nya 🙂

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.