Spermonde 3 ; Diving itu…

Pulau Kapoposang
Pulau Kapoposang
Itu dia Kapoposang

Tulisan ini adalah sambungan dari bagian pertama dan kedua.

Setelah jackpot untuk ketiga kalinya, akhirnya saya memilih untuk tidur. Novita Sari meninggalkan Takabakang sekitar pukul 09:30 menuju Kapoposang. Perjalanan akan ditempuh sekitar 3 sampai 4 jam. Ombak masih kurang bersahabat dan terus mengajak kami bergoyang. Saya membayangkan seandainya dia seorang penyanyi dangdut mungkin sedari tadi dia akan berseru : goyang Mangggg?!!

Saya belum juga bisa tidur dengan nyaman, selain karena kondisi perut yang tidak stabil juga karena lantai yang basah dan rupanya meresap ke dalam tubuh lewat punggung. Berkali-kali saya terbangun dan merasa Novita Sari masih bergerak dan bergoyang bersama ombak.

” Kita hampir sampai!” Entah siapa yang berteriak, yang jelas teriakan itu sontak membuat saya terbangun. Di depan ada sebuah pulau yang agak besar, itulah pulau Kapoposang yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Saya mencoba berdiri, mengumpulkan kesadaran dan bergerak ke buritan untuk merekam satu dua gambar.

Dari jauh pulau itu sudah terlihat indah. Lautnya jernih, gabungan antara warna biru tua dan biru muda. Dari atas kapal saja kita bisa melihat langsung indahnya pemandangan bawah laut. Jelas perairan di sekitar Kapoposang lebih terawat dari Takabakang yang baru saja kami tinggalkan.

Novita Sari tidak bisa mendekat ke Kapoposang, airnya terlalu dangkal. Jadilah kapal bernama manis itu parkir sekitar 300 meter dari pulau. Ada sebuah rubber boat milik marinir yang jadi penghubung kami dengan daratan. Tanpa menunggu lama, beberapa peserta yang sudah tidak sabar ingin menginjak daratan segera berdesakan ingin naik ke rubber boat.

Saya dan Mamie ada di antrian paling belakang. Saya masih belum sepenuhnya berasa nyaman meski seporsi mie instan dalam cup plastik sudah tandas. Rupanya, kesabaran kami berbuah manis. Pak Muchsin, seorang diver bersertifikat B1 menawarkan experimental dive atau mencoba dive di lautan lepas. Awalnya saya ragu, tapi kemudian berpikir : kenapa tidak? Sayang kalau ada kesempatan dan tidak dipergunakan. Kapan lagi bisa mencoba diving dengan gratis, begitu pikir saya.

Sebenarnya saya takut

Sebenarnya saya antara senang dan takut. Senang karena bagaimanapun saya sudah lama penasaran ingin merasakan diving dan melihat langsung keindahan alam bawah laut. Tapi sekaligus takut karena aslinya saya memang punya semacam fobia takut tenggelam.

Saya bisa berenang, tapi saya tidak pernah berani turun di kedalaman lebih dari 2 meter tanpa life vest. Membayangkan berada di dalam lautan yang gelap dan dalam kadang membuat saya jadi deg-degan. Tenggelam, sulit bernafas dan air masuk ke paru-paru. Duh! Sungguh bayangan yang menyeramkan. Tapi saya bertahan. Ketakutan harus dilawan bukan? Saya mencoba berpikir positif, menguatkan diri dan terus maju mencoba diving untuk pertamakalinya.

Pak Muchsin memberikan briefing sebelum kami turun ke laut. Briefingnya panjang, tentang bagaimana memasang tabung, pengenalan alat selam, prosedur penyelaman, enaknya menyelam dan efek positifnya menyelam serta tentu saja bahayanya menyelam.

Intinya, menyelam itu memang olahraga yang penuh resiko. Mulai dari gendang telinga pecah, terseret arus, lumpuh karena perbedaan tekanan dan tentu saja kematian. Tapi, kalau semua prosedurnya diikuti maka resiko itu bisa diminimalkan atau bahkan dihindari. Kami mendengarkan dengan seksama penjelasan dari pak Muchsin, kami tentu tidak mau celaka dalam diving pertama kami. Ada dua hal yang ditekankan dalam diving : jangan panik ketika berada di bawah dan jangan pernah menyelam sendirian. Pesan pertama saya camkan betul-betul.

Setelah semua penjelasan lengkap, saya dan Mamie mengambil bagian pertama untuk mencoba diving. Kami mengenakan perangkat menyelam kecuali wet suit karena memang ini hanya percobaan. Tabung selam ternyata memang berat dan lumayan membuat susah untuk bergerak. Belum lagi karena pemberat di pinggang dan fin di kaki.

Mari kita tenggelam!

Setelah siap, kami mengambil giant step atau melangkah panjang dari kapal untuk turun ke laut. Here we go! Kata saya dalam hati. Sekarang atau tidak untuk selamanya. Terus terang saya makin berdebar ketika sudah berada di dalam air. Saya dipandu oleh Jitho, seorang penyelam yang sudah berpengalaman. Katanya, diving itu memang harus genap. Tiap penyelam harus punya buddy atau teman sehingga mereka bisa saling menjaga dan mengingatkan.

Tabung selam dan perangkat lainnya meski berat ternyata? mampu membuat kami mengapung. Saya dan Jito memang tidak langsung menyelam, beberapa detik kami masih mengapung di permukaan. Ketika dirasa semua siap, Jitho memberi kode dengan mempertemukan telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran. Saya menjawab dengan kode yang sama, artinya saya sudah siap meski sejujurnya masih ada keraguan juga di dalam hati.

Itu saya! ( foto by ; Jitho)

Perlahan kami mulai tenggelam. Saya terus berusaha untuk tenang sambil terus berusaha bernafas dengan normal lewat regulator. Kami mulai di kedalaman 4 meter. Karang terlihat indah dengan beberapa ekor ikan kecil yang berlarian ke sana ke mari. Tapi saya tidak menikmati semuanya dengan tenang. Saya masih tetap berusaha menenangkan diri sambil mengingat-ingat semua teori menyelam yang diberikan pak Muchsin di atas tadi. Pikiran saya terpecah, antara teori dan self suggestion untuk tidak panik.

Berulangkali Jitho memberi kode dengan telunjuk dan ibu jarinya, saya membalas dengan kode yang sama. Saya baik-baik saja, begitu kata saya. Sesekali juga saya melakukan equalizing yaitu mengeluarkan udara yang terperangkap di dalam telinga. Ini pertama kalinya saya berada di kedalaman 4 meter, dan jujur saya sempat berpikir : ini masih lama ya? Saya hampir menyerah dan minta naik ke permukaan. Saya mulai diserang rasa takut.

Itu saya lagi! ( foto by: Jitho)

Tapi meski begitu, saya masih tetap mencoba bertahan. Rasa takut bukan untuk dihindari, tapi untuk dihadapi dan dilawan. Dalam hati saya terus berucap ; jangan panik, jangan panik, jangan panik, jangan panik.

Perlahan Jitho terus menuntun saya untuk turun lebih dalam, kami bahkan sampai pada kedalaman 10 meter. Daerah yang kami tempati menyelam memang punya palung dengan dinding yang nyaris 90 derajat. Di sinilah letak keindahannya.

Dinding dengan karang beraneka warna dan beberapa hewan laut yang bercengkerama dengan riang. Jitho sempat menunjukkan seekor lobster yang bersembunyi di antara karang. Sejauh itu saya belum bisa sepenuhnya menikmati, pikiran saya masih disusupi rasa takut apalagi melihat betapa gelapnya laut di bawah sana.

Kemudian terjadilah sesuatu yang tidak saya duga. Dengan cepat dinding karang itu seperti mendekat ke arah saya dan berputar-putar. Saya hampir panik, tapi mantera jangan panik terus saya ucap di dalam hati. Jitho memberi kode, bertanya apa saya baik-baik saja. Saya menjawabnya dengan kode yang sama, ya saya baik-baik saja meski selama beberapa detik saya nyaris kehilangan kesadaran gara-gara halusinasi diserang dinding karang yang berputar.

Sekali lagi saya hampir menyerah dan minta naik ke permukaan, tapi demi melihat Mamie yang menyelam tidak jauh di depan saya, niat itu saya urungkan. Malu rasanya kalau sampai saya menyerah dan Mamie masih menikmati penyelamannya. Akhirnya saya teruskan menyelam sampai waktu habis. Total saya berada di bawah selama kurang lebih 10 menit dengan kedalaman 10 meter.

Ketika semua selesai dan saya berada di atas kapal, rasanya campur aduk. Excited, senang, dan takut bercampur. Saya sempat berucap tidak akan mau mencoba lagi ketika ingat pengalaman traumatis diserang karang meski itu hanya halusinasi. Mamie ternyata lebih lancar, meski dia juga mengaku kalau sempat terserang rasa takut di bawah sana.

Saya tidak mau diving lagi, begitu kata saya. Tapi, berjam-jam kemudian kata-kata itu saya tarik. Diving itu menyenangkan! Perlahan saya mengagumi diri sendiri yang berhasil melawan rasa takut, bukannya malah menghindar. Diving itu membuat saya merasa lebih kuat karena berhasil melawan rasa takut. Diving juga membuat saya makin penasaran pada apa yang ada di bawah sana, pemandangan yang masih jarang kita lihat.

Ah, pengalaman pertama itu sungguh berkesan. Meski awalnya tak mau mencoba lagi, tapi ternyata saya jadi ketagihan. Sekarang saatnya untuk menabung agar bisa ikut kursus dive yang harganya bisa sampai Rp. 3 juta. Saya harus bisa diving lagi! Itu janji saya dalam hati. Mudah-mudahan tidak butuh waktu lama untuk kembali ke bawah laut, melihat sendiri keindahan di sana.

Doakan saya teman-teman!

[bersambung ke bagian keempat]

[dG]