Internet

Balada Haji Blokir

Aish, kena blokir deh!
Aish, kena blokir deh!

Tahu Haji Blokir kan? Komedian yang juga sering muncul di film horor Suzanna. Sekarang dia lagi ramai dibicarakan di dunia maya.

Penikmat film horor tahun 80an dan 90an pasti kenal baik dengan sosok Suzanna, dewinya film horor Indonesia. Dia tidak perlu berdandan a la zombie atau a la exorcist untuk tampil seram, cukup menatap dengan tatapan dingin dan mata yang membelalak maka rasa seram akan datang dengan sendirinya. Tapi, ingat Suzanna tentu ingat Haji Blokir. Beliau ini lelaki tua kerempeng yang entah hadir berapa kali sebagai cameo di film-film Suzanna.

Di film Suzanna, Haji Blokir hadir sebagai cameo, sebagai pelengkap untuk meredakan nuansa horor dengan aksi komedinya yang slapstik. Belasan tahun kemudian beliau hadir lagi, kali ini bukan di film Suzanna tapi di ranah maya. Hebatnya karena sekarang ini dia hadir bukan dalam peran sebagai komedian, tapi peran hantu yang menakut-nakuti.

Iya, Blokir sedang ramai dibicarakan belakangan ini utamanya ketika salah satu laman penyedia media video tiba-tiba jadi korban Haji Blokir. Vimeo namanya, saya kurang akrab sebenarnya sama media satu ini, tapi saya tahu kalau fungsinya hampir sama dengan YouTube. Bahkan setahu saya beberapa orang pekerja film profesional sampai membeli layanan profesional Vimeo untuk menyimpan karya mereka sebagai portofolio. Sekarang mereka gigit jari karena beberapa penyedia layanan internet meminta Haji Blokir untuk menghadang akses ke Vimeo.

Sebelum lanjut kita hentikan dulu bercandanya. Blokir yang saya maksud tentu tidak ada hubungannya dengan Haji Bokir, legenda seniman Betawi yang memang rajin hadir di film-film horor Suzanna. Blokir yang saya maksud tentu saja berbeda, sama sekali tidak lucu seperti Haji Bokir.

Blokir atau penapisan memang jadi salah satu topik yang hangat dibincangkan pelaku dan penikmat internet di mana saja di dunia ini. Kementerian atau pemerintahan sebuah negara dengan maksud tertentu berniat menertibkan layanan internet di negara atau daerah kekuasaan mereka. China melakukan seleksi ketat dan blokir ketat terhadap beberapa situs yang mereka anggap berbahaya, Indonesia yang lebih bebas juga melakukan blokir atau penapisan pada situs yang dianggap membahayakan moral dan mental warganya.

Di Indonesia ada juga warga yang bergerak sendiri membuat layanan DNS yang bisa digunakan oleh orang tua atau mereka yang mau sukarela menapis laman-laman berbau pornografi, judi, phising dan lain-lain. Selain warga beberapa tahun belakangan ini pemerintah juga mulai sibuk melakukan penapisan, maka muncullah yang namanya Trust + di bawah komando Kominfo.

Keduanya melakukan hal yang sama, memilah dan memilih laman mana yang bisa atau harus diblokir. Bedanya, kalau DNS sukarela buatan warga itu bisa dipilih tergantung sang pengguna mau menggunakan DNS-nya atau tidak. Plus, mereka juga punya mekanisme terbuka soal blokir memblokir ini. Kita bisa tahu siapa admin di belakangnya, kitapun bisa mengajukan keberatan kalau misalnya mereka salah blokir. Maklum saja, manusia saja bisa salah apalagi kalau semua dibebankan ke mesin untuk memilih dan memilah laman yang bisa diblokir.

Bagaimana dengan layanan blokir punya pemerintah? Nah bedanya di sini. Layanan blokir punya pemerintah yang setahu saya bernama Trust + ini tidak punya mekanisme yang jelas. Mereka melakukan blokir sesuai perintah, memang sebagian besar laman yang masuk ke dalam daftar mereka adalah laman yang benar-benar bermuatan pornografi, judi dan pishing tapi ternyata ada juga beberapa laman yang masih berada di batas abu-abu. Sulitnya lagi karena mereka tidak punya mekanisme komplain, ketika pemilik laman mau bertanya nasib laman mereka yang kena blokir mereka akan dilempar ke sana kemari seperti bola di pertandingan basket.

Kasus terakhir ini jadi contoh. Pak menteri berucap kalau atas perintahnya yang ditembuskan ke semua penyedia layanan internet Indonesia maka Vimeo kena blokir. Alasannya karena Vimeo terindikasi konten pornografi. Alasannya lagi mereka sudah menyurati pengelola laman meski lewat akun twitter pengelola laman mengaku belum menerima surat resmi dari Keminfo Indonesia, mungkin mereka lupa cek inbox email atau emailnya masuk spam, entahlah.

Kata Irwin Day, pengelola salah satu layanan DNS warga di wall Facebooknya: membuat sistem pemblokiran adalah hal mudah, mengelola basis data pemblokiran, menilai muatan yang pantas diblokir atau tidak, menjawab komplain pengguna adalah cerita lain. Nah, dari sini kelihatan kan kalau urusan blokir memblokir ini memang tidak mudah. Tidak lantas karena punya kuasa terus mereka yang merasa berkuasa itu bisa memblokir tanpa menyiapkan mekanisme komplain yang bagus.

Apa yang tejadi sekarang buat saya adalah alarm tanda bahaya. Pemerintah bisa memaksakan kehendak pada penyedia penyedia layanan internet di Indonesia untuk melakukan blokir sesuai kehendak mereka tanpa penjelasan yang bisa diterima, minimal oleh sebagian besar pengguna. Bagaimana kalau suatu hari mereka tiba-tiba menyurati internet provider untuk memblokir salah satu situs yang bersuara kritis terhadap pemerintah? Atau meminta internet provider untuk memblokir laman yang menurut mereka terlalu sumbang bersuara pada pemerintah? Kalau sampai ini terjadi berarti kita siap-siap saja mengucapkan selamat datang pada orde baru.

Kesimpulannya, saya tidak anti sama Haji Blokir, eh sama blokir memblokir asal mekanismenya jelas. Saya tidak pernah protes ketika Worldsex, DuniaSex, Sawomatang dan Krucil diblokir karena memang saya yakin laman-laman itu banyak mudharatnya. Tapi, ketika laman yang dibuat memang bukan untuk urusan konten pornografi diblokir maka lain lagi ceritanya. Kalau memang mau ya sekalian saja Facebook dan Twitter diblokir, toh pak Menteri juga tahu kalau di twitter ada akun ToketQueen.

Aish, pak Blokir ini bikin ramai saja. [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.