Ahmad Yunus (berbaju merah) ketika bercerita tentang pengalamannya
Ahmad Yunus (berbaju merah) ketika bercerita tentang pengalamannya

Bertemu dengan seorang jurnalis yang juga sekaligus pejalan, sebuah momen inspiratif yang menambah wawasan.

Namanya mungkin kalah tenar dengan Riyanni Djangkaru, Marisca Prudence, atau deretan host jalan-jalan di stasiun televisi yang sedang ramai belakangan ini. Orang bahkan mungkin lebih mengenal Farid Gaban, jurnalis senior yang pernah mengitari Indonesia selama setahun penuh dengan motor Honda Wing. Tidak terlalu banyak yang mengenal nama Ahmad Yunus, padahal dialah yang bersama dengan Farid Gaban melakukan ekspedisi gila itu.

Kami (saya dan teman-teman Kelas Menulis Kepo) mendapat kehormatan bertemu beliau pekan kemarin. Di sebuah kedai kopi yang riuh di bilangan daerah Panakkukang, kami bercengkerama selepas buka puasa.

Pria asal Bandung itu sangat ramah, santai dan begitu terbuka membagikan pengalamannya, termasuk bercerita tentang perjalanan yang dilakoninya antara tahun 2009 sampai 2010 itu. Menurutnya semua berawal ketika oleh kantor lamanya dia ditempatkan di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Di daerah pesisir pantai itu Ahmad Yunus menemukan suasana yang berbeda dengan Bandung, kota tempat tinggalnya selama ini.

“Di Bandung, makan ikan laut segar sekali sebulan udah untung banget. Di Maumere dan Ende, ikan segar ada di mana-mana. Murah lagi,” katanya.

Persentuhan dengan daerah pesisir seperti Maumere dan Ende kemudian merangsang lahirnya sebuah ide gila; mengitari Indonesia, menelisik pulau-pulau kecil di zamrud katulistiwa ini. Gayung bersambut, Farid Gaban seorang jurnalis senior menyatakan siap untuk ikut berjalan bersamanya.

Dengan modal yang berasal dari tabungan, mereka kemudian memulai perjalanan di bulan Juni 2009.  Dua buah motor bekas bertipe Honda Win 100cc jadi teman perjalanan mereka. Kedua motor yang dulu kerap jadi sepeda motor dinas pegawai BRI itu dimodifikasi sederhana sehingga cukup kuat untuk menemani perjalanan gila itu. Perjalanan itu sendiri pada akhirnya diberi nama Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Perjalanan panjang dengan modal seadanya, jauh dari gelontoran dana sponsor.

Perjalanan itu berakhir setahun kemudian. Beragam cerita dari perjalanan itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Meraba Indonesia”. Sebuah catatan perjalanan tentang apa yang mereka temukan selama setahun mengelilingi Indonesia, menelisik kehidupan warga yang jauh dari sorotan lampu popularitas.

*****

Pertemuan malam itu bukan hanya sekadar dipenuhi cerita perjalanan Ahmad Yunus dan koleganya, Farid Gaban. Mumpung beliau ada di depan kami, maka tak pelak kami pun menggunakan waktu itu untuk mengulik pengalamannya menuliskan cerita perjalanan.

Lalu mengalirlah beragam tips dan trik dari pria brewokan itu.

Ada beberapa hal yang sangat berkesan buat saya. Pertama adalah tentang betapa pentingnya sebuah deskripsi dalam sebuah cerita perjalanan. Ahmad Yunus menekankan tentang pentingnya kita sebagai penulis untuk menceritakan suasana, apa yang kita lihat, apa yang terbaui oleh hidung, apa yang terasa oleh kulit, apa yang kita dengar. Semua itu membantu pembaca untuk ikut larut dalam cerita yang kita susun.

Tapi seberapa banyak deskripsi yang bisa kita masukkan dalam tulisan? Tanya saya. Menurut Ahmad Yunus, semua itu tergantung pada kepekaan kita sebagai penulis. Penulis akan tahu dengan sendirinya kadar banyak-sedikitnya deskripsi yang dimasukkan ke dalam tulisan. Kurang deskripsi akan membuat tulisan kering, tapi terlalu banyak deskripsi juga akan membuat tulisan terlalu rumit, pembaca bisa capek karena terus menerus dipaksa untuk membayangkan suasana dalam sebuah adegan.

Hal lain yang digarisbawahi oleh Ahmad Yunus adalah keharusan seorang pejalan (yang kemudian menjadi penulis) untuk menaruh semua persepsi di belakang.

“Sebelum datang ke suatu tempat, kita mungkin sudah membaca banyak cerita atau informasi tentang tempat itu. Saran saya, taruh semua cerita itu di belakang,” katanya sambil menggerakkan kedua tangannya ke belakang kepala.

Informasi atau cerita tentang sebuah tempat bisa menjebak kita dalam membuat sebuah kesimpulan atau penghakiman. Sesuatu yang sebenarnya adalah sebuah kesalahan fatal. Misalnya, ketika kita berkunjung ke Papua kita bisa saja menemukan rumah-rumah penduduk asli Papua di pegunungan yang sangat sederhana. Lalu, apakah kesederhanaan itu berarti mereka hidup miskin? Dengan standar kota mungkin iya, tapi belum tentu jika kita menggunakan standar mereka.

Ahmad Yunus menekankan, dalam membuat tulisan hindari untuk membuat sebuah kesimpulan atau penghakiman. Ceritakan saja apa adanya, gambarkan apa adanya dan biarkan pembaca sendiri yang menyimpulkan. Jangan sampai kita sebagai penulis menggiring dengan paksa para pembaca ke arah sebuah kesimpulan yang bisa saja salah.

Hal lain yang menurut saya cukup penting adalah saran dari Ahmad Yunus untuk sesering mungkin menulis apa saja yang ditemukan dalam sebuah perjalanan panjang. Dia memaksakan diri untuk menuliskan apa yang dialaminya sesering mungkin.

“Biasanya saya lakukan di warung kopi, berkumpul bersama teman sambil menyeruput kopi,” katanya.

Catatan-catatan itu penting karena bilamana dibiarkan mengendap, kita bisa saja kehilangan banyak detail penting. Selain itu, pengalaman yang dibiarkan mengendap tentu akan berbeda rasanya ketika dituliskan lama setelah kejadian itu berlangsung. Apalagi belum tentu kita punya waktu untuk menulis selepas sebuah perjalanan usai.

“Yang penting ditulis dulu,” kata Ahmad Yunus.

Soal verifikasi data dan pendalaman tulisan, dilakukannya ketika perjalanan sudah usai dan sudah siap untuk menulis sebuah catatan yang lebih dalam dan lengkap. Verifikasi data dilakukan dengan riset sederhana, baik lewat buku-buku ataupun lewat internet.

“Kalau ada data yang tidak cocok- misalnya keterangan warga- maka biarkan saja. Tulis saja apa adanya,” pungkasnya.

*****

Suasana obrolan malam itu
Suasana obrolan malam itu

Pertemuan malam itu berakhir ketika pertemuan Inggris dan Wales di Euro 2016 juga berakhir. Di akhir pertemuan kami banyak membahas tentang pekerjaan Ahmad Yunus saat ini, membantu tim Doctor Share. Pekerjaannya sekali lagi membuatnya harus mendatangi banyak tempat-tempat terpencil, termasuk beberapa tempat di Papua yang bahkan mendengar namanya pun dia belum pernah.

Temukan tips dan trik ngeblog di tautan ini

Menyenangkan sekali bertemu dengan Ahmad Yunus. Kesediaannya berbagi pengalaman dan memberikan banyak tips menulis benar-benar menginspirasi. Saya sampai terpikir untuk membuat perjalanan serupa, mungkin tidak sama gilanya, tapi setidaknya tertarik untuk menelisik kehidupan orang-orang kecil di pinggiran republik ini.

Karena Indonesia itu sangat kaya, kata Ahmad Yunus yang tentu saja kami akui kebenarannya. [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (8)

  1. Senang bacanya. Apalagi dari Bandung. Iraha atuh Kang Yunus aya di Bandung?

    Kok bisa tau sih? ada pejalan yg bisa dikorek ilmunya haha

  2. Tulisan menarik.

    Salam persahablogan,
    @adiwkf

  3. Ari Sinjai

    inspiratif daeng ipul… saya juga ingin belajar menulis…!!!
    sukses selalu daeng

  4. Terima kasih sudah dibagi di sini mas, saya jadi tahu apa yang mas dapatkan dari belajar langsung ke Ahmad Yunus, kalau gak salah saya pernah baca buku beliau ketika di perpus Malang.

    Dua poin yang saya rasanya masih kurang, yaitu terkait deskripsi ma jangan menghakimi tempat, tulis apa adanya.

    • sama-sama mas

      benar mas, deskripsi dan jangan menghakimi itu sangat penting. biar kita tidak terjebak dalam menuliskan sesuai yang kita mau, bukan sesuai kenyataan

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.