InternetTips Blogging

Teknik Dasar Wawancara Buat Blogger

ilustrasi
ilustrasi

Teknik dasar wawancara untuk para blogger, setidaknya menurut pengalaman saya.

Tulisan yang bagus adalah yang dilengkapi dengan wawancara. Saya percaya pada kalimat ini, utamanya untuk tulisan reportase atau non fiksi. Memasukkan hasil wawancara tentu akan membuat tulisan jadi lebih bergizi, penuh dengan data dan fakta. Wawancara memungkinkan kita penulis untuk mendapatkan fakta di lapangan. Fakta yang bisa diolah menjadi sebuah tulisan dengan berlandaskan pada beberapa fakta lain dari literatur yang berkaitan.

Untuk melakukan wawancara memang susah-susah gampang, apalagi untuk blogger yang bukan jurnalis. Para jurnalis tentu punya kelebihan di kartu pers-nya. Dengan kartu itu dia bisa menembus narasumber apa saja dan mewawancarai siapa saja. Blogger tidak. Tidak banyak orang yang tahu apa itu blogger dan apa relevansinya melakukan wawancara.

BACA JUGA: Bagaimana Membuat Konten Berkualitas?

Selama bertahun-tahun menjadi blogger sudah cukup banyak juga orang yang berhasil saya wawancarai. Memang belum ada tokoh penting, semua hanya orang-orang biasa yang menurut saya punya kapasitas besar untuk dituliskan kisahnya atau sekadar dikutip pernyataannya.

Dalam rentang waktu itu ada beberapa hal yang saya pelajari tentang teknik dasar wawancara. Sesuatu yang mungkin bisa sedikit saya bagikan di sini. Sekadar menambah wawasan, bukan untuk menggurui.

Wawancara Spontan Atau Terencana?

Wawancara menurut saya terbagi atas dua hal. Wawancara spontan dan wawancara yang direncanakan. Wawancara spontan terjadi begitu saja ketika saya menemukan sebuah fenomena atau kejadian yang menurut saya menarik untuk dituliskan. Misalnya, suatu hari saya menikmati es dawet khas Banjarnegara di suatu siang yang terik di kota Makassar. Awalnya saya tidak berpikir untuk menuliskan kisah si penjual es dawet itu, tapi ketika iseng bertanya dan dia dengan lancar bercerita saya lalu berpikir kalau kisahnya layak untuk saya tuliskan.

Maka mulailah dengan santai saya bertanya banyak hal kepadanya. Dari sejak kapan dia ke Makassar, apa yang membawanya ke sini, siapa yang membiayainya berjualan, apa yang dilakukannya di musim hujan ketika es dawet tidak jadi dagangan yang laku dan beragam pertanyaan lainnya.

Wawancara yang terjadi tentu saja berlangsung spontan, tidak terencana dan tidak memiliki outline. Mengalir begitu saja dalam sebuah obrolan ringan. Meski begitu hasilnya cukup lumayan, banyak data dan cerita yang saya dapatkan. Data dan cerita itu saya tambah dengan data lainnya lalu saya susun menjadi sebuah cerita tentang para perantau Banjarnegara yang berjualan es dawet.

Wawancara spontan juga banyak terjadi ketika saya berjalan ke suatu tempat dan berniat menuliskannya. Tiba-tiba saja saya ketemu seseorang di suatu tempat wisata yang kadang menurut saya ceritanya menarik dan akan menambah bobot tulisan perjalanan saya.

Baca kisah perjalanan ke Maluku.

Di waktu lain saya berniat menulis tentang fenomena batu akik di kota Makassar. Ini tentu saja bukan tulisan spontan, saya punya waktu untuk mengidentifikasi siapa-siapa saja yang harus saya wawancarai. Apakah penjual batu akik? Penggemar batu akik? Atau siapa lagi? Intinya semua terencana dan tidak spontan.

Wawancara yang terencana jelas punya kelebihan dibanding wawancara spontan karena kita punya kesempatan untuk melakukan riset sederhana dan mengira-ngira pertanyaan apa yang penting untuk ditanyakan. Langkahnya kira-kira seperti ini:

1. Mengindentifikasi Narasumber.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mengidentifikasi siapa saja yang harus saya wawancarai untuk memperkuat tulisan saya. Siapa pelaku utama dan siapa pelaku tambahan. Sebisa mungkin saya akan mencari tahu latar belakang narasumber, lengkap dengan tingkat wawasan atau pengetahuannya. Hal ini berpengaruh pada tata cara saya mewawancari mereka.

Narasumber yang punya pengetahuan dan wawasan luas apalagi terpelajar sangat suka pada pewawancara yang juga punya pengetahuan dan wawasan luas. Mereka suka kalau pertanyaan yang diajukan menurut mereka cukup cerdas atau kritis, apalagi kalau kemudian memunculkan diskusi antar dia dan kita pewawancara. Mereka akan memandang kita setengah mata ketika mereka menganggap kita tidak punya wawasan dan pengetahuan yang sepadan dengan mereka. Apalagi kalau pertanyaan kita dianggapnya pertanyaan bodoh. Bisa rusak suasana wawancara.

Ini agak berbeda ketika kita mewawancarai orang-orang biasa yang tingkat wawasan dan pengetahuannya rata-rata. Mereka malah akan terintimidasi kalau kita terlihat begitu cerdas dan kritis. Sebaliknya ketika kita tampil seperti tidak tahu apa-apa mereka akan lebih percaya diri karena merasa lebih pintar dari kita.

Jadi untuk narasumber orang biasa ini saya lebih suka pura-pura tidak tahu dan berusaha membangun kepercayaan diri mereka dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Biasanya mereka jadi lebih lepas dan percaya diri karena menganggap dirinya lebih tahu daripada kita. Bukankah tujuan kita memang mengorek informasi sebanyak mungkin?

Tambahan, menurut salah satu guru saya; Eko Rusdianto, tulisan yang bagus adalah yang memunculkan minimal lima narasumber. Jumlah ini bisa ditoleransi kalau tulisan Anda hanya untuk konsumsi blog pribadi, tapi sebaiknya memang memenuhi jumlah minimal tersebut.

2. Siapkan Pertanyaan.

Sebelum memulai wawancara sebisa mungkin saya membuat garis besar apa-apa saja yang akan saya tanyakan. Tentu ini jadi bekal penting agar wawancara lebih fokus dan tidak berkeliaran ke mana-mana. Tapi ingat, garis besar ini bukan panduan utama. Semua bisa terjadi di lapangan. Ketika wawancara berlangsung, bisa saja ada fakta-fakta baru yang juga menarik untuk dituliskan. Harus diingat juga bahwa wawancara bukan untuk menggiring narasumber kepada sebuah fakta yang kita inginkan, tapi giring mereka untuk menunjukkan fakta yang sebenarnya.

Kadang secara tidak sadar kita membangun opini di kepala dan berharap narasumber bisa memberi fakta sesuai opini kita, padahal belum tentu opini kita benar. Biarkan narasumber bercerita apa adanya walaupun mungkin cerita atau data yang mereka berikan itu tidak sepenuhnya benar.

Kalau ada kesempatan, lakukan konfirmasi kepada pihak lain atau minimal mengecek fakta lewat mesin pencari. Kadang kala narasumber (apalagi orang biasa) hanya menggunakan perkiraan saja, misalnya soal luas desa atau jarak. Tugas kita mengonfirmasi fakta itu agar lebih akurat.

Daeng Nuntung, guru saya yang lain juga memberi tips tambahan. Pertanyaan harus konkrit, bukan tentang perasaan. Jadi kurang tepat kalau kita bertanya kepada seorang pedagang dengan pertanyaan seperti ini; pendapatan bapak sebulan berapa? Jawaban atas pertanyaan itu tentu akan tidak akurat dan hanya berlandaskan perasaan. Kalau mau jawaban yang akurat, tanyakan soal angka-angka, misalnya; bulan lalu dapat berapa pak? Terus ingat ndak bulan sebelumnya berapa? Jawaban dari dua bulan itu bisa kita jadikan rata-rata penghasilannya dalam sebulan.

3. Lakukan Sesantai Mungkin.

Karena kita “hanya” blogger dan bukan jurnalis maka wawancara tentu akan berbeda. Ingat kalau masih banyak orang yang tidak tahu apa itu blogger dan karenanya mereka akan bingung ketika kita bilang kalau kita blogger yang mau mewawancarai mereka. Beda dengan jurnalis yang bisa memperkenalkan diri sebagai jurnalis dari A sebelum melakukan wawancara. Biasanya mereka akan langsung diterima narasumber meski ada juga narasumber yang langsung grogi atau bahkan menolak.

Hal yang biasa saya lakukan adalah memulai wawancara dengan obrolan santai dulu, tanpa menyinggung-nyinggung siapa saya dan apa maksud saya. Ketika suasana mulai cair barulah saya memperkenalkan diri dan maksud saya apa. Tentu dengan bertanya dulu, bolehkah ceritanya saya tuliskan? Pembukaan itu penting, tanpa pembukaan yang santai biasanya akan sulit menembus narasumber.

Hal yang sangat membantu bagi saya adalah penguasaan bahasa daerah. Ketika mampu bercakap-cakap dalam bahasa daerah si narasumber maka otomatis pintu akan terbuka lebar. Tidak perlu paham 100%, asal bisa logatnya saja itu sudah bagus. Selama di Papua saya berusaha sebisa mungkin menggunakan logat Papua ketika berinteraksi dengan warga di sana. Mereka memang mengernyitkan dahi melihat saya, mungkin logat saya ngasal, tapi saya rasa itu malah membuat mereka jadi lebih santai. Bagaimanapun kita pasti akan merasa tersanjung ketika ada orang asing yang berusaha melebur dengan kita lewat medium bahasa.

Tips lain dari guru saya Daeng Nuntung perihal teknik dasar wawancara adalah memulai pembicaraan dengan memuji. Misal, narasumber menghidangkan kue dan teh atau kopi. Mulailah pembicaraan dengan memuji hidangan itu, niscaya narasumber akan lebih santai dan terbuka. Hal paling menyenangkan adalah ketika narasumber punya anak kecil. Anak kecil bisa jadi pintu masuk untuk berinteraksi. Sapa mereka, ajak berkenalan dan kalau bisa ajak bermain. Kalau mereka bisa menerima kita dengan baik maka orang tuanya tentu akan lebih mudah ditembus.

Ketika menulis tentang batu akik saya memberikan banyak pujian kepada para penggemar batu akik yang saya wawancarai. Pujian-pujian tersebut membuat mereka jadi lebih percaya diri untuk bercerita banyak tentang batu akik mereka.

Baca juga: Mia yang Mendulang Rupiah di Musim Batu

teknik dasar wawancara
Wawancara paling ekstrem, di bukit

4. Siapkan Alat dan Patuhi Etika.

Ini agak tricky sebenarnya. Ketika kita menyiapkan alat berupa perekam dan buku catatan maka biasanya suasana akan berubah jadi formil. Tapi tanpa alat itu bisa-bisa kita akan kehilangan banyak info berharga. Strategi saya biasanya di awal saya mengandalkan ingatan sekuat mungkin, lalu ketika suasana sudah lebih cair dan mereka sudah tahu betul siapa kita dan apa maksud kita maka di saat itulah alat saya keluarkan.

Semua catatan penting yang sudah lewat saya tulis dan saya konfirmasi ulang, pun dengan alat perekam. Suasana ini agak berbeda ketika saya menemui narasumber sebagai salah seorang reporter untuk sebuah majalah internal sebuah NGO. Dari awal mereka sudah tahu siapa saya dan apa maksud kedatangan saya, jadi alat sudah saya persiapkan juga sejak awal.

Memang awalnya suasana agak formil dan kaku, tapi saya berusaha membuat suasana secair mungkin sampai kemudian wawancara berlangsung santai.  Tapi ketika mewawancarai narasumber sebagai seorang blogger maka tentu saja cara ini tidak saya gunakan.

Meski kita bukan jurnalis, tapi etika ketika mewawancarai narasumber juga tetap harus dipegang. Salah satunya adalah meminta persetujuan, apakah pernyataan mereka bisa dikutip atau tidak. Kalau mereka bilang jangan, maka patuhi, jangan dilanggar. Biasanya dalam wawancara yang berlangsung santai, narasumber secara tidak sengaja mulai curhat, kadang curhatnya sensitif dan menyalahkan salah satu pihak tertentu. Tanyakan, bolehkah pernyataannya itu kita tulis atau tidak?

5. Ucapkan Terima Kasih.

Setelah semua selesai, saatnya mematikan alat perekam dan memohon diri. Jangan lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada narasumber. Katakan kalau obrolan hari itu sangat menarik, menambah wawasan dan pengetahuan Anda. Ucapan seperti ini menunjukkan kerendahan hati kita dan betapa kita sangat menikmati waktu bersama narasumber.

Tapi ingat, hal ini bukan basa-basi busuk di mulut saja tapi sebenar-benarnya datang dari hati. Sekecil apapun pengetahuan dan informasi yang kita dapatkan, itu adalah modal berharga bagi kita membuat sebuah tulisan. Dengan berterimakasih, kita bisa memberikan penghargaan dan mungkin saja baru membuka jejaring pertemanan yang baru. Suatu hari nanti siapa yang bisa menebak kalau jejaring itu justru membawa manfaat besar bagi kita.

Setelah melakukan wawancara, jika waktu memang masih lowong tinggallah dulu. Sekadar mengobrol santai atau bercengkerama. Dari pengalaman saya, di kesempatan seperti itu terkadang ada informasi-informasi menarik yang terlontar. Mungkin karena suasananya yang sudah lebih santai jadi narasumber juga lebih lepas.

Setidaknya itulah teknik dasar wawancara dari saya untuk teman-teman blogger yang ingin melakukan wawancara untuk memperkuat tulisan mereka. Tips ini memang terlalu sederhana, tentu akan berbeda dibanding tips para jurnalis yang lebih mumpuni. Tips ini hanya berdasarkan pengalaman saya yang belum ada seujung kuku. Mungkin teman-teman ada yang mau menambahkan? Silakan saja.

Selebihnya, mari menulis! Keep on bloggin’ in a free world! [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (9)

  1. Saya dulu pernah ngobrol dengan kawan lama yang bekerja di salah satu harian surat kabar lokal, obrolan ringan di event launching produk smartphone. Eh, ternyata obrolan itu muncul di portal berita online tempat kawan saya itu bekerja. Berangkat dari obrolan remeh temeh itu ternyata bisa menjadi sebuah informasi yang menarik untuk ditulis.

  2. Achmad Muttohar

    Makasih, daeng tips-nya. Kebetulan sekali saya kadangkala juga suka nulis di portal berita lokal daerah saya yg dikelola oleh teman2 blogger Magelang, tentunya tip dari daeng ini sangat bermanfaat sekali buat saya.

  3. Terima kasih Daeng, artikelnya inspiratif

  4. Saya pernah menyepelekan wartawan Tempo lho, hehehe..

    Waktu itu saya sedang bekerja di rumah sakit, membantu persalinan beberapa pasien. Lalu setelah seharian, seorang wartawan Tempo datang kepada saya, ingin tanya berapa yang saya bantu lahirkan hari itu. Saya heran, kenapa dia nggak tembus aja langsung ke bagian rekam medis, karena catatannya lebih akurat di sana. Ternyata setelah saya mengorek dia, dia sedang berusaha menyelidiki berapa persalinan yang terjadi karena saya provokasi. Karena hari itu tanggal 17 Agustus. Dia menyangka itu hari istimewa sehingga banyak orang hamil ingin melahirkan pada hari itu. Saya mengernyit karena kalau orang ingin melahirkan pada tanggal yang disengaja, orang itu tidak akan pergi ke rumah sakit kelas ekonomi menengah ke bawah tempat saya bekerja. Masak media sekelas Tempo tidak menyadari logika cetek seperti itu? 😀

    Ngomong-ngomong, saya nggak mufakat dengan jumlah narasumber minimal lima orang untuk blog. Saya biasa menulis sampai 750 kata/artikel, dan mewawancarai dua orang narasumber saja bisa dapat banyak data yang melebihi 750 kata. Kecuali mungkin kalau artikelnya butuh ribuan kata ya, boleh sih kalau mau narasumber yang banyak. Segmen pembaca blog saya umumnya cukup betah dengan standar jumlah < 1.000 kata/artikel, sehingga dua narasumber saja sudah cukup untuk saya.

    • soal wartawan Tempo itu sih saya no comment hehehe
      yaa mungkin dia gambling juga ya, tapi bener juga..logikanya kurang masuk. mungkin karena kurang baca?

      soal narasumber, kalau tulisannya akan dimuat di majalah memang butuh lebih banyak narasumber. biar berita lebih berimbang. kalau untuk konsumsi blog sendiri sih, menurut saya ya tidak masalah soal jumlah narasumbernya

  5. Keren. Tulisan yang sangat berguna tuk saya.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.