Benahi UU ITE; Sebuah Catatan Dari FDD
Wanita itu menceritakan kisahnya dengan terbata-bata. Sesekali suaranya serak seperti menahan tangis. Dia tidak mau namanya disebut, mungkin masih merasa tidak nyaman karena kasusnya masih berhubungan dengan rumah tangganya, sesuatu yang bagi orang Indonesia masih sangat tabu dan memalukan untuk dijadikan konsumsi publik.
Ibu itu berinisial WY, orang Padang yang tinggal di Bandung. Kisah ini berawal ketika beliau mulai tidak tahan menerima perlakuan kasar (mantan) suaminya. Kisah itu disimpannya saja, sampai kemudian suatu hari dia bertemu teman SMP-nya di jejaring sosial Facebook. Karena merasa nyaman, kisah itu diceritakannya pada sang teman, layaknya seseorang yang menemukan teman curhat.
Curhatan WY ternyata berbuntut panjang. Suatu hari entah bagaimana (mantan) suaminya berhasil mengakses akun Facebook-nya dan percakapan via inbox itu memicu bencana baru dalam rumah tangga mereka. Tapi menurut WY, masalah itu selesai lewat cara kekeluargaan.
Selang tidak lama kemudian masalah itu ternyata naik kembali ke permukaan. Pasalnya ketika itu WY sudah tidak tahan menerima perlakuan (mantan) suaminya dan melaporkannya dengan tuduhan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sang (mantan) suami tidak tinggal diam, dia membalas dengan mengungkit masalah percakapan via inbox Facebook ke depan hukum. Tuduhannya pencemaran nama baik, pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara atau denda Rp. 1 M menjadi senjata utama.
WY dijemput paksa di kampung orang tuanya di Padang dengan alasan dua kali dipanggil tidak menghadap. Padahal kata WY dia sama sekali tidak tahu soal panggilan itu. Apapun alasannya, WY tetap ditangkap meski akhirnya bisa keluar karena permohonan penangguhan penanganannya diterima. Sampai sekarang kasusnya masih bergulir dan ancaman penjara masih mengintai.
Suatu kali pihak (mantan) suaminya pernah mengajukan usulan, mereka siap menarik laporan kepada WY asal WY bersedia diceraikan tanpa menerima harta gono-gini dan melepaskan hak asuh anaknya. Harta bukan masalah buat WY, tapi melepaskan hak asuh anak yang jadi pemikirannya.
Sialnya, laporan kasus KDRT yang dilaporkannya sama sekali tidak diproses. Berbeda dengan laporan (mantan) suaminya yang menggunakan UU ITE pasal 27 ayat 3 yang ditindak lanjuti polisi dengan gerak cepat.
*****
WY adalah satu dari 3 korban UU ITE yang sempat hadir dalam Forum Demokrasi Digital yang digelar di Hotel Aryadhuta Tugu Tani, Jakarta Pusat hari Selasa 3 Februari 2015. Dua orang lainnya adalah Ervani dan Arsyad. Ervani sempat mencicipi penjara dan proses persidangan yang meletihkan setelah tersandung akibat status di Facebook-nya yang mengkritik pimpinan perusahaan tempat suaminya bekerja. Sementara Arsyad sempat mendekam di penjara selama 100 hari akibat status BBM-nya yang dianggap menghina dan merusak nama baik seorang pejabat di Makassar.
Mereka bertiga hadir untuk membagikan kisah mereka selama menjadi penyakitan akibat kejamnya UU ITE, khususnya pasal 27 ayat 3 yang multi interpretasi itu. Sekilas apa yang mereka lakukan sebenarnya bisa dibilang remeh, sesuatu yang biasa dilakukan oleh banyak dari kita. Tapi hal sepele itu ternyata berbuntut panjang, seorang Arsyad bahkan menghabiskan 100 hari dalam penjara plus puluhan sidang yang tentunya melelahkan.
Dalam rentang 4 tahun sejak diberlakukan tahun 2008, UU ITE sudah menjatuhkan 74 korban yang tersebar mulai dari Aceh sampai Sulawesi Selatan. Jumlah ini adalah jumlah yang bisa dicatat oleh SAFENet, tapi diyakini jumlah sebenarnya masih lebih banyak lagi. Kejamnya lagi karena jumlah itu naik drastis di tahun 2014. Total selama tahun 2014 ada 44 kasus atau menyumbang 59% dari total kasus.
Sebagian besar memang kasus personal tapi tetap melibatkan satu orang yang lebih berkuasa dari yang lainnya. Sementara itu 37% kasus yang dilaporkan ke polisi melibatkan pejabat publik yang melaporkan warganya karena merasa tersinggung atas kritikan atau komentar sang warga.
Menteri KOMINFO, Rudiantara yang hadir dalam FDD hari itu memberikan komentar kalau bukan? UU ITE-nya yang bermasalah tapi penerapan oleh para aparat hukumlah yang tidak tepat. Komentar ini dikeluarkan pak menteri menanggapi desakan banyak pihak untuk segera merevisi UU ITE, khususnya pasal 27 ayat 3. Namun Rudiantara mengaku tidak menutup kemungkinan untuk mengusulkan upaya merevisi UU ITE yang bola panasnya sekarang memang berada di tangan pemerintah.
Dalam kesempatan yang sama, Meutya Hafid mantan jurnalis TV yang sekarang jadi anggota DPR komisi 1 mengungkapkan niatnya dan niat anggota DPR komisi 1 untuk merevisi segera UU ITE. Ungkapan itu dikeluarkannya selepas mendengar curhatan para korban UU ITE yang hadir.
Pertemuan Selasa 3 Februari 2014 itu menyiratkan setitik harapan akan enyahnya pasal karet di UU ITE tersebut. Pasal yang jadi momok bagi banyak orang dan rasanya akan makin menjerat ketika makin banyak pejabat manja yang menggunakannya untuk menekan dan membungkam warganya yang kritis.
Sudah waktunya memang kita berbicara lebih jauh tentang kebebasan dalam berdemokrasi atau kebebasan berekspresi di internet. UU ITE memang bukan tanpa guna, dalam beberapa hal ada banyak keuntungan yang menyertainya. Tapi sayang, UU ITE juga hadir dengan beberapa pasal yang membuai para pejabat manja nan cengeng atau mereka yang sensi tapi punya kuasa.
Sampai kapan kita akan mendengarkan cerita dari orang-orang seperti WY, Ervani, Arsyad atau Fadhli yang sedang disidang di Gowa saat ini? Sampai kapan UU ITE akan jadi jerat yang mematikan bagi banyak orang? Menjadi momok yang memberangus kebebasan berekspresi di Indonesia?
Sudah saatnya membenahi UU ITE. [dG]
ternyata banyak kasus yg belum terungkap di media. jangan2 lebih banyak lagi korban pasal karet ini. :-/